Rabu, 21 Mei 2008

KEBERADAAN MANURUNG DENGAN RAJA TAMBUN

Nairasaon (Rj Mangarerak ) punya anak
1. Mardopang
2. Mangatur
3. br meleng-eleng (Istri Silahi Sabungan)

Silahi Sabungan kawin dengan Milingiling br Mangarerak (bukan br Manurung. Red) melahirkan :
Raja Tambun.

Kenapa Manurung yang lebih dekat dengan keturunan Silahi Sabungan? Padahal br Meleng-eleng adalah ito dari Raja Mardopang dan Raja Mangatur?
Karna Anak dari Silahi Sabungan yakni Raja Tambun kawin dengan boruni Raja Mangatur yang memper anakkan Manurung dan itonya Manurung.
Dan bukan kawin dengan anak dari Raja Mardopang yang memperanakkan : Sitorus, Sirait Butar-butar.

Kesimpulan
1. Istri dari Silahi Sabungan adalah Milingiling br Mangarerak
2. Raja Tambun adalah bere dari Raja Mardopang dan Raja Mangatur
3. Kenapa Turunan Silahi Sabungan khususnya Raja Tambun lebih dekat dengan Manurung? Karna istri dari Raja Tambun adalah itoni Manurung dan begitu juga generasi berulang ulang hingga kekerabatan turunan Raja Tambun dan Manurung sangat dekat.


Dari berbagai Sumber.


By: Biarjo Silalahi

KEBERADAAN SIMBOLON DENGAN SILALAHI

Tuan Sorbadijulu adalah anak Tuan Sori Mangaraja. Sewaktu kecil Tuan Sorbadijulu dinamai Ambaton, setelah dewasa dinamakan Tuan Sorbadijulu (berkuasa di Pangururan), karena ke hebatnnya disebut juga datu Ronggur setelah beranak cucu dinamai Ompu Bolon.
Tuan Sorbadijulu yang disebut juga Ompu Bolon memiliki 4 anak dan 1 putri :
1. Simbolon Tua
2. Tamba Tua
3. Saragi Tua
4. Munte Tua
5. Pintahaomasan boru baso Bolon (istri Silahi Sabungan)

Jadi yang menjadi istri dari Silahi sabungan adalah boru dari Tuan Sorbadijulu.ito dari Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua dan Munte Tua.

Setelah Tuan Sorbadijulu meninggal dunia sudah menjadi adat anak pertamalah yang punya Huta (pewaris) yang bernama Simbolon Tua yang bergelar Raja Nabolon dan melanjutkan tradisi Tuan Sorbadijulu menjadi penguasa di Pangururan.

Didalam istilah batak jika Ayahnya meninggal adalah anak pertama yang kehilangan Ayah, tapi anak kedua dan adik-adiknya tidak kehilangan ayah karena ada abangnya yang menjadi pengganti ayah mereka.
Kenapa marga Simbolon yang paling mengingat Pintahaomasan sebagai Namboru-nya, karena Simbolon Tua adalah yang paling tua dan melanjutkan tradisi ayahnya (Tuan Sorbadijulu) sebagai penguasa Pangururan. Secara psikologis, anak tertua (siakkangan) bisa dijadikan / dianggap seperti ayah / pengganti ayah jika ayah kandung telah tiada (meninggal dunia). Jadi, Simbolon Tua secara psikologis seperti ayah bagi Pintahaomasan boru baso Bolon.
Dikuatkan lagi karna itonya juga Tamba Tua dan Saragi Tua akan pergi dari Pangururan karna ada konflik diantara mereka.
Itulah yang membuat kenapa Simbolon Tua lebih dekat dgn Pintahaomasan dan keturunannya dari pada itonya Tamba Tua dan Saragi Tua.

Simbolon Tua (Raja Nabolon) menjadi Penguasa di Pangururan dan memiliki anak 2 laki-laki dan beberapa Perempuan.

1. Tuan Suri Raja
2. Martua Raja
3. boru Simbolon Tua (istri Silahi Raja)

Silahi Sabungan dgn Pintahaomasan boru baso bolon tinggal di Tolping dan memiliki 1 anak laki-laki
1. Silahi Raja (Silalahi)
Untuk mempererat tali persaudaraan dengan itonya Simbolon Tua, Pintahaomasan mengawinkan anaknya Silahi Raja (Silalahi) dengan paribannya yang bernama boru Simbolon Tua dan di bawa ke Tolping, oleh karena itu hubungan Silalahi semakin erat dengan tulangnya Simbolon tua.
Dengan berjalannya waktu Silahi Raja dengan boru Simbolon Tua dikaruniai anak 3 laki-laki
1. Siraja Tolping
2. Bursok Raja
3. Raja Bunga-bunga

Begitu juga Suri Raja memiliki 4 anak dan Martua raja memiliki 3 anak semuanya tetap memakai marga Simbolon termasuk adek-adeknya perempuan.
Siraja Tolping kembali kawin dengan boru tulangnya dari marga Simbolon dan dibawa ke Tolping, begitu juga Bursok Raja tetap kawin dengan boru Simbolon, namun karna anak pertama yakni Siraja Tolping yang memiliki Huta, akhirnya Bursok raja menjadi sinonduk hela di Pangururan dan disanalah diberikan tempat untuknya yang sampai sekarang disebut Lumban Silalahi.

Semakin beranak pinak keturunan Silalahi dan Keturunan Simbolon begitu juga mereka saling kawin mengawini dan dari antara keturunan Simbolon ada yang bermarga Simbolon Tuan dan Simbolon Rimbang jadi hal ini juga membuat keaneka ragaman Parrajaon karna di kampung saya sendiri Pintusona Kami marhula-hula ke Simbolon Rimbang namun ke Rianiate yakni Simbolon Tuan kami marboru, jadi hal inilah yang akhir-akhir ini di manfaatkan oknum yang mengatakan tidak semua Simbolon marboru Sihabolonan ke Silalahi.

Jadi sebagai kesimpulan:

1.Istri dari Silahi Sabungan adalah Pintahaomasan boru baso bolon ( bukan br Simbolon )
2.Silalahi adalah bere dari Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua
3.Kenapa Keturunan Simbolon lebih dekat ke keturunan Silalahi dari pada keturunan Tamba
Tua dan Saragi Tua, karna Silalahi selalu kawin ke boru tulang Simbolon.
4.Kenapa akhir-akhir ini ada yang mengatakan Simbolon tidak semua marboru ke Silalahi?
Karena sudah saling kawin mengawini (Simbolon mengawini br Silalahi).

by. Biarjo H. Silalahi

PENCERAHAN

PENCERAHAN


Berhubung karna banyaknya perantau dan yg sudah lahir di perantauan banyak yg tdk mengetahui lagi silsilah dari Nenek moyangnya bahkan dari marganya Sendiri, kenapa hal ini terjadi karna dulu ( + thn 70 an ke bawah) orang pergi merantau untuk memperbaiki kehidupan, oleh karna itu perantau-perantau ini sudah jauh dari kampung halamannya dan sudah terlepas dari komunitasnya hingga utk paradaton dan silsilah sudah berkurang, karna boro-boro mikirin adat mikirin hidup aja susah…oleh karna itu mereka tdk pikirkan lagi mengenai sejarah dan tdk mewariskan kepada keturunannya oleh karna itu sekarang ini banyak yg bingung (lilu) tdk tau dimana kekerabatannya hingga terjadilah marsibuatan yg satu marga.

Begitu juga keturunan Silahi Sabungan banyak yg kehilangan arah hingga banyak yg dadap-dadap tdk tau dia masuk ke marga mana, dan marga apa yang harus dia pake hingga terjadi kerancuan dan ada yang kawin dgn satu marga yang merupakan aib besar bagi suku Batak.

Untuk menghindari kekeliruan dan kekurang tauan selama ini untuk itu saya mencoba menjelaskan kepada Pomparan ni Silahi Sabungan se LOGIKA mungkin jadi walau tingkat pendidikannya berbeda-beda ini sudah cukup mewadahi dan pasti bisa dimengerti.

SILAHI SABUNGAN memiliki istri :
1. Pintahaomasan boru baso bolon
2. Pinggan matio boru Padang batanghari
3. Milingiling br Mangarerak

SILAHI SABUNGAN memiliki anak :
Dari Pintahaomasan boru baso bolon :
1. SILAHI RAJA ( SILALAHI)

Dari Pinggan Matio boru Padang Batanghari:
1. LOHO RAJA ( SIHALOHO)
2. TUNGKIR RAJA ( SITUNGKIR)
3. SONDI RAJA (RUMASONDI)
4. BUTAR RAJA (SINABUTAR)
5. BARIBA RAJA (SIDABARIBA)
6. DEBANG RAJA (SIDEBANG)
7. BATU RAJA (PINTUBATU)

Dari Milingiling boru Mangarerak
1. RAJA TAMBUN (TAMBUNAN)

Dengan berjalannya waktu keturunan Silahi Sabungan pun semakin bertambah yakni:

I. SILAHI RAJA (SILALAHI) memperanakkan:
1. Siraja Tolping
2. Bursok Raja
3. Raja Bunga-bunga
Ketiga anak diatas tetap memakai marga Bapaknya yakni SILALAHI, dan ketika di angkat TUAN SIHUBIL pun Raja Bunga-bunga menjadi anaknya, TUAN SIHUBIL tetap bijaksana dengan tdk menghilangkan asal-usul dari Raja bunga-bunga dgn tetap memakai marga Bapaknya SILALAHI, namun karna di culik dari parmahanan dipanggillah dia SILALAHI PARMAHAN. Dan tdk ada lagi marga cabang dari SILALAHI.
Logika:
Anak ini memakai marga SILALAHI karna keturunan SILALAHI yang Bapaknya bernama SILALAHI.

II. SIHALOHO memperanakkan:
1. Sinaborno
2. Sinapuran
3. Sinapitu
Ketiga anak ini masih memakai marga Bapaknya yakni SIHALOHO namun sudah ada yg memakai marga SINABORNO, SINAPURAN, SINAPITU, dan yang aneh tapi sudah nyata mereka ini ada yg memakai marga SILALAHI.
Logika:
Bagaimana mungkin mereka ini memakai marga SILALAHI padahal bapak mereka SIHALOHO. (*#8*#****)

III. SITUNGKIR memperanakkan:
1. SIBAGASAN
2. SIPAKPAHAN
3. SIPANGKAR
Ketiga anak ini masih memakai marga Bapaknya, namun sudah ada yg memakai marga SIPANGKAR, dan kembali aneh mereka ini juga terkadang memakai marga SILALAHI
Logika:
Bapak mereka ini SITUNGKIR kok bisa memakai marga SILALAHI (bingung.com)

IV. RUMASONDI memperanakkan:
1. RUMASINGAP
2. RUMABOLON
Kedua anak ini masih menurunkan marga-marga yg lain seperti, Dolok Saribu, Nadapdap, Naiborhu, Sinurat namun yang sangat lucu dan aneh mereka ini juga ingin memakai marga SILALAHI
Logika :
Mungkinkah Semangka berdaun sirih?

V. SINABUTAR memperanakkan:
1. Rumabolon
2. Ambuyak
3. Rumatungkup
Ketiga anak ini sebagian masih memakai marga bapaknya, namun sudah ada yg memakai marga Ambuyak, dan anehnya mereka juga terkadang memakai marga SILALAHI.
Logika:
Bapaknya SINABUTAR kok mau memakai marga dari bapak yg lain (*#*#***)

VI. SIDABARIBA memperanakkan:
1. Lumban Tonga
2. Lumban Dolok
3. Lumban Toruan
Ketiga anak ini masih memakai marga Bapaknya SIDABARIBA, namun anehnya lebih suka memakai marga SILALAHI
Logika:
Kenapa tdk mewarisi marga Bapak sendiri, kok bisa pindah ke marga SILALAHI.

VII. SIDEBANG memperanakkan:
1. Parsidung
2. Siari
3. Sitao
Ketiga anak ini masih memakai marga Bapaknya, namun terkadang kebingungan hingga bisa memakai marga SILALAHI.
Logika:
Kok.. bisa lari dari SIDEBANG menjadi SILALAHI

VIII. PINTUBATU memperanakkan:
1. Hutabalian
2. Lumbanpea
3. Sigiro
Ketiga anak ini masih memakai marga Bapaknya namun masih membentuk marga baru seperti Sigiro, namun aneh bin ajaib mereka ini juga terkadang memakai marga SILALAHI.
Logika:
Kalau ditinjau dari segi keturunan mereka ini tdk ada darah daging dari SILALAHI tapi kok bisa jadi memakai marga SILALAHI (***###***#)

IX. RAJA TAMBUN memperanakkan:
1. Tambun Mulia
2. Tambun Saribu
3. Tambun Marbun
Ketiga anak ini masih konsisten memakai marga Bapaknya sampai saat ini.
Logika:
Ditinjau dari segi kedekatan, karna diasuh dan disusui ibu yang sama yakni Pintahaomasan boru basobolon dan yang diikat dengan Padan dekke nanilaean mereka inilah mungkin yg bisa memakai marga SILALAHI, namun tidak karna SIRAJA TAMBUN konsisten, karna dia sudah punya nama sendiri dan akan diwariskan kepada keturunannya.

Melihat Fenomena diatas, semuanya berlomba memakai marga SILALAHI pada hal tdk ada keturunan darah dari SILALAHI, ada apa dibalik itu semua?
Diantara kekerabatan (dongan tubu) diatas sudah ada yang kawin-mawin (marsibuatan) Namun penulis berpendapat inilah factor ketidak tahuan keturunan yang sekarang ini karna tdk ada cerita ataupun poda dari orangtuanya yang terdahulu.

Jadi Kesatuan (parsadaan) dari marga-marga diatas adalah Pomparan ni SILAHI SABUNGAN.


Contoh yang paling Logika:

Parsadaan Parna (Simbolon, Sitanggang, Nadeak,Tamba, Saragi, Munthe …dll)
Tidak pernah Marga Sitanggang mengatakan dia marga Simbolon atau marga Tamba, tapi mereka satu dalam PARNA

Begitu juga:

Si Raja Oloan (Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, Manullang)
Tidak pernah Marga Sihotang mengatakan dia marga Naibaho atau Bakkara tapi mereka satu dlm Si Raja Oloan.

Begitulah harusnya di:
Silahi Sabungan (Silalahi, Sihaloho, Situngkir, Rumasondi, Sinabutar, Sinabariba, Sidebang, Pintubatu.

Konsistenlah memakai marga sendiri biar jangan Rancu.

Jadi kepada sodara-saudaraku yang sudah lahir di perantauan, saya tdk menyalahkan kebingungan sodara-sodara, mudah-mudahan dengan penjelasan ini sodara-sodaraku tidak kebingungan lagi dan tdk terjadi seperti yang tdk kita inginkan yakni kawin dengan satu marga (marsibuatan).

Akhir kata saya ucapkan semoga Berkat dan Kebijaksanaan dari Tuhan kita Yesus Kristus yang senantiasa menyertai kita Pomparanni SILAHI SABUNGAN dimanapun berada khususnya didalam menunggu kedatangannya yang tidak lama lagi. Amin

Horas.

Biarjo Silalahi
(A. Luis MP. Silalahi)

ARTIKEL

Apakah mungkin sejarah silsilah (Tarombo) itu hilang atau di Rekayasa

By. Biarjo Silalahi
Ym: Jose_766hi@yahoo.com


Batak adalah salah satu suku yang sangat mengetahui dan menghargai nenek moyangnya terbukti dari Tambak yang begitu megah dan tarombo (silsilah) dari berbagai marga-marga yang mencantumkan siapa nama-nama nenek moyangnya dari generasi ke generasi.

Kehidupan Batak tidak terlepas dari tarombo dan silsilahnya karena dari sana mereka mengenal nenekmoyangnya dan marganya itu berasal dari keturunan yang mana, siapa Bona ni arina, siapa Tulangnya siapa dongan tubunya siapa borunya yang di kenal dengan Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongantubu, Gelleng) hal inilah salah satu keistimewaan suku batak yang tidak dimiliki suku-suku lain yang ada di Indonesia.

Berbicara mengenai tarombo dan silsilah tidak terlepas dari marga yang lain, karena kalau ditarik dari Si Raja Batak sebagai nenek moyang suku batak, semuanya mempunyai keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan, jadi kalau di urut dengan benar tidak ada yang akan merasa kehilangan silsilah atau menambahi silsilah karena ada marga lain yang akan menguatkan dan meluruskan.

Memang kalau ditinjau dari era peradaban orang batak itu sendiri yang belum banyak mengenal tulisan, hingga Sisilah atau tarombo itu banyak yang hanya di ceritakan dari mulut ke mulut, namun beberapa generasi kemudian mereka sudah mengenal tulisan walau peralatan dan wadahnya hanya terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang yang gampang lapuk di telan waktu, hal inilah yang terkadang menyulitkan para keturunannya utk mengingat atau mengetahui beberapa generasi ke belakang, namun dalam kehidupan bermasyarakat dan keterkaitan marga hal ini bisa di minimalisasi karena marga lain bisa menjadi sumber informasi yang akurat karena kehidupan batak itu sendiri tidak terlepas dari paradaton yang selalu mengingatkan siapa DNTnya jadi hal ini akan menjadi mendarah daging dan tidak lupa.

Namun ada juga diantara itu yang sudah jauh merantau ke negri orang atau suku lain hingga membaur degan kebiasaan setempat dan jarang berinteraksi degan kerabatnya, khusunya paradaton hingga lama-kelamaan terhanyut degan lingkungan itu sendiri dan tidak meninggalkan pesan ke keturunan berikutnya hingga lambat laun hilanglah garis keturunan itu sendiri yang berakibat terjadinya pernikahan antar kerabat yang satu marga.

Didalam satu komunitas pasti ada juga yang kurang merasa puas dalam berbagai hal termasuk dalam pembagian jambar, hal inilah yang sering menimbulkan barisan sakit hati yang pergi jauh meninggalkan kerabatnya dan membentuk suatu komunitas sendiri di negeri yang baru dia rintis (manombang) diapun ber anak pinak disana dengan tarombo atau silsilah yang dia buat sendiri hingga bertentangan dengan silsilah dari yang sebenarnya.

Hal inilah yang membuat sisilah itu semakin beragam versinya yang akhirnya menimbulkan konflik intern. namun jika di telusuri dengan seksama dan meninggalkan ego serta kepentingan masing masing, niscaya hal itu tidak akan terjadi karena ada saksi sejarah dari induk marga itu sendiri dan dari marga lain yang menjadi DNTnya.

Jakarta 10 Februari ‘08

KONFLIK

BATAK
MARGA-MARGA BATAK
SILALAHI

Konflik pertama terjadi di awal penciptaan alam jagat raya ini, dimana si Bintang Fajar yang bernama Luchifer mengadakan pembrontakan di Surga karena ingin menyamai yang Maha Tinggi yang juga penciptanya, akibatnya Luchifer di lemparkan ke bumi beserta dengan malaikat-malaikat pengikutnya.
Dengan terlemparnya dia ke bumi diapun berusaha menanamkan benih-benih Konflik kepada seluruh penghuni dunia yang dulunya hidup tentram.

Dari manusia pertama di Bumi yakni Adam, nenek moyang suku batak di perkirakan hidup di abad ke 12SM, di Sianjur mula-mula, persis di lereng gunung Pusuk Buhit Samosir.
Penyebaran penduduk ke daerah lain khususnya keturunan si Raja Batak bersumber dari:
• Faktor Alam
• Konflik dan
• Jiwa Petualangan

Namun dalam pembahasan kali ini penulis memprioritaskan akibat Konflik intern di dalam keluarga SORBADIBANUA.

Sebelum kita dibawa ke tujuan penulis alangkah baiknya kita mengetahui secara garis besar Silsilah dari Tuan Sorbadibanua ini dari nenek moyangnya si Raja Batak dan berada di Generasi ke berapa untuk memudahkan kita mencek-richek kebenaran silsilah itu ke yang berhubungan dgn silsilah tersebut.

Generasi I. SIRAJA BATAK memiliki anak :
• GURU TATEA BULAN/br Baso Burning
• SI RAJA ISUMBAON/br Sianting Haomasan

Generasi II. SIRAJA ISUMBAON memiliki anak :
• TUAN SORIMANGARAJA /br antingmalela/br.biding laut/br. sanggul Haomasan
• SIRAJA ASI-ASI
• SANGKAR SOMALIDANG


Generasi III. TUAN SORIMANGARAJA memiliki anak :
• Tuan Sorbadijulu(naiambaton) (datu Ronggur)
• Tuan Sorbadijae(Nairasaon) (Raja Mangarerak)
• Sorbadibanua(naisuanon) /br. Borbor/br. Sibasopaet

Generasi IV. TUAN SORBADIJULU memiliki anak:
• Simbolon Tua
• Tamba Tua
• Munte Tua
• Saragi Tua
• Sibasobolon (Boru) Istri Dari Silahi Sabungan

Generasi IV. TUAN SORBADIJAE memiliki anak:
• Mardopang (SiRaja si-asi)
• Mangatur(Songkarsomaliang)

Generasi IV. TUAN SORBADIBANUA memiliki anak dari istri Br Borbor : ( + thn 1300SM)
• Sibagotni Pohan
• Sipaettua
• Silahi Sabungan/br Basobolon/Padang Batanghari / br. Melengeleng
• SiRaja Oloan
Dari Istri Br Basopaet
• Toga Sumba
• Toga Sobu
• Toga Pospos

Generasi V. SILAHI SABUNGAN memiliki anak :
• SILAHI RAJA (SILALAHI)/br. Simbolon Tua
• LOHO RAJA (SIHALOHO)
• TUKKIR RAJA (SITUKKIR)
• SONDI RAJA (RUMASONDI)
• BUTAR RAJA (SINABUTAR)
• BARIBA RAJA (SIDABARIBA)
• DEBANG RAJA (SIDEBANG)
• BATU RAJA (PINTUBATU)
• RAJA TAMBUN (TAMBUN)/br. Manurung

Generasi VI. SILALAHI memiliki anak:
• Siraja Tolping Silalahi
• Bursok Raja Silalahi
• Raja Bunga-bunga Silalahi (diculik dari Parmahanan dan diangkat tuan si Hubil menjadi anaknya di Balige)


Konflik antar Keluarga dan sebagian karna factor Alam memaksa seseorang meninggalkan kampung halamannya, begitu juga di dalam keluarga besar Sorbadibanua, dimana anak-anaknya mempunyai konflik yang mengakibatkan sakit hati hingga kakak beradik Silahi Sabungan dengan Si Raja Oloan pergi meninggalkan kampung halamannya lbn Gorat Balige, mereka tdk mempunyai arah untuk tujuan yang penting jangan sampai melihat asap dari rumah saudara-saudaranya. Setelah sekian lama Takterasa mereka tiba di kaki Pusuk Buhit tepatnya di Siogung-ogung yg ternyata asal dari nenek moyang mereka Tuan Sorimangaraja yg kini dihuni anak pertamanya Tuan Sorbadijulu (naiambaton), merekapun melihat hamparan pulau Samosir di depannya hingga mereka memutuskan untuk berjalan kesana, namun sebelumnnya mereka sudah sepakat untuk mencari tempat masing-masing dan akhirnya Si Raja oloan memilih berjalan kearah Pangururan dan Silahi Sabungan melanjutkan perjalannya ke Ambarita tepatnya di Tolping.
Selama bermukim Di Tolping Silahi Sabungan banyak melakukan pengobatan di daerah sekitarnya sesuai dengan keahliannya sehingga namanya mulai dikenal Sabungan di hata (pintar berbahasa) serta Ilmu hadatuannya yang sangat luar biasa.
Kehebatan Silahi Sabungan juga terdengar oleh Tuan Sorbadijulu yg sedang dlm pertikaian dengan marga Lontung, oleh karena itu Tuan Sorbadijulu meminta bantuan dari Silahi Sabungan.
Setelah pertikaian berakhir Tuan Sorbadijulu merestui pernikahan Silahi Sabungan dengan putrinya SiBasobolon, (ada dlm Tarombo keturunan Tuan Sorbadijulu yakni Parna) dalam pernikahan itu mereka dikaruniai seorang anak yang di sebut namanya SILAHI RAJA.

dari berbagai Sumber

KITAB DEBATA SORISOHALIAPAN


Kitab Debata Sorisohaliapan




Debata Sori Sohaliapan adalah pancaran kesucian Allah. Kitab ini berisi tatanan hidup manusia, mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak dapat dilakukan sesuai dengan titah dan peraturan sesuai dengan budaya masing-masing. Hampir seluruh agama yang ada di dunia berasal dari kitab ini. Isi kitab adalah :

Laklak Debata sori (Kitab Debata Sori)
Debata Sori adalah cerminan kegemaran Mulajadi Nabolon yang berlambang putih. Mulajadi Nabolon bersabda kepada Debata Sori Murni, Sori Tenang, Sori Benar dan jagalah manusia kelak, jagai seperti ladang padi yang hendak panen, jagai seperti bayi, gembalakan seperti kerbau penghuni benua ini dan engkaulah yang punya gendang tujuh perangkat, yang menimbang kata-kata dan perbuatan yang salah berikat kepala merah, punya pisau si dua mata pemberi hukum dan pemberi titah kepada manusia.
Jika kita baca isi kitab ini bahwa Debata Sori adalah pemberi jalan kehidupan dan penghukum manusia yang salah maka agar manusia jangan jatuh kedalam dosa maka dari kitab ini lahirlah agama batak yang mengajari apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat. Dan engkaulah yang membuka mata manusia yang punya baju putih dan kuda putih.

DASAR AGAMA
Ajaran kepercayaan Ugamo Batak yang diberikan lisan, antara lain :
Memuji Tuhan Debata Mulajadi Nabolon – Tuhan Yang Maha Esa, menghormati Raja, sayang sesama manusia, rajin bekerja untuk penghidupan badan (jasmani) dan menuruti perintah Raja.Jangan mencuri, tidak boleh membunuh dan berzinah.
Jangan mengolok-olok dan membuat fitnah pada orang lain dan jangan sesatkan orang buta.
Tidak boleh mengambil riba dari harta benda dan uang yang dipinjamkan kepada sesama.
Jangan sekali-kali memandang hina yang berpakaian buruk dan bertopi karung, sebab Raja Nasiakbagi dan Sisingamangaraja adakalanya mencobai perhatian dari para Parmalim, datang menyamar diri dengan pakaian yang begitu rupa.Wajiblah selalu mengucapkan dengan perkataan yang hormat kepada bangsa laki-laki, “Amang” dan kepada bangsa perempuan “Inang”.Memberitahukan dari hal yang bakal terjadi, dan yang bakal kejadian.
Tujuan penghayatan ajaran kepercayaan ugamo batak adalah menuntun, membimbing hidup dan perikehidupan manusia di dunia dan memperoleh kehidupan abadi di akhirat yang disebut “Hangoluan ni tondi di Banua Ginjang”.Patik ni Ugamo Batak adalah ajaran kepercayaan Ugamo malim dan aturan ni Ugamo batak adalah tata upacara pelaksanaan penghayatan dari kepercayaan Ugamo malim. Adalah suatu kewajiban untuk mengakui kesalahan dan dosa, dan memohon keampunan dari Tuhan Yang Maha Esa serta bergiat melaksanakan kebaikan bekal yang banyak untuk kehidupan abadi. Kepercayaan Ugamo Malim, percaya akan adanya kehidupan dunia. Tujuan itu tersirat dalam ajaran patik dalam bahasa abatak, disebutkan “Marpanghirimon do namangoloi jala namangulahon patik ni Debata nadapotsa do sogot hangoluan ni Tondi asing ni ngolu ni diri on”.
Maksudnya :
“Mereka yang mematuhi dan melaksanakan Hukum Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai harapan kelak memperoleh kehidupan yang abadi selain dari kehidupan dunia ini”.
1. Pengetahuan Tentang Ketuhanan Yang Maha Esa
Mulajadi Nabolon adalah Tauhan Yang Maha Esa yang menjadikan bumi dan langit dengan segala isinya. Tuhan Yang Maha Esa adalah pemilik bumi dan langit semesta alam yang senantiasa aktif mengatur semua ciptaannya. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan menusia menghuni bumi ini, dan kepada manusia telah dijadikan sumber kehidupan manusia.
Kepercayaan Ugamo Malim dan bangsa batak umumnya dalam mengucapkan nama Mulajadi Nabolon harus diawali dengan Ompu atau Ompung. “Ompu Mulajadi Nabolon” atau “Ompung Debata Mulajadi Nabolon”. Mulajadi Nabolon adalah “asal mula” (Mulajadi), “Yang Maha Benar (Mabolon). Sebutan Ompu atau Ompung adalah untuk meluhurkan / memuliakan dalam kedudukan yang “Paling tinggi derajatnya”. Dalam struktur Adat Batak, panggilan “Ompung” diberikan kepada ayah dan ibu dari pada orangtua kita. Panggilan ini sangat didambakan orang batak melalui keturunannya langsung. a. Kedudukan Tuhan Yang Maha Esa
Disadari dan diyakini, bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ada dan mutlak, bertempat di Hebangan Panjadion (Singgasana Penciptaan) yang juga disebut Banuwa Gunjang (Tempat Yang Maha Tinggi), dan keberadaannya kekal selama-lamanya.
Tonggo-tonggo dalam ugamo malim yang harus diucapkan setiap doa peribadatannya mengajarkan bahwa setiap umat manusia harus bersembah sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadikan bumi dan langit dengan segala isinya yang menjadikan manusia dengan segala keberadaannya di bumi ini. Tuhan Yang Maha Esa dalam kedudukannya memberi Rohnya kepada manusia untuk menuntun hidup manusia sesuai dengan kehendaknya.
Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat kepada manusia dan semua ciptaannya. Manusia diwajibkan mempersembahkan Puji-pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui persembahan / pelean. Kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia memohon keampunan dosa, memohon hiburan bagi yang berduka cita, memohon keringanan atas beban hidup, memohon kesembuhan dari penyakit yang diderita dan memohon kecerahan pikiran bagi yang selalu dibaluti kekalutan.
Tuhan Yang Maha Esa memohon bahwa hidup matinya adalah kehendaknya, semoga kelak arwahnya mendapat berkat kehidupan yang kekal di Singgasananya. Ini yang disebut “Tumpal Hangoluan”.
b. Sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa
Dari doa ritual (Tonggo-tonggo) kepercayaan Ugamo Malim tersirat, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Maha Kuasa, Maha Pemurah, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Adil, Maha Kuat, Maha Bijaksana, Maha Agung dan Maha Mulia.

c. Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa
Atas kuasa dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, telah memberikan Rohnya menitis kepada manusia untuk menjadi pemimpin, pembimbing dan penuntun hidup dan perikehidupan manusia agar berjalan sesuai dengan kehendaknya. Tuhan Yang Maha Esa, Maha menentukan hidup atau Maha bagi segala ciptaannya. Kuasa tersebut pertama diciptakannya di tempat Yang Maha Tinggi (Banua Ginjang), yang terdiri dari :
1) Bataraguru
2) Sorisohaliapan
3) Balabulan

Tiga kuasa ini disebut : Debata Natolu. Tiga kuasa Tuhan Yang Maha Esa adalah paduan kedudukan, sifat-sifat dan kuasa yang mengatur hidup alam semesta ciptaannya.
1) Hukum Keadilan, Hukum Kerajaan, Kebijaksanaan, Pengetahuan, Keabadian diberikan kepada manusia adalah bersumber dari Bataraguru dilambangkan dengan warna Hitam.
2) Hukum Kesucian, kebenaran, Kemuliaan diberikan kepada manusia dan dilambangkan dengan warna Putih.
3) Kekuasaan, Kekuatan, Kesahalaan – Hasaktion (Kesaktian), Pemilik para malaikat, diturunkan kepada manusia dan berada diantara umat manusia, dilambangkan dengan warna Merah.
Dari tempat yang Maha Tinggi, Tuhan Yang Maha Esa mengutus Nagapadohaniaji menguasai Tanah/Bumi dan Boru Saniangnaga menguasai Air. Titisan Kuasa Tuhan Yang Maha esa kepada umat manusia dimuliakan dalam setiap doa ritual kepercayaan ini. Doa ritual (Tonggo-tonggo) tersebut secara berurutan adalah :
a) Mulajadi Nabolon – Tuhan Yang Maha Esa
b) Debata Natolu
c) Siboru Deakparujar
d) Raja Hatorusan
e) Nagapadohani Raja)
f) Boru Saniangnaga
g) Patuan Raja Uti
h) Tuhan Simarimbulubosi
i) Raja Naopatpuluopat (44)
j) Sisingamangaraja
k) Raja Nasiak Bagi

2. Ajaran tentang Manusia

a. Asal Mula Manusia
Kepercayaan Ugamo Malim mengakui dan mempercayaai sesuai dengan mitologi Batak Kuno bahwa asal mula manusia adalah dari hasil perkawinan putera dan puteri dari Banua Ginjang (tempat Yang Maha Tinggi), yaitu Raja Odapodap dengan Boru Deakparujar, yaitu seorang putera dan seorang puteri yang lahir kembar.
Setelah mereka dewasa, Tuhan Yang Maha Esa berkenan turun dari banua ginjang untuk menjodohkan mereka menjadi suami istri, dan kepada mereka diberi hidup menghuni bumi ini dengan syarat bahwa mereka harus senantiasa melakukan hubungan dengan Tuhan yang Maha Esa melalui persembahan suci disebut “Pelean” dan dilarang agar tidak memakan daging babi, anjing, darah, dan yang kebangkaian atau yang tercemar uap bangkai. Atas kuasa yang diterima mereka berdua dapat melaksanakan kehendak dan menjauhi larangan Tuhan ini, dan kepada keturunannya “Sabda” ini diteruskan, dan merupakan amanah yang disebut “Tona”. Dalam mitos itu disebutkan bahwa Boru Deakparujar dan raja Odapodap kembali bersama dengan Mulajadi Nabolon ke tempat Yang Maha Tinggi. Akan tetapi karena kecintaan menempatkan Boru deakparujar di Bulan dan Raja odapodap bertempat di Matahari.

b. Struktur Manusia
Pada awal kehamilan Ibunda Boru Deakparujar disebutkan bahwa yang lahir adalah seperti gumul (bulat). Mulajadi Nabolon menitahkan kepada Boru Deakparujar agar yang lahir nanti harus dikubur karena itulah yang akan menyempurnakan bumi di tempa (ditopa). Rambutnya menjadi tanah liat, tulang-tulangnya menjadi batu-batuan, dan darahnya akan merekat ke bumi ini. Kelahiran yang kedua adalah Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia yang akan menjadi suami istri sebagai awal keturunan manusia.
Tondi dan sahala serta akal pikiran manusia menjadi satu dalam ujud jasmani manusia yang terdiri dari darah, gading, ate-ate, pusu-pusu (jantung) adalah merupakan penggerak bagi manusia manusia untuk berkemampuan dalam melaksanakan tugas kehidupan sesuai dengan sabda Tuhan Yang Maha Esa.
Secara fisik (daging, tulang dan darah), secara mental yaitu roha (pikiran), ate-ate (hati), pusu-pusu (jantung), diri (pribadi) dan gogo (kemampuan) ditambah lagi dengan tondi (roh) dan sahala (kharisma), maka manusia adalah ciptaanNya dialam semesta ini. Pada hakekatnya manusia masih tetap lemah dan tidak berarti bila dibandingkan dengan Kuasa Tuhan Yang Maha Esa.

c. Tugas dan Kewajiban Manusia
Dengan kesempurnaan penciptaan Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia, tujuannya adalah untuk menghuni bumi ini, dan menyembah kepadaNya untuk selama-lamanya. Tuhan menyediakan segala kebutuhan hidup manusia pada alam, dan Tuhan memberikan poengetahuan dan kemampuan untuk memanfaatkan alam ini untuk kelangsungan hidupnya.
Melaksanakan hukum (kehendak) Tuhan, menyembah dan memuji Namanya dalam keadaan apapun adalah kewajiban manusia. Bahawa hidup dan matinya manusia adalah atas kuasa Tuhan yang Maha esa. Itu disebutkan dengan tegas dalam lapatan ni patik : “Ngolu dohot hamatean Huaso I Debata”. Kewajiban ini diurai dalam aturan-aturan Ugamo Malim dalam kehidupan Parmalim, sejak mulai lahir sampai ajal tiba (kematian) dituntun dalam aturan ini, yaitu :
1)` Martutuaek (kelahiran)
2) Pasahat Tondi (kematian)
3) Marari sabtu (peribadatan setiap hari sabtu)
4) Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
5) Mangan Napaet (peribadatan memohon penghapusan dosa)
6) Sipaha Soda (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi)
7) Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan pelean kurban)

Selain dari aturan pokok ini, ada lagi aturan yang wajib dilaksanakan sesuai dengan situasinya, yaitu :
1) Pamasumasuon (pemberkatan dalam perkawinan)
2) Memandikan jenasah
3) Manganggir (penerimaan anggota baru)
4) Marpangir (apabila melalui keadaan yang dinilai kotor, dan bagi wanita yang selesai haid)
5) Membaca doa bila hendak mandi, memotong hewan, menggali tanah untuk kuburan, dan lain-lain.
Kewajiban lainnya yang utama ialah menata hidup dan perilaku yang luhur dalam pengabdian diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa melalui kepatuhan melaksanakan hukum dalam ugamo Malim yaitu Patik Ni Ugamo Malim. Patik ini meemrintahkan manusia untuk selalu menyembah Tuhan, menghormati Raja, mencintai sesama manusia dan giat bekerja. Hasil atau buah dari pekerjaan yang tidak bertentangan dengan larangan Patik Ni Ugamo Malim, dimanfaatkan untuk memuji Tuhan Yang Maha Esa, menghormati Raja dan mencintai sesama manusia.

d. Sikap Terhadap Sesama Manusia
Ajaran kepercayaan Ugamo Malim dalam Patik Ni Ugamo Malim menyebutkan : “Haholongan dongan jolma”. Adalah kewajiban untuk saling mencintai sesama manusia. Itu dipertegas lagi dalam lapatan Ni Patik yang menyatakan : “Songon holong ni rohaniba didiriniba, songon ima holong ni roha tu dongan”. Artinya : “Bahwa kita wajib emncintai sesama sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Manusia adalah sama derajatnya dan martabatnya terutama dihadapan Tuhan Sang Pencipta. Perbedaan suku, bangsa, daerah, bahasa dan budaya adalah atas kehendak Sang Pencipta. Manusia memandang dirinya secara utuh akan menyadari makana Patik, bahwa pada dasarnya manusia adalah sama.
Untuk menumbuhkan rasa sesama manusia diajarkan dalam kepercayaan Ugamo Malim sebagai berikut :
Unang holan diri niba sinarihon, ia naringkot di dongan ndang pinarrohahon”, yang artinya : agar jangan hanya mementingkan diri sendiri, sedangkan kepentingan orang lain diabaikan. Larangan ini secara lengkap diuraikan dalam Patik Ni Ugamo Malim yang disebut dengan “Pinsang-pinsang (Maminsang)”.
Melaksanakan ajaran “Holong” dengan menjauhkan semua larangan-larangan akan mewujudkan “Saling mencintai, mengasihi, menghargai dan saling menghormati” yang akan bermuara kepada “kedamaian dan kesatuan”.
e. Tujuan Hidup Manusia
Kebahagiaan dunia lahir bathin adalah suatu cita-cita hidup manusia di alam dunia ini. Beragam usaha dilaksanakan untuk mengggapai harapan-harapan ini, namun sampai kapanpun manusia tidak kunjung memperolehnya. Hidup selalu resah, gelisah dan tidak pernah merasa puas.
Ajaran kepercayaan Ugamo Malim menetralisir keadaan ini agar hidup bisa menjadi tenang dan menikmati hidup dengan rasa terima kasih (syukur) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa makna dari kehidupan itu adalah penyerahan diri secara utuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhir dari pada kehidupan manusia adalah kembali menyatu kepada Sang Pencipta.
Kepercayaan Ugamo Malim, menyatakan bahwa tujuan manusia (Parmalim) adalah :
1) Manopoti dosa dohot mangido pasu-pasu yang artinya : memohon keampunan dosa dan memohon berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.
2) Mangalului Hangoluan ni tondi, yang artinya : memperbanyak pengalaman dalam hidup untuk kelak menjadi bekal dalam kehidupan yang abadi (di luar kehidupan jasmani ini).
3. Ajaran Tentang Alam Semesta
Alam semesta adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Proses terjadinya manusia berkaitan dengan penciptaan Tuhan atas bumi (mayapada) ini melalui tangan ghaib Siboru Deakparujar. Kepada Siboru Deakparujar diberi Tuhan ilmu pengetahuan selama proses penciptaan bumi ini melalui tanda-tanda di alam raya seperti : matahari, bulan dan bintang.
Terjadinya pergantian musim, pergantian tahun, pergantian bulan dan pergantian hari semua diberikan Tuhan Yang Maha Esa melalui peralihan benda-benda langit. Tanda-tanda ini bagi kepercayaan Ugamo Malim menjadi patokan untuk menentukan hari-hari baik, bulan baik dan saat melaksanakan upacara penghayatan yang bersifat umum diluar hari sabtu yang telah menjadi patokan yang tetap.
Alam semesta adalah sebagai wujud keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang dapat dilihat, dapat dinikmati oleh umat manusia. Menghormati dan menghargai serta menikmati alam semesta ini adalah perwujudan kecintaan, pemuliaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bumi dan air adalah tempat manusia sekaligus sebagai sumber hidup manusia. Memanfaatkan bumi dan air untuk kepentingan manusia harus menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan dan menyampaikan kuasa menjaganya kepada Nagapadohaniaji (bumi) dan Boru Saniangnaga (Air).
Kepercayaan Ugamo Malim memberikan tuntunannya agar setiap memanfaatkan tanah (bumi) untuk kepentingan manusia terlebih dahulu menyatakan penghormatan kepada Nagapadohaniaji, dan pemanfaatan air menyatakan penghormatan kepada Boru Saniangnaga, dengan pernyataan bahwa “kami bukan hendak merusak”. Merusak bumi akan berakibat “petala” bagi manusia dan merusak air juga akan berakibat “petaka” bagi manusia.
4. Ajaran Tentang Kesempurnaan Hidup
Sabda pertama dan yang utama dari Mulajadi Nabolon Tuhan Yang Maha Esa, ketika mempertemukan Siraja Ihat Manisia dengan Siboru Ihat Manisia dalam ikatan perkawinan dan berlaku untuk keturunannya (umat manusia) pada hakekatnya adalah bahwa Tuhan Yang Maha Esa sangat mencintai manusia dan memberikan bumi (alam) untuk kepentingan kehidupan menusia dengan dibekali akal, pikiran dan perasaan. Agar manusia selalu mengingat hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui jiwa yang bersih, tulus dan suci serta dengan pernyataan melalui persembahan (pelean) yang bersih dan suci. Larangan-larangan Tuhan Yang Maha Esa agar selalu dihindari/dipantangkan untuk dilaksanakan.
Dalam setiap upacara persembahan/menyembah Tuhan Yang Maha Esa dalam kepercayaan Ugamo Malim dilaksanakan dengan mempersiapkan pelean. Tujuh macam upacara penghayatan Parmalim mempunyai tata cara tersendiri dalam penataan pelaksanaannya. Tetapi dalam semua upacara ini ada yang tidak bisa tinggal yaitu “Pangurason” (Air Suci Pengurapan) dan “Daupa” (bahan dari kemenyan untuk dibakar). Daupa dan Pangurason adalah Pelean yang utama. Melaksanakan penghayatan harus didasari “Niat”, dalam bahasa Batak disebut “Sangkap”. Niat ini dapat terlaksana apabila pikiran, hati, jantung, diri/pribadi dan kemampuan telah menyatu, bulat, kokoh serta bersih. Secara jasmaniah harus membersihkan diri dari keadaan dan perbuatan yang dapat menimbulkan “Haramunon” (haram) Penghayatan tidak hanya dalam upacara peribadatan, tetapi diajarkan dalam setiap saat penghayatan itu berlaku selanjang hidup manusia. Ini menimbulkan sikap dan perilaku yang selalu terjaga dan terbimbing. Dalam istilah kepercayaan Ugamo Malim disebut dengan “Marsolam diri dan Marsolam ngolu”, yang pada akhirnya akan mencapai tingkat “Marsolam tondi”. Artinya : dalam menghadapi keadaan yang bahkan merenggut nyawa sekalipun tidak akan membuat kedukaan. Patik Ni Ugamo Malim mengejarkan agar senantiasa “memuji/menyembah Tuhan Yang Maha Esa, mensyukuri segala pemberianNya (AsiasiNa). Pahit atau manis, senang atau susah, kaya atau miskin, berbahagia atau berdukacita, sehat atau sakit, bahkan matipun semuanya adalah atas kehendakNya. Patik ini bila digolongkan, ada 5 bagian yaitu :
a. Bagian pertama disebut Marsuru (menyuruh/wajib). Patik menyuruh/mewajibkan agar selalu menyembah Tuhan Yang Maha Esa, menghormati Raja, mencintai sesama manusia serta rajin/giat bekerja agar mempunyai kemampuan memuji Tuhan, menghormati Raja dan mencintai sesamanya.
b. Bagian kedua disebut Meminsang (melarang). Patik maminsang/melarang agar jangan mencuri, jangan berzinah/memfitnah, jangan membunuh, mengolok-olok, jangan menghina pada orangtua, jangan menyesatkan orang buta, mentelantarkan fakir miskin, jangan memandang hina kepada orang yang berpakaian compang camping, jangan mengambil riba dari harta dan uang yang dipinjamkan pada sesama.
c. Bagian ketiga disebut Paingothon (mengingatkan). Patik mengingatkan bahwa jangan hanya di waktu senang, kaya, beruntung, dan saat kamu menyembah Tuhan. Tetapi dalam keadaan susah, miskin, merugi dan sakit, bahkan sampai akhir hayat harus selalu menyembah/memuji Tuhan.
d. Bagian keempat disebut Panandaion (mengenal/mengetahui). Patik mengenalkan/memberitahukan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah menjadikan langit dengan segala isinya, menjadikan manusia serta seluruh alam semesta.
e. Bagian kelima disebut Puji-pujian (Puji-pujian). Patik menentukan untuk mempersembahkan Puji-pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk selama-lamanya.

Melaksanakan Patik dengan sempurna, melaksanakan aturan-aturan penghayatan dalam kepercayaan Ugamo Malim akan mewujudkan suatu sipak perilaku hidup yang disebut “Marsolam Diri dan Marsolam Ngolu”, yaitu : a. Marroha Hamalimon.
Berpikir, berpengetahuan dan bertindak sesuai dengan bimbingan Patik Ni Ugamo Malim (Hamalimon).
b. Marngolu Hamalimon
Berkehidupan dalam wujud keberadaan dan perilaku sehari-hari selalu terbina dan terpelihara oleh Patik ni Ugamo Malim (Hamalimon).
c. Martondi Hamalimon.
Ketekunan dan keteladanan yang berisi keikhlasan, dan ketulusan hati dalam melaksanakan peribadatan dan penghayatannya secara lahir dan bathin dalam keadaan bagaimanapun selalu menyembah dan memuji Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan Patik Ni Ugamo Malim (Hamalimon).

Dalam menikmati hidup (Parmanganon), dalam melihat alam sekitar (Pamerengon), penempatan diri sesuai dengan keberadaan dan kemampuan (Parhundulon), memelihara tata krama kesopanan dan kehormatan (Pangkataion), dan didalam melaksanakan fungsi kehidupan-kemanusiaan (Pardalanon) senantiasa akan terpelihara apabila Patik Ni Ugamo Malim menjadi sikap dan panutan hidup manusia dalam ajaran kepercayaan Ugamo Malim, itulah puncak dan pengenalan diri manusia dalam menempatkan dirinya sebagai makhlum Tuhan Yang Maha Esa, dalam pergaulan hidup dan dengan alam sekitarnya. Secara singkat disebutkan : Malim Parmanganon, Malim Pamerengon, Malim Parhundulon, Malim Pangkataion, dan Malim Pardalanon.

DASAR PENGHAYATAN

1. Pedoman Penghayatan
Ugamo Malim diibaratkan sebagai rumah yang disebut Ruma Hangoluan (Tempat Kehidupan), karena di dalam rumah ini berisi sumber kehidupan (dunia dan akhirat) yaitu :
- Hata Ni Debata (Kata Maulajadi Nabolon)
- Tona Ni Debata (Pesan Mulajadi Nabolon)
- Patik Ni Debata (Titah Mulajadi Nabolon)
- Uhum Ni Debata (Hukum Mulajadi Nabolon)
Keempat nilai kehidupan rohani dan jasmani ini dipadukan di dalam ajaran kepercayaan Ugamo Malim, yaitu :
- Patik Ni Ugamo Malim (Ajaran Agama Malim)
- Aturan Ni Ugamo Malim (Aturan Agama Malim)
Patik Ni Ugamo Malim adalam Roh dari kepercayaan Parmalim, dan Aturan Ni Malim adalah Jasad dari kepercayaannya.
Melaksanakan Aturan Ni Malim secara lahiriah ditata dalam tata upacara menghayatan atau peribadatan, yaitu : Marari Sabtu, Martutuaek, Pasahat Tondi, Mardebata, Mangan Napaet, Sipaha Sada, Sipaha Lima dan penghayatan yang dilaksanakan menurut keadaan yang mengharuskan melaksanakan upacara yang bersifat khusus.
Jiwa atau Roh yang menggerakkan untuk melaksanakan aturan ini secara lahiriah adalah ajaran Patik Ni Ugamo Malim. Patik inilah sebagai cermin dan yang akan menilai nemar atau tidak dalam pelaksanaannya.
Dalam melaksanakan aturan-aturan penghayatan dalam kepercayaan Ugamo Malim harus disediakan “Pelean”, yaitu “Daupa dan Pangurason” sebagai persembahan yang disampaikan dengan doa-doa ritual (Tonggo-tonggo) secara berjenjang mulai dari Mulajadi Nabolon - Tuhan Yang Maha Esa sampai kepada Raja Nasiakbagi.
2. Perilaku Penghayatan.
Sebelum melaksanakan satu penghayatan atau upacara peribadatan dalam kepercayaan Ugamo Malim, harus didahului dengan niat yang tulus dan hati yang bersih. Masing-masing aturan yang dilaksanakan adalah mengandung arti tersendiri. Ugamo Malim juga disebutkan “Dalan Pardomuan Dompak Debata”, yang artinya adalah : “Jalan untuk dapat bertemu/bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam setiap pelaksanaan penghayatan ini, semua peserta harus berpakaian Batak atau berkain sarung. Bagi laki-laki dewasa harus memakai Serban Putih dan bagi perempuan dewasa rambutnya disanggul dengan rapi yang disebut dengan Sanggul Toba. Duduk dengan teratur dan bersila, tangan bersikap menyembah. Pelean “Daupa dan Pangurason” ditata diatas sebuah tikar pandan yang bersih, letaknya dihadapan para peserta upacara. Salah seorang diantaranya (biasanya Ulu Punguan) duduk di depan semua peserta dan langsung menghadap Pelean tadi, dan mengucapkan doa-doa rotual (Tonggo-tonggo). Selesai mengucapkan doa (Tonggo-tonggo) sesuai dengan ciri tata upacara yang dilaksanakan, pada saat terakhirnya Pangurason diambil oleh Ulu Punguan (Pemimpin Upacara) yang kemudian dipercikkan kepada seluruh peserta yang hadir, dan peserta tetap bersikap menyembah menerima percikan Pangurason ini sebagai rasa syukur atas pensucian yang diterimanya.
Setiap doa (Tonggo-tonggo) dalam kepercayaan Ugamo Malim ditutup dengan pernyataan “Nabonar Jungjunganku”, artinya : bahwa Raja Nasiakbagi-Sisingamangaraja adalah Jungjungan Parmalim yang diutus oleh Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan kesucian dan kebenaran. Arti lainnya adalah sebagai pernyataan umat bahwa dia selalu akan menjunjung tinggi kebenaran. Ini diucapkan secara serentak oleh para peserta upacara.

3. Kelengkapan Penghayatan.
Telah dijelaskan bahwa tiap-tiap aturan yang dilaksanakan dalam kepercayaan Ugamo Malim mempunyai kekhususan tertentu dam secara umum persembahan harus didasari dengan “Daupa dan Pangurason”. Peserta upacara secara keseluruhan berpakaian adat Batak, dimana laki-laki dewasa bersorban putih dan perempuan dewasa bersanggul toba. Sedangkan peserta lainnya yaitu anak-anak diharuskan berpakaian sarung. Semuanya tanpa alas kaki (sepatu dan sebagainya). Pelean sebagai sarana persembahan dalam upacara penghayatan dalam kepercayaan Ugamo Malim diletakkan di atas tikar yang bersih, ditata dengan harmonis menurut jenis pelean. Pelean-pelean, yang terdiri dari :
a. Nasi Putih, ikan batak, telur rebus (dalam satu wadah)
b. ayam putih, ayam hitam, ayam merah dimasak secara utuh
masing-masing dalam satu wadah)
c. Kambing putih, dimasak dalam bentuk yang disyaratkan, diletakkan dalam pinggan menurut bagian-bagiannya.
d. Parbue santi, yaitu beras putih, sanggul bane-bane, baringin, sitompion, gabur-gabur, napuran, daung meligos, pisang 1 buah dan mentimun satu suing, disusun dengan indah dalam satu wadah (pinggan).
e. Nanidugu yaitu ayam yang dipanggang dan diberi bumbu santan dan asam dimasukkan dalam sebuah mangkok putih.
f. Pohul-pohul yaitu tepung yang dikepal dan dikukus, itak gurgur yaitu tepung beras yang diekepal masing-masing 7 (tujuh kepal), openg-openg terdiri dari tepung beras di campur dengan pisang lalu ditumbuk dalam lesung masing-masing dimasukkan dalam pinggan, ditemani pisang dan mentimun.
g. Hewan kurban (lembu atau kerbau), sebelum disembelih diikatkan dalam Borotan setelah hewan kurban tersebut lebih dahulu dimandikan.
Artinya : dalam keadaan hidup hewan kurban tersebut telah dipersembahkan melalui doa-doa ritual (Tonggo-tonggo). Kemudian disembelih, dimasak menurut bagian-bagian yang sudah tertentu.
Setelah masak, kembali lagi dipersembahkan. (Upacara persembahan ini hanya dilaksanakan di Bale Partonggoan.
Apabila upacara dilaksanakan dengan Pelean yang lengkap, biasanya harus diiringi dengan membunyikan Gondang Sabangunan (Gondang Batak). Selesai upacara ini seluruh hadirin oleh pemimpin upacara membubuhkan beras ke ubun-ubun peserta dan disebut “Sipir Ni Tondi”, kemudian dipercikkan “Pangurason”. Juga pelean ini semuanya disebut dengan “Pelean Debata” (Persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa). Ada juga yang disebut “Pelean Habonaron” yaitu persembahan kepada Roh-roh yang dalam kepercayaan Ugamo Malim adalah pendamping manusia secara ghaib, dan ini biasanya berada dalam rumah, dalam kampung (desa) maupun dalam setiap langkah-perjalanan, roh ini selalu menemani manusia. Pelean Habonaron ini disajikan di dalam “Mombang” yang terbuat dari daun enau, pucuk enau, rotan dan tali dibuat dalam bentuk yang indah, digantungkan ditengah runagan rumah.
PENGAMALAN TENTANG BUDI LUHUR

1. Ajaran Tentang Budi Luhur
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa pada hakekatnya adalah sama dengan unsur-unsur jasmani dan rohaniah yang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan manusia di dunia ini selalu diliputi keadaan yang sangat bertenatangan satu sama lain. Senang-sunah, suka-duka, sehat-sakit, hidup-mati. Itu semuanya adalah kodrat manusia yang dijadikan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam ajaran kepercayaan Ugamo Malim memberi petunjuk agar hidup ini tidak dibalut oleh kedukaan dan kegirangan semata-mata dan menempatkan hidup manusia berkeseimbangan menerima keadaan-keadaan yang saling bertentangan.
Diajarkan “Tuhan Yang Maha Esa menjadikan kehidupan menjadi kematian, dan kematian menjadi kehidupan”. (Dibahen Debata do hangoluan jumadi hamatean; hamatean I jumadi hangoluan). Juga diajarkan : “Tuhan Yang Maha Esa menjadikan kehidupan menjadi kehidupan, dan kematian menjadi kematian”. (Dibahen Debata do hangoluan I jumadi hangoluan, hamatean I jumadi hamatean). Akhir dari kehidupan di dunia adalah kematian, dan hal-hal ini sudah merupakan hukum alam. Siapapun tidak dapat menghindar dari keadaan ini. Tetapi kematian untuk menjadi kehidupan (yang abadi) adalah Kuasa Tuhan Yang Maha Esa dengan sabdaNya, bagi siapa yang “benar” melaksanakan kehendakNya. Kematian yang menjadi kematian, juga adalah Kuasa Tuhan Yang Maha Esa dengan sabdaNya, bagi siapa yang tidak melaksanakan (ingkar) kehendakNya. Untuk mencapai kehidupan diluar kehidupan jasmani ini oleh Raja Nasiakbagi kepada pengikutnya diberikan “bekal” untuk itu.disebutkan: “Indion ma pangan hamu eme na hu papungu na di sopo on. Mardos ni roha ma hamu marbagi. Umbahen na hupapungu I, asa adong do mangudut haleonmu”. Maksudnya : “Inilah kamu makan, makanan yang telah kusediakan dalam rumah ini. Seiasekatalah kamu membagi-baginya. Sebabnya ini kusediakan, agar kelak kamu tidak berkekurangan”. Bekal itu adalah Poda, Tona, Patik dan uhum yang terpadu didalam Patik Ni Ugamo Malim dan kebersamaan melaksanakan penghayatannya melalui aturan-aturan dalam Ugamo Malim itu, kemudian diamalkan dalam kehidupan agar tidak sampai terjadi perilaku kehidupan apabila dicerminkan kepada Patik, dapat diketahui kesalahan atau dosa apa yang telah diperbuat, kebaikan atau kebijakan yang dilakukan.
Kesalahan dan dosa, kebaikan dan kebijakan, semuanya dieprsembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar dosa diampuni dan kebajikan diberkati menjadi pengabdian kepadaNya. Setiap saat Parmalim diwajibkan membaca ulang kegiatan kehidupannya, untuk kemudian menata kehidupan itu bercermin kepada Patik dan Aturan Ugamo Malim.

2. Usaha-usaha Penanaman Budi Luhur
Kegiatan Parmalim ditengah-tengah masyarakat yang bermacam kepercayaan sangat disadari, terutama mengingat bahwa jumlah pengikut kepercayaan ini sangat sedikit di bandingkan dengan kepercayaan lain disekitarnya. Untuk itu selalu ditanamkan agar citra dan jati Parmalim harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku hidup sehari-hari. tidak ada alasan untuk tidak rukun dengan sesama yang berlainan kepercayaan sepanjang tidak menyinggung atau menyimpang dari norma-norma kesusilaan, dan nilai-nilai hidup yang diajarkan oleh kepercayaan Ugamo Malim, Tatanan Adat dan Budaya Batak.
Ketekunan dan kesetiaan Parmalim melaksanakan peribadatan tidak terpengaruh kepada hal-hal yang sifatnya sebenarnya dapat dihindarkan atau ditunda. Kewajiban utama adalah melaksanakan Aturan Ugamo Malim, kecuali utama ada hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan dan kekuasaan, seperti sakit, berada di tempat yang jauh dari tempat peribadatan, maupun karena tugas yang tidak terelakkan. Namun diwajibkan sesaat untuk mengingat dan berdoa dalam hati.

- Marari Sabtu.
Salah satu aturan dalam ugamo Malim adalah Marari Sabtu, yaitu peribadatan yang dilaksanakan setiap hari sabtu. Aturan ini mnegikat dalam kehidupan kepercayaan Parmalim. Aturan ini adalah hari yang dimuliakan Parmalim, untuk mensyukuri hidupnya setiap minggu dan memohon keampunan dosa serta memohon limpahan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.
Pada hari ini, selama satu hari penuh tidak diperbolehkan melaksanakan kegiatan sehari-hari atau berdiam diri dirumahnya. Semuanya harus berkumpul di rumah Parsantian (Rumah Peribadatan) yang berdekatan dengan tempat tingglanya atau yang sudah ditentukan menjadi tempat Peribadata.
Upacara Peribadatan ini dipimpin Ulu Punguan. Dialah yang mengucapkan doa ritual (Tonggo-tonggo). Salah seorang diantara peserta bertindak sebagai Patik Ni Ugamo Malim dan diikuti seluruh peserta. Disusul dengan yang lain mengucapkan sepatah dua kata yang memberi semacam khotbah kepada hadirin yang kemudian ditutup oleh Ulu Punguan dengan pemberian nasehat dan bimbingan.
Bale Pasogit Partonggoan yang menjadi Pusat kegiatan dalam kehidupan Parmalim melalui Ihutan Parmalim secara garis besar (inti) memberikan bimbingan, tuntunan yang sifatnya mengingatkan agar kehidupan warganya senantiasa berkisar kepada :
a. Pangoloion di Patik
b. Parulan di Uhum
c. Pangalaho Hamalimon

ad. a. Menerima dan melaksanakan Patik Ni Malim secara ikhlas dengan ketulusan hati, adalah menyembah Tuhan Yang Maha Esa, menghormati Raja, mencintai sesama manusia dan giat/rajin bekerja untuk nafkah hidup.
ad. b. Perilaku dan ketekunan melaksanakan Aturan-aturan peribadatan/penghayatan dalam kepercayaan Ugamo Malim. Melalaikan atau melanggar Aturan Ni Ugamo Malim dengan kesengajaan adalah suatu pengingkaran atas berkat Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan dosa, dan tidak layak disebut Parmalim.
ad. c. Sikap pribadi dan kehidupan Parmalim dengan penghayatan dan pengamalan ajaran kepercayaan Ugamo Malim, disimpulkan dalam 5 (lima) Hamalimon, yaiyu :
1) Malim Parmanganon, (mencari nafkah hidup)
2) Malim Pamerengon, (kehormatan dan tata susila)
3) Malim Parhundulon, (kehidupan bermasyarakat)
4) Malim Pangkataion, (sopan santun)
5) Malim Pardalanon, (ketekunan dan kepatuhan)
Punguan (Cabang) Parmalim menerima butir-butir bimbingan ini dari Bale Pasogit Partonggoan yang dianmakan “Turpuk Poda Hamalimon”, yang dibacakan dan dijabarkan setiap hari sabtu dimanapun Punguan tersebut berada. Dengan bekal tuntunan ini setiap peserta peribadatan mempunyai kewajiban untuk saling mengingatkan dengan landasan utama Patik dan aturan tadi. Ihutan Parmalim di Bale Pasogit Partonggoan, secara cermat mengikuti perkembangan dan perilaku warga Parmalim melalui para Ulu Punguan. Kelahiran, perkawinan, kematian dan lain-lainnya selalu dilaporkan para Ulu Punguan dengan “Berita Punguan” dan dicatat dalam buku induk (Haadongan ni Parmalim) di Bale Pasogit Partonggoan.
3. Kehidupan Sosial Kemasyarakatan
Telah dijelaskan bahwa Parmalim selaku pengikut dari ajaran kepercayaan Ugamo Malim, hidup di tengah-tengah masyarakat yang berbeda kepercayaannya. Perikehidupan Parmalim dalam bermasyarakat disamping menuruti tatanan kepercayaan, juga berlaku tatanan adat Batak. Sebab Adat Batak yang murni dan kepercayaan Ugamo Malim adalah saling mendukung.
Perlu diketahui, bahwa yang menjadi ciri khas bangsa batak, yang disebut Sisiasia di habatahon, adalah :
a. Mardebata, (ber-Ketuhanan)
b. Maradat, (ber-Adat)
c. Marpatik, (ber-Patik)
d. Maruhum, (ber-Hukum)
e. Marharajaon, (ber-Pemerintahan/Kerajaan)

Adat Batak mengatakan agar saling menghormati, saling menghargai, dan saling mengasihi. Bukan sebaliknya.
a. Somba marhula-hula, (menghargai hula-hula)
b. Manat mardongan tubu, (menghargai teman semarga)
c. Elek marboru, (menyayangi pihak boru)

Adat dan haporseaon (kepercayaan) adalah sejalan dan seirama dalam kehidupan Parmalim, dan didalam pelaksanaan aturan-aturan dalam kepercayaan ini.
Nilai-nilai kehidupan dan hakiki menurut falsafah Batak disebutkan : “Marsiaminan songon lampak ni gaol, marsitungkolan songon suhut di robean”. Artinya diibaratkan bahwa hidup manusia itu sebagai pelepah pisang maupun talas. Apabila ikatannya diurai, ternyata pelepah itu tidak ada dayanya berdiri sendiri. Mereka harus saling bersedekap (marsiaminaminan-marsitungkoltungkolan) agar tahan menerima terpaan angin maupun badai.
Demikian juga hidup manusia harus saling membantu, saling menghormati hak dan kewajibannya, saling merasa senasib sepenanggungan. (Holong dalam ajaran kepercayaan Ugamo Malim). Apabila ini terbina dengan baik, maka kedamaian dan kesatuan akan terwujud, seperti buah pisang yang sangat enak dan manis.
Disinilah pengalaman ajaran kepercayaan Ugamo Malim untuk melaksanakan Patik Ni Ugamo Malim “Marsihaholongan” dalam perikehidupan kemasyarakatan dan pengabdian itu tanpa pamrih, dan hanya semata-mata kewajiban dalam mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

ADAT DALAM PERNIKAHAN

PERNIKAHAN ADAT BATAK




PENGANTAR
Perkawinan dalam Adat Batak mengandung nilai yang sangat sakral. Dikatakan sakral karena dalam pemahamannya bermakna pengorbanan bagi parboru (pihak penganten perempuan) karena ia “berkorban” memberikan anak perempuannya kepada orang lain pihak paranak (pihak penganten pria) , yang menjadi penerus marga keturunan Pihak Paranak nanti, sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan/ mempersembahkan satu nyawa juga yaitu menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau), yang kemudian menjadi santapan (makanan adat) dalam ulaon unjuk/ adat perkawinan itu.
Sebagai bukti bahwa santapan /makanan adat itu adalah hewan yang utuh, pihak pria harus menyerahkan bagian-bagian tertentu hewan itu (kepala, leher, rusuk melingkar, pangkal paha, bagian belakang dengan ekornya masih melekat, hati, jantung dll) . Bagian-bagian tersebut disebut tudu-tudu ni sipanganon (tanda makanan adat) yang menjadi jambar yang nanti dibagi-bagikan kepada para pihak yang berhak, sebagai tanda penghormatan atau legitimasi sesuai fungsi-fungsi (tatanan adat) keberadaan/kehadiran mereka didalam acara adat tersebut, yang disebut parjuhut.
Sebelum misi/zending datang dan orang Batak masih menganut agama tradisi lama, lembu atau kerbau yang dipotong ini ( waktu itu belum ada pinahan lobu) tidak sembarang harus yang terbaik dan dipilih oleh datu. Barangkali ini menggambarkan hewan yang dipersembahkan itu adalah hewan pilihan sebagai tanda/simbol penghargaan atas pengorbanan pihak perempuan tersebut. Cara memotongnya juga tidak sembarangan, harus sekali potong/sekali sayat leher sapi/kerbau dan disakasikan parboru (biasanya borunya) jika pemotongan dilakukan ditempat paranak (ditaruhon jual). Kalau pemotongan ditempat parboru (dialap jual) , paranak sendiri yang menggiring lembu/kerbau itu hidup-hidup ketempat parboru. Daging hewan inilah yang menjadi makanan pokok “ parjuhut” dalam acara adat perkawinan (unjuk itu). Baik acara adat diadakan di tempat paranak atau parboru, makanan/juhut itu tetap paranak yang membawa /mempersembahkan.
Kalau makanan tanpa namargoar bukan makanan adat tetapi makanan rambingan biar bagaimanpun enak dan banyaknya jenis makananannya itu. Sebaliknya “namargoar/tudu- tudu sipanagnaon” tanpa “juhutnya” bukan namargoar tetapi “namargoar rambingan” yang dibeli dari pasar. Kalau hal ini terjadi di tempat paranak bermakna “paranak” telah melecehkan parboru, dan kalau ditempat parboru (dialap jula) parboru sendiri yang melecehkan dirinya sendiri. Dari pengamatan hal seperti ini sudah terjadi dibeberapa tempat, yang menunjukkan betapa tidak dipahami nilai luhur adat itu.
Anggapan acara adat Batak rumit dan bertele-tele adalah keliru, sepanjang ia diselenggarakan sesuai pemahaman dan nilai luhur adat itu sendiri. Ia menjadi rumit dan bertele-tele karena diselenggarakan tidak sesuai pemahaman atau tergantung seleranya.

BAGIAN I

PRA NIKAH
Yang dimaksud dengan pra nikah disini adalah proses yang terjadi sebelum acara adat pernikahan.
A. Perkenalan dan bertunangan.
Pernikahan tidak selalu dengan proses ini, khususnya ketika masih masanya Siti Nurbaya.
B. Patua Hata.
Terjemahannya menyampaikan secara resmi kepada orang tua perempuan hubungan muda mudi dan akan dilanjukan ke tingkat perkawinan. Dengan bahasa umum, melamar secara resmi.
C. Marhori-hori dinding.
Membicarakan secara tidak resmi oleh utusan kedua belah pihak menyangkut rencana pernikahan tersebut.
D. Marhusip.
Arti harafiahnya adalah berbisik. Maksudnya kelanjutan pembicaraan tetapi sudah oleh utusan resmi, bahkan ada kalanya sudah oleh kedua pihak langsung.
E. Pudun Saut.
Parajahon/ Pengesahan kesepakatan di Marhusip yang dihadiri dalihan na tolu dan suhi ampang na opat masing-masing pihak. Disini pihak Paranak/Pria sudah membawa makanan adat/makanan namargoar.

Catatan:
Aslinya dikatakan “Marhata Sinamot” dimana pembicaraan langsung tanpa didahului marhusip.
Yang pokok dibicarakan dalam acara adat Pudun Saut antara lain adalah
1. Sinamot.
2. Ulos
3. Parjuhut dan Jambar
4. Alap Jual atau Taruhon Jual)
5. Jumlah undangan
6. Tanggal dan tempat pemberkatan.
7. Tata acara.
(Selengkapnya lihat dalam Pedoman Pudun Saut).

BAGIAN II

UNJUK ATAU ACARA ADAT PERNIKAHAN
Acara ini diselenggarakan setelah acara pernikahan secara agama sesuai yang diatur dalam UU untuk itu.
A BEBERAPA Pengertian POKOK DALAM ADAT PERKAWINAN
1. Suhut , kedua pihak yang punya hajatan
2. Parboru, orang tua pengenten perempuan=Bona ni hasuhuton
3. Paranak, orang tua pengenten Pria= Suhut Bolon.
4. Suhut Bolahan amak : Suhut yang menjadi tuan rumah dimana acara adat di
selenggarakan.
5. Suhut naniambangan, suhut yang datang
6. Hula-hula, saudara laki-laki dari isteri masing-masing suhut
7. Dongan Tubu, semua saudara laki masing-masing suhut
8. Boru, semua yang isterinya semarga dengan marga kedua suhut
9. Dongan sahuta, arti harafiah “teman sekampung” semua yang tinggal dalam
huta/kampung komunitas (daerah tertentu) yang sama paradaton/solupnya.
10. Ale-ale, sahabat yang diundang bukan berdasarkan garis persaudaraan (kekerabatan
atau silsilah) .
11. Uduran, rombongan masing-masing suhut, maupun rombongan masing-masing hula-
hulanya.
12. Raja Parhata (RP), Protokol (PR) atau Juru Bicara (JB) masing-masing suhut, juru
bicara yang ditetapkan masing-masng pihak
13. Namargoar, Tanda Makanan Adat , bagian-bagian tubuh hewan yang dipotong yang
menandakan makanan adat itu adalah dari satu hewan (lembu/kerbau) yang utuh,
yang nantinya dibagikan.
14. Jambar, namargoar yang dibagikan kepada yang berhak, sebagai legitimasi dan
fungsi keberadaannya dalam acara adat itu.
15. Dalihan Na Tolu (DNT), terjemahan harafiah ”Tungku Nan Tiga” satu sistim
kekerabatan dan way of life masyarakat Adat Batak (Somba marHula-hula,Manat
marDongan tubu, Elek margelleng/ boru)
16. Solup, takaran beras dari bambu yang dipakai sebagai analogi paradaton, yang
bermakna dihuta imana acara adat batak diadakan solup/paradaton dari huta itulah
yang dipakai sebagai rujukan, atau disebut dengan hukum tradisi “sidapot solup
do na ro.

B PROSESI MASUK TEMPAT ACARA ADAT (Contoh Acara di Tempat Perempuan)
Raja Parhata/Protokol Pihak Perempuan = PRW
Raja Parhata/Protokol Pihak Laki-laki = PRP
Suhut Pihak Wanita = SW
Suhut Pihak Pria = SP

I. PRW meminta semua dongan tubu/semarganya bersiap untuk menyambut dan menerima
kedatangan rombongan hula-hula dan tulang
II. PRW memberi tahu kepada Hula-hula, bahwa SW sudah siap menyambut dan menerima
kedatangan Hula-hula
III. Setelah hula-hula mengatakan mereka sudah siap untuk masuk, PRW mempersilakan masuk
dengan menyebut satu persatu, hula-hula dan tulangnya secara berurutan sesuai
urutan rombongan masuk nanti:
1.Hula-hula, ……
2.Tulang, …….
3.Bona Tulang, …..
4.Tulang Rorobot, …..
5.Bonaniari, ……
6.Hula-hula namarhaha-maranggi:
-a …
-b….
-c….
dst
7.Hula-hula anak manjae, ….. ,
dengan permintaan agar mereka bersama-sama masuk dan menyerahkan pengaturan selanjutnya.

IV. PR Hulahula, menyampaikan kepada rombongan hula-hula dan tulang yang sudah disebutkan PRW pada III , bahwa Suhut Pihak Wanita sudah siap menerima kedatangan rombongan hula-hula dan tulang dengan permintaan agar uduran Hula-hula dan Tulang memasuki tempat acara , secara bersama-sama.
Untuk itu diatur urut-urutan uduran (rombongan) hula-hula dan tulang yang akan memasuki ruangan. Uduran yang pertama adalah Hula-hula,……, diikuti TULANG …….sesuai urut-urutan yang disebut kan PRW pada III.



V. MENERIMA KEDATANGAN SUHUT PARANAK (SP).
Setelah seluruh rombongan hula-hula dan tulang dari SW duduk (acara IV), rombongan
Paranak/SP dipersilakan memasuki ruangan.
1. PRW, memberitahu bahwa tempat untuk SP dan uduran/rombongannya sudah disediakan
dan SW sudah siap menerima kedatangan mereka beserta Hula-hula , Tulang SP dan
uduran/rombongannya .
2 PRP menyampaikan kepada dongan tubunya SP, bahwa sudah ada permintaan dari SW
agar mereka memasuki ruangan.
Kepada hula-hula dan tulang (disebutkan satu perasatu) yaitu:
1. Hula-hula, ….
2. Tulang, …..
3. Bona Tulang, ….
4. Tulang Rorobot, …..
5. Bonaniari , …..
6. Hula-hula namarhaha-marnggi:
- a…….
- b…..
- c……..
- dst
7. Hula-hula anak manjae…..

PRP memohon, sesuai permintaan hula-hula SW agar mereka masuk bersama-sama dengan SP. Untuk itu tatacara dan urutan memasuki ruangan diatur, pertama adalah Uduran/rombongan SP & Borunya, disusul Hula-hula….., Tulang…..dan seterusnya sesuai urut-urutan yang telah dibacakan PRP (Dibacakan sekali lagi kalau sudah mulai masuk).

C MENYERAHKAN TANDA MAKANAN ADAT.
(Tudu-tudu Ni Sipanganon)

Tanda makanan adat yang pokok adalah: kepala utuh, leher (tanggalan), rusuk melingkar (somba-somba) , pangkal paha (soit), punggung dengan ekor (upasira), hati dan jantung ditempatkan dalam baskom/ember besar.
Tanda makanan adat diserahkan SP beserta Isteri didampingi saudara yang lain dipandu PRP, diserahkan kepada SW dengan bahasa adat, yang intinya menunjukkan kerendahan hati dengan mengatakan walaupun makanan yang dibawa itu sedikit/ala kadarnya semoga ia tetap membawa manfaat dan berkat jasmani dan rohani hula-hula SW dan semua yang menyantap nya, sambil menyebut bahasa adat : Sitiktikma si gompa, golang golang pangarahutna, tung so sadia (otik) pe naung pinatupa i, sai godangma pinasuna.


D MENYERAHKAN DENGKE/IKAN OLEH SW

Aslinya ikan yang diberikan adalah jenis “ihan” atau ikan Batak, sejenis ikan yang hanya hidup di Danau Toba dan sungai Asahan bagian hulu dan rasanya memang manis dan khas. Ikan ini mempunyai sifat hidup di air yang jernih (tio) dan kalau berenang/berjalan selalu beriringan (mudur-udur) , karena itu disebut ; dengke sitio-tio, dengke si mudur-udur (ikan yang hidup jernih dan selalu beriringan/berjalan beriringan bersama)
Simbol inilah yang menjadi harapan kepada penganten dan keluarganya yaitu seia sekata beriringan dan murah rejeki (tio pancarian dohot pangomoan).
Tetapi sekarang ihan sudah sangat sulit didapat, dan jenis ikan mas sudah biasa digunakan. Ikan Mas ini dimasak khasa Batak yang disebut “naniarsik” ikan yang dimasak (direbus) dengan bumbu tertentu sampai airnya berkurang pada kadar tertentu dan bumbunya sudah meresap kedalam daging ikan itu.
Bahasa adat yang biasa disebutkan ketika menyerahkan ikan ini adalah:
……………………………………………

E MAKAN BERSAMA

Sebelum bersantap makan, terlebih dahulu berdoa dari suhut Pria (SP) , karena pada dasarnya SP yang membawa makanan itu walaupun acara adatnya di tempat SW.
Untuk kata pengantar makan, PRP menyampaikan satu uppasa (ungkapan adat) dalam bahasa Batak seperti waktu menyerahakan tanda makanan adat:

Sitiktikma si gompa, golang golang pangarahutna
Tung, sosadiape napinatupa on, sai godangma pinasuna.

Ungkapan ini menggambarkan kerendahan hati yang memebawa makanan SP, dengan mengatakan walaupun makanan yang dihidangkan tidak seberapa (pada hal hewan yang diptong yang menjadi santapan adalah hewan lembu atau kerbau yang utuh), tetapi mengharapkan agar semua dapat menikmatinya serta membawa berkat.
Kemudian PRP mempersilakan bersantap

F MEMBAGI JAMBAR/TANDA MAKANAN ADAT

Biasanya sebelum jambar dibagi, terlebih dahulu dirundingkan bagian-bagian mana yang diberikan SW kepada SP. Tetapi, yang dianut dalam acara adat yaitu Solup Batam, yang disebut dengan “JAMBAR MANGIHUT”dimana jambar sudah dibicarakan sebelumnya dan dalam acara adatnya (unjuk) SW tinggal memberikan bagian jambar untuk SP sebagai ulu ni dengke mulak. Selanjutnya masing masing suhut membagikannya kepada masing-masing fungsi dari pihaknya masing-masing saat makan sampai selesai dibagikan

G MANJALO TUMPAK (SUMBANGAN TANDA KASIH)

Arti harafiah tumpak adalah sumbangan bentuk uang, tetapi melihat keberadaan masing-masing dalam acara adat mungkin istilah yang lebih tepat adalah tanda kasih. Yang memberikan tumpak adalah undangan SUHUT PRIA, yang diantarkan ketempat SUHUT duduk dengan memasukkannya dalam baskom yang disediakan/ ditempatkan dihadapan SUHUT, sambil menyalami pengenten dan SUHUT.
Setelah selesai santap makan, PRP meminta ijin kepada PRW agar mereka diberi waktu untuk menerima para undangan mereka untuk mengantarkan tumpak (tanda kasih)
Setelah PRW mempersilahkan, PRP menyampaikan kepada dongan tubu, boru/bere dan undangannya bahwa SP sudah siap menerima kedatangan mereka untuk mengantar tumpak.
Setelah selesai PRP mengucapkan terima kasih atas pemberian tanda kasih dari para undangannya

H ACARA PERCAKAPAN ADAT.

I. MEMPERSIAPKAN PERCAKAPAN:

1. PRW menanyakan SP apakah sudah siap memulai percakapan, yang dijawab oleh SP, mereka sudah siap
2. Masing-masing PRW dan PRP menyampaikan kepada pihaknya dan hula-hula serta tulangnya bahwa percakapan adat akan dimulai, dan memohon kepada hula-hulanya agar berkenan memberi nasehat kepada mereka dalam percakapan adat nanti

II. MEMULAI PERCAKAPAN (PINGGAN PANUNGKUNAN) .

Pinggan Panungkunan, adalah piring yang didalamnya ada beras, sirih, sepotong daging (tanggo-tanggo) dan uang 4 lembar. Piring dengan isinya ini adalah sarana dan simbol untuk memulai percakapan adat.
1. PRP meminta seorang borunya mengantar Pinggan Panungkunan itu kepada PRW
2. PRW, menyampaikan telah menerima Pinggan Panungkunan dengan menjelaskan apa arti semua isi yang ada dalam beras itu. Kemudian PRW mengambil 3 lembar uang itu, dan kemudian meminta salah seorang borunya untuk mengantar piring itu kembali kepada PRP
3. PRW membuka percakapan dengan memulainya dengan penjelasan makna dari tiap isi pinggan panungkunan (beras, sirih, daging dan uang), kemudian menanyakan kepada SP makna tanda dan makanan adat yang sudah dibawa dan dihidangkan oleh SP
4. Akhir dari pembukaan percakapan ini, keluarga SP mengatakan bahwa makanan dan minuman pertanda pengucapan syukur karena berada dalam keadaan sehat, dan tujuan SP adalah menyerahkan kekurangan sinamot , dilanjutkan adat yang terkait dengan pernikahan anak mereka

III. PENYERAHAN PANGGOHI/KEKURANGAN SINAMOT

1. Dalam percakapan selanjutnya, setelah PRW meminta PRP menguraikan apa/berapa yang mau mereka serahkan , PRP memberi tahukan kekurangan sinamot yang akan mereka serahkan adalah sebsar Rp… , menggenapi seluruh sinamot Rp…. . (Pada waktu acara Pudun Saut, SP sudah menyerahkan Rp … sebagai bohi sinamot (mendahulukan sebagian penyerahan sinamot di acara adat na gok).
2. Sebelum PRW mengiakan lebih dulu PRW meminta nasehat dari Hula-hula dan pendapat dari boru
3. Sesudah diiakan oleh PR W, selanjutnya penyerahan kekurangan sinamot kepada SW oleh SP.

IV. Penyerahan Panandaion.

Tujuan acara ini memperkenalkan keluarga pihak perempuan agar keluarga pihak pria mengenal siapa saja kerabat pihak perempuan sambil memberikan uang kepada yang bersangkutan

Secara simbolis, yang diberikan langsung hanya kepada 4 orang saja, yang disebut dengan patodoan atau “suhi ni ampang na opat” ( 4 kaki dudukan/pemikul bakul) yang merupakan symbol pilar jadinya acara adat itu. Dengan demikian biarpun hanya yang empat itu yang dikenal/menerima langsung, sudah mewakili menerima semuanya. Kepada yang lain diberikan dalam satu amplop saja yang nanti akan dibagikan SW kepada yang bersangkutan.

V Penyerahan tintin marangkup.

Diberikan kepada tulang /paman penganten pria (saudara laki ibu penganten pria). Yang menyerahkan adalah orang tua penganten perempuan berupa uang dari bagian sinamot itu
Seacara tradisi penganten pria mengambil boru tulangnya untuk isterinya, sehingga yang menerima sinamot seharusnya tulangnya
Dengan diterimanya sebagian sinamot itu oleh Tulang Pengenten Pria yang disebut titin marangkup, maka Tulang Pria mengaku penganten wanita, isteri ponakannya ini, sudah dianggapnya sebagai boru/putrinya sendiri walaupun itu boru dari marga lain.

VI. Penyerahan/Pemberian Ulos oleh Pihak Perempuan.

Dalam Adat Batak tradisi lama atau religi lama, ulos merupakan sarana penting bagi hula-hula, untuk menyatakan atau menyalurkan sahala atau berkatnya kepada borunya, disamping ikan, beras dan kata-kata berkat. Pada waktu pembuatannya ulos dianggap sudah mempunyai “kuasa”. Karena itu, pemberian ulos, baik yang memberi maupun yang menerimanya tidak sembarang orang , harus mempunyai alur tertentu, antara lain adalah dari Hula-hula kepada borunya, orang tua kepada anak-anaknya. Dengan pemahaman iman yang dianut sekarang, ulos tidak mempunyai nilai magis lagi sehingga ia sebagai simbol dalam pelaksaan acara adat.
Ujung dari ulos selalu banyak rambunya sehingga disebut “ulos siganjang/sigodang rambu”(Rambu, benang di ujung ulos yang dibiarkan terurai)
Pemberian Ulos sesuai maknanya adalah sebagai berikut:

Ulos Namarhadohoan
No Uraian Yang Menerima Keterangan
A Kepada Paranak
1 Pasamot/Pansamot Orang tua pengenten pria
2 Hela Pengenten
B Partodoan/Suhi Ampang Naopat
1 Pamarai Kakak/Adek dari ayah pengenten pria
2 Simanggokkon Kakak/Adek dari pengenten pria
3 Namborunya Saudra perempuan dari ayah pengenten pria
4 Sihunti Ampang Kakak/Adek perempuan dari pengenten pria

Ulos Kepada Pengenten
No Uraian Yang Mangulosi Keterangan
A Dari Parboru/Partodoan
1 Pamarai 1 lembar, wajib Kakak/Adek dari ayah pengenten wanita
2 Simandokkon Kakak/Adek laki-laki dari pengenten wanita
3 Namborunya (Parorot) Iboto dari ayah pengenten wanita
4 Pariban Kakak/Adek dari pengenten wanita
B Hula-hula dan Tulang Parboru
1 Hula-hula 1 lembar, wajib
2 Tulang 1 lembar, wajib
3 Bona Tulang 1 lembar, wajib
4 Tulang Rorobot 1 lembar, tidak wajib
C Hula-hula dan Tulang Paranak
1 Hula-hula 1 lembar, wajib
2 Tulang 1 lembar, wajib
3 Bona Tulang 1 lembar, wajib
4 Tulang Rorobot 1 lembar, tidak wajib

Catatan:
1. Hula-hula namarhahamaranggi dohot hula-hula anak manjae ndang ingkon ulos tanda holong nasida boi ma nian bentuk hepeng, songon na pinatorang. Songoni angka na asing na marholong ni roha.
2. Keruwetan yang terjadi karena undangan pihak perempuan merasa uloslah yang mejadi tanda holong/tanda kasih sehingga harus mengulosi, pada hal sesuai pemahaman pemberi ulos yang tidak sembarangan, ulos yang diberikan itu artinya sama dengan kado/tanda kasih bentuk lain baik barang atau uang, tidak ada nilai adat/sakralnya lagi

VII. Mangujungi Ulaon (Menyimpulkan Acara Adat)

1. Manggabei (kata-kata doa dan restu) dari pihak SW
Berupa kata-kata pengucapan syukur kepada Tuhan bahwa acara adat sudah terselenggara dengan baik:
a. Ucapan terima kasih kepada dongan tubu dan hula-hulanya
b. Permintaan kepada Tuhan agar rumah tangga yang baru diberkati demikian juga orang tua pengenten dan saudara pihak Paranak yang lainnya
2. Mangampu (ucapan terima kasih) dari pihak SP
Ucapan terima kasih kepada semua pihak baik kepada hula-hula SW maupun kepada SP atas terselenggaranya acara adat nagok ini.
CATATAN:
Dalam marhata gabe-gabe dan mangampu, Raja Parhata masing-masing biasanya memberi kesempatan kepada Hula-hula dan boru/ber masing-masing turut menyampaikan beberapa kata sesuai fungsinya baru SUHUT sebagai penutup.
Disini tidak pada tempatnya memberi nasehat kepada pengenten panjang lebar, tetapi senentiasa permintaan kepada Tuhan agar rumah tangga yang baru itu menjadi rumahtangga yang diberkati.

3. Mangolopkon (Mengamenkan) oleh Tua-tua/yang dituakan di Kampung itu
Kedua suhut Parboru dan Paranak, menyediakan piring yang diisi beras dan uang ( biasanya ratusan lembar pecahan Rp1.000 yang baru) kemudian diserahkan kepada Raja Huta yang mau mangolopkon Raja Huta berdiri sambil mengangkat piring yang berisi beras dan uang olop-olop itu. Dengan terlebih dahulu menyampaikan kata-kata ucapan Puji Syukur kepada Tuhan Karena kasih-Nya cara adat rampung dalam suasana damai (sonang so haribo-riboan) serta restu dan harapan kemudian diakhiri , dengan mengucapkan : olop olop, olop olop, olop olop sambil menabur kan beras keatas dan kemudian membagikan uang olop-olop itu.
4. Ditutup dengan doa / ucapan syukur
Akhirnya acara adat ditutup dengan doa oleh Hamba Tuhan.
Sesudah amin, sama-sama mengucapkan: horas ! horas ! horas !
5. Bersalaman untuk pulang,, suhut na niambangan Paranak menyalami Suhut Parboru.

BAGIAN III
PASKA PERNIKAHAN
Ada tradisi lama (tidak semua melakukannya) setelah acara adat nagok , ada lagi acara yang disebut paulak une/mebat dan maningkir tangga.
Acara ini dilakukan setelah penganten menjalani kehidupan sebagai suami isteri biasanya sesudah 7-14 hari (sesudah robo-roboan) yang sebenarnya tidak wajib lagi dan tidak ada kaitannya dengan acara keabsahan perkawinan adat na gok. Acara dimaksud adalah:
I. Paulak Une
Suami isteri dan utusan pihak pria dengan muda mudi (panaruhon) mengunjungi rumah mertua/orang tuanya dengan membawa lampet ( lampet dari tepung beras dibungkus 2 daun bersilang). Menurut tradisi jika pihak pria tidak berkenan dengan pernikahan itu (karena perilaku) atau sang wanita bukan boru ni raja lagi, si perempuan bisa ditinggalkan di rumah orang tua perempuan itu
II. Maningkir Tangga. (Arti harafiah “Menilik Tangga)
Pihak orang tua perempuan menjenguk rumah (tangga anaknya) yang biasanya masih satu rumah dengan orang tuanya.

CATATAN:
Sekarang ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga langsung setelah acara adat ditempat acara adat dilakukan, yang mereka namakan “Ulaon Sadari” . Acara ini sangat keliru, karena disamping tidak ada maknanya seperti dijelaskan diatas, tetapi juga menambah waktu dan biaya ( ikan & lampet dan makanan namargoar) dan terkesan main-main/ melecehkan makna adat itu.
Karena itu diharapkan acara seperti ini jangan diadakan lagi dengan alasan:
1. Dari pemahaman iman, rumah tangga yang sudah diberkati tidak bisa bercerai lagi dengan alasan yang disebut dalam pengertian Paulak Une, dan pemahaman adat itu dilakukan setelah penganten mengalami kehidupan sebagai suami isteri.
2. Terkesan main-main, hanya tukar menukar tandok berisi makananan , sementara tempat Paulak Une dan Maningkir Tangga yang seharusnya di rumah kedua belah pihak. artinya saling mengunjungi rumah satu sama lain, diadakan di gedung pertemuan , pura-pura saling mengunjungi, yang tidak sesuai dengan makna dan arti paulak une dan maningkir tangga itu.
3. Menghemat waktu dan biaya, tidak perlu lagi harus menyediakan makanan namargoar (paranak) dan dengke dengan lampetnya (parboru)
4. Acara itu tidak harus diadakan dan tidak ada hubungannya dengan keabsahan acara adat nagok perkawinan saat ini.
5. Acara Paulak Une dan Maningkir Tangga diadakan atau tidak, diserahkan saja kepada kedua SUHUT karena acara ini adalah acara pribadi mereka, biarlah mereka mengatur sendiri kapan mereka saling mengunjungi

Dari Berbagai Sumber.

DALIHAN NA TOLU

DALIHAN NA TOLU ( D N T )

Pengertian Dalihan adalah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan natolu ialah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya sama dan harmonis.
Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.
Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas dalihan natolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.
Ompunta naparjolo martungkot sialagundi. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.
Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu ? dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut :
Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.

1. Somba marhula-hula

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.
Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).
Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isi nya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.
Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru).

2. Manat Mardongan Tubu.

Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya: Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit.
Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kimpoi.
Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti umpama "Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna'. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik.
Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kimpoi atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.

3. Elek Marboru

Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat(pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.
Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan pesta.

Dari Berbagai Sumber
By : Biarjo Silalahi

UMPASA


UMPASA

Kehidupan adat orang batak tidak terlepas dari Peribahasa (Umpasa) yang terdiri dari 2 macam sbb:
Umpama/umpasa adong do na jempek jala adong do na ganjang.
Contoh ni umpama na jempek ima " SISOLI-SOLI DO ADAT, SIADAPARI GOGO",
Ia umpama na ganjang tarbagi dua doi, parjolo do jolo tudosan, umpe i asa isi ni umpama i na sasintongna,
contoh ni umpama na ganjang ima
" ANDOR HALUMPANG MA PATOGU-TOGU LOMBU;
" SAI NANGNANG MA I SARIMATUA SAHAT RO DI NA PAIRING-IRING PAHOMPU"

HATA PASU-PASU
* Janji urat ni eme tu laklak ni simarlasuna,
Adat na denggan na so ra sega,
uhum na uli na so ra muba i,
asa manumpak ma Tuhanta i
sinur ma pinahan gabe na niula jala horas jolma.
* Sai marrongkap mai songon bagot,
marsibar songon ambalang,
jala sai masigomgoman ma tondi ni nasida tu na tama.
* Dangka ni hariara ma pinangait-ngaithon,
tubuma dihamu anak dohot boru,
sai unang ma panahit-nahithon.
* Balintang ma pagabe tumandakhon sitadoan,
saut do hamu gabe asal ma tontong masipaolo-oloan.
* Dangir-dangir ni batu ma hamu,
pandakdahan ni simbora,
Gabe do hamu jala sarimatua asal ma sai marsada ni roha.
* Ai na tinapu salaon, salaon situa-tua,
Denggan ma hamu masianju-anjuan asa saut gabe jala sarimatua.
* Sai situbu laklak ma hamu situbu singkoru di dolok ni purbatua,
sai tubuan anak ma hamu tubuan boru, donganmuna sarimatua.
* Hariara na bolon bahen parlape-lapean,
Sai tubu ma di hamu anak dohot boru na bolas pangunsandean.
* Bagot na mandung-dung tu pilo-pilo marajar,
Tading ma antong na lungun, sai roma na jagar.
* Sahat-sahat ni soluma sahat tu bortean,
Sahat ma hamu tu parhorasan, sahat tu panggaben.

ANGKA UMPAMA NA MARRAGAM

* Tuat ma na sian dolok martungkot salagundi,
adat ni ompunta sijolo-jolo tubu siihuttonon ni na di pudi.
* Sinuan bulu sibahen nalas,
Sinuan uhum sibaen na horas.
* Muba dolok muba duhutna,
muba luat sai adong do muba adatna.
* Eme na masak di gagat ursa ,
ia i namasa ima di ula.
* Aek godang aek laut,
dos niroha sibahen nasaut
* Sori manungkun sori mandapot,
sai matua marpanungkun tu na nidapot.
* Tangan do botohon, ujungna jari-jari,
Bangko nihata si dohonon, asal ma jumolo marsatabi.
* Ramba na poso na so tubuan lata,
halak na poso na so umboto hata.
* Tampuk ni sibaganding di dolok ni pangiringan,
horas ma hamu na marhaha maranggi, sai masipairing-iringan.
* Bola-bola ni tangan, sitongka i bolahononhon,
bola-bola ni halak, sitongka i tangihononhon.
* Tinallik randorung bontar gotana,
Dos do anak dohot boru nang pe pulik margana,
ai dompak marmeme anak, dompak do tong marmeme boru,
andung ni anak sabulan di dalan, andung ni boru sataon.
* Habang leang-leang songgop tu parapian,
Bolak ni rosu angka na marpariban,
sai masitopot-topotan songon pidong leang-leang.
* Na niida ni mata paula so niida,
na binege ni pinggol paula so ni bege.

Si dua uli songon na mangan poga,
malum sahit bosur butuha

Giringgiring gostagosta,
sai tibu ma hamu mangiringiring huhut mangompaompa

Rundut biur ni eme mambahen tu porngisna,
masijaitan andor ni gadong mambahen tu ramosna.

Hotang binebebebe, hotang pinulospulos
unang iba mandele, ai godang do tudostudos

Tumbur ni pangkat tu tumbur ni hotang
tu si hamu mangalangka sai di si ma hamu dapotan

Hotang hotari, hotang pulogos
gogo ma hamu mansari asa dao pogos

Hotang do bahen hirang, laho mandurung porapora
sai dao ma nian hamu na sirang, alai lam balga ma holong ni roha

Hotang diparapara, ijuk di parlabian
sai dao ma na sa mara, jala sai ro ma parsaulian

Sidangka ni arirang na so tupa sirang,
di ginjang ia arirang, di toru ia panggongonan.
badan mu na ma na so ra sirang, tondi mu sai masigomgoman

Bintang na rumiris ombun na sumorop
anak pe di hamu riris, boru pe antong torop
Bona ni aek puli, di dolok Sitapongan,
sai ro ma tu hamu angka na uli, songon i nang pansamotan

Marasar sihosari di tombak ni panggulangan
sai halak na gogoma hamu mansari jala parpomparan sibulangbulangan


Agia pe lapa-lapa asal di toru ni sobuan
agia pe malapalap asal ma di hangoluan,
ai sai na boi do partalaga gabe parjujuon

Ulos lobulobu marrambu ho ditongatonga
tibu ma ho ito dolidoli, jala mambahen si las ni roha

Ulos lobulobu marrambu ho ditongatonga
sinok ma modom ho anggi, suman tu boru ni namora

ANGKA UMPAMA
• Ingkon barani do mandok hata na sintong, ndang matanggak di hata, ndang matahut di bohi
• Tongka do mulak tata naung masak, mulak marimbulu naung tinutungan
• Tu duru ma hata mabuk, tu tonga hata uhum
• Unang talu mangalehon , parjoring siahiton, parpalia sidungdungon
• Ndang adong amporik na so siallang eme
• Ingkon sada do songon dai ni aek, unang mardua songon dai ni tuak
• Unang songon ulubalang so mida musu
• Unang teal, teleng so hinarpean, na mungkal songon siarari
• Diorong asu do na so ompuna, paniseon do halak di na so padanna
• Ndang piga halak sigandai sidabuan, alai godang sigandai hata
• Ndang sae holan parik ni huta togu, alai ingkon tumogu dope sada ni rohanta
• Piltik ni hasapi do tabo tu pinggol, anggo piltik ni hata sogo do begeon
• Hata paduadua suminta parsalisian, hata patolutolu suminta parrosuan
• Ndang ngalian nang so niulosan, na so ada anian na so adong tudosan
• Ganjang pe nidungduung ni tangan , ganjangan dope nidungdung ni roha
• Molo iba maniop matana halakan maniop suhulna, aganan ma pinalua
• Salah mauli salah ma denggan, songon songgar di robean
• Santahu aek nuaeng, duan tahu aek marsogot, na santahu i do pareahan
• Ingkon martangga martordingan do songon paranak ni balatuk
• Na dangol ni andung, na siak panomuan
• Sai martanda ma songon adian, marhinambar songon dolok
• Todos di ari, tanggor di boturan
ANGKA UMPASA
• Hotang do binebe-bebe, hotang nipulos-pulos
Unang hita mandele ai adong do tudos-tudos
• Sori manungkun, sori mandapot
Martua manungkun ma na ro tu na nidapot
• Tuak natonggi tu bagot si balbalon
Tung pe paet di tingki na salpu, sa i ro ma angka natonggi tu juloan on
• Unduk Sipinggilina, torjok sitarihonna,
Unduk pinailina, tontu adong sinarihonna
• Bangunbangun sinuan, bangun bangun do salongan
Molo na uli sinuan, laos na uli do jaloon
• Sihampir gabe gambir, tandiang gabe toras
tudia pe so tampil, tung tu aha pe so bolas
• Manuan bulu di lapang-lapang ni babi
Mambahen na so uhum, mangulahon na so jadi
• Tangkas pe jabu suhat, tangkasan do jabu bona
tangkas ma hita maduma, laos tangkas ma nang mamora
• Ndang tarbahen be turak, ai nungga sor binahen tagan
Ndang tarbahen be mulak, ai nungga sor niose padan
• Nirimpu do gugutna, hape saitna
Nirimpu do burjuna, hape gaitna
• Binsar ma mata ni ari, poltak mata ni bulan
Sai horas ma angka lahilahi sai horas nang angka parompuan
• Mabaor aek puli sian dolok ni simamora, sai hot ma jabunta on bagas nauli, inganan marlas ni roha
Pir do pongki, bahulbahul pansalongan
Pir ma tondi, sai ro ma pangomoan
• Marisap nama jo, manang beha hinatabona
Marpingkir nama jo, manang beha pangalahona
• Jonjong di dolok purbasinomba, manatap tu panamparan,
Sai sahat ma hamu saur matua, mangingani jabuon dihaliangi angka pomparan
• Hotanghotang so dohonon, ansiumn so bolaon
Hata na so sidohonon, tongka do paboa-boaon
• Pusuk ni tobu na poso uram-uram ni situma
Sungkunon ma gogo tu na poso, ruhut adat tu natua-tua
• Bintang narumiris tu ombun na sumorop
Anak pe antong riris, boru pe antong torop
• Tuat ma pandurung, nangkok ma parsoban
Marsidolosan pe tanggurung, tongka do masihaoran
• Unang jolo siburinsak, asa porapora
Unang jolo hona insak, asa pinauba roha
• Ampa-paga dolok, tu ampapaga ni Humbang
Ba hita do marsogot, laos hita do nang haduan
• Naung indahan, tongka do dudaon
Naung ni oloan, tongka do juaon
• Unang girgir mambau, anggo so binoto do mambibiri
Unang girgir iba marjabu, anggo so binoto do mamparabiti
• Tuak natonggi tu bagot si balbalon
Tung pe paet di tingki na salpu, sa i ro ma angka natonggi tu juloan on
• Tinapu bulung siarum, bahen uram ni pora-pora
Na hansit gabe malum, molo dapot sinangkap ni roha
• Sinuan bagot, bagot marpilo-pilo
Jotjot do naung pangidoan, gabe mangido-ido
• Bulung ni bulu do i, tu bulung ni hotang
Ia tundal sarupa musu, hape dompak sarupa dongan
• Madekdek ansosoit tongon tu tarumbara
Unang dok hamu hami parholit, silehonon do soada
• Mangkuling taguktaguk, di atas ni arirang
Hunsus na baru saut, bau na baru sirang
• Daling ni dalingkon, masuak hodong ni bagot
Tading na tinadingkon, hape na nieahan pe so dapot
• Ndang tardanggur be na gantung di dolok ni spakpahi
Ndang taringot be na dung songon bongka siapari
• Nidanggur ambaroba, ambaroba na so ra hona
Bangko ni hita jolma, sai masiahut tu jolona
• Molo tampil tu parsoburan, ingkon siat do tu panggatan
Molo tangkas do di partuturan, ingkon dohot do di parjambaran
• Niluluan tandok hape dapot parindahanan
Tolap papangan do nian mandok, alai ndang tuk jamaon ni tangan
• Rande ampapaluan, porapora si salean
Raja do pangalu-aluan na mora paulaean
• Solot bulung hahombu, tu dangka ni arirang
Salang na marpahompu, adong do i na sirang
• Duru ni harangan, hatubuan ni tada-tada
Hansit do tangan rajanami, mandangurhon na so ada
• Marluga sitindaon, mangan hoda sigapiton
tu jolo ni langkahon, tu pudi sinarihon
• Barita ni lampedang mardangka bulung bira
Barita ni hamoraon mu, tarbege do ro di dia