tag:blogger.com,1999:blog-841651245815225042024-03-26T13:44:10.102+07:00OMPU RAJA SILAHISABUNGANBlog yang Batak Bangat!
"Historical Culture with big Inspiration and Information"Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.comBlogger47125tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-51565651741773102722013-07-23T12:42:00.005+07:002013-07-23T12:42:49.063+07:00Migran Batak Toba di JakartaMigran batak Toba di jakarta<br />
<br />
<strong><br /></strong>
Sesudah tahun 1900 ada beberapa orang dari Tapanuli yang dibawa oleh Belanda sebagai pembantu dan pekerjanya ke Batavia. Pada waktu itu Batavia sudah menjadi tempat mencari pekerjaan bagi orang-orang yg datang dari daerah lain di pulau jawa atau sumatera. Salah seorang pemuda kristen batak yang dianggap angkatan pertama datang ke Batavia untuk mencari pekerjaan ialah Simon Hasibuan, seorang tamatan Seminari Pansurnapitu, Tarutung. Dia sampai ke Batavia pada tahun 1907(Sihombing, 1961).<br />
<br />
<br />
<br />
Nainggolan mengemukakan bahwa sekitar tahun 1908, sudah mulai berdatangan orang batak ke Batavia untuk mencari pekerjaan. Dari antara mereka ada yang mengalami kesulitan karena dasar pendidikan mereka yang kurang memadai, akibatnya ada yang kembali ke Tapanuli tetapi ada juga yang tetap bertahan walaupun mereka lebih lama untuk memperoleh pekerjaan yang diinginkannya. Sebagian lagi lebih mudah mendapat pekerjaan karena latar belakang pendidikannya membantu mereka memperoleh pekerjaan. Mereka agak segan mengakui dirinya orang batak, karena kata ‘batak’ memberi arti yg ‘kurang sedap’ pada waktu itu. Itulah salahsatu sebab tidak banyak yang mencantumkan marga dibelakang namanya. Disamping itu, kaum pendatang masih dianggap ‘kafir’ oleh penduduk setempat.<br />
<br />
Selain mencari pekerjaan, tahun-tahun selanjutnya sudah mulai ada yang melanjutkan pendidikannya pada sekolah-sekolah lanjutan. Tahun 1913 baru 5 orang yang melanjutkan pendidikannya, diantaranya J.K Panggabean. Sejak tahun 1915 pemuda-pemuda batak tamahan HIS Sigompulon-Tarutung semakin banyak yang melanjutkan pendidikannya, diantaranya ke Kwekschool Gunung Sahari, K.W.S, Stovia dan lain-lain. Sebagian lagi tamatan sekolah Melayu dan sekolah Zending datang untuk mencari pekerjaan di Batavia. Orang-orang yang terlebih dulu datang, ada yang sudah bekerja seperti di jawatan Tofografi, yang mengukur tanah, gunung dan membuat peta-peta.<br />
<br />
Namun ada juga yang kembali ke Tapanuli dengan alasan tertentu walaupun mereka telah bekerja di Batavia. Hezekiel.M.Manulang, misalnya, yang tinggal selama 2 tahun(1914-1916) dan bekerja pada gereja Methodist di Patekoan memilih kembali ke Tapanuli dan membangun gerakanpolitik disana untuk menentang maksud pengusaha Belanda yang hendak membuka perkebunan di Silindung.<br />
<br />
Demikian juga Lamsana Lumbantobing yang bekerja sebagai pendeta Methodist di jalan Ketapang, kembali ke Tarutung dan membuka kursus Bahasa Inggris disana. Walaupun ada yang kembali tetapi jumlah yang tinggal di Batavia cenderung semakin banyak, karena selalu munculnya pendatang baru. Simon Hasibuan seorang bekas guru Zending yang bekerja pada jawatan Kadaster dipandang sebagai ‘orang tua’ dari pemuda-pemuda batak yang tinggal di Batavia.<br />
<br />
Pada tahun 1917 sudah terdapat 30 orang Kristen batak yang tinggal di Batavia. Lima diantaranya sudah berumah tangga dan sebagian lagi terdiri dari pemuda yang melanjutkan sekolah di sekolah teknik(Ambactschool), perawat di R.S CBZ(RSUP sekarang), R.S Cikini, dan R.S KPM Petamburan(simatupang & Pardede,1986). Sebagian besar dari mereka tinggal di Sawah Besar.Dalam mengikuti kebaktian minggu ada yang memasuki Gereja Katolik, Methodist, Gereformeede Kerk, Indische Kerk dan gereja lainnya. Bagi yang menguasai bahasa Belanda, mereka tidak segan-segan mengikuti kebaktian yang berbahasa Belanda. Dalam kurun waktu beberapa tahun itu,mereka bukan tidak rindu mengikuti kebaktian berbahasa daerah, sebagaimana di kampung halamannya.<br />
<br />
Guru Frederik Harahap, seorang tamatan Seminari Depok dan Ds.L.Tiemersma(dari gereja Gereformeede)memulai pelayanan bagi pemuda batak sejak pertengahan 1917. Atas jasa-jasabaik Ds.Tiemersma, Gereja Kwitang menyewa 3 rumah yang terletak di perbatasan Sawah besar dengan Kebun Jeruk No.18. Satu dari rumah itu ditempati oleh keluarga Gr.Harahap dan dua lagi untuk pemuda-pemuda tersebut. Hal ini jelas lebih memudahkan tugas Ds.Tiemersma karena dia dapat melayani mereka dalam satu tempat. Upaya yang ditempuh Ds.Tiemersma adalah menyatukan mereka dalam satu kumpulan Kristen Protestan, sebagaimana yang diinginkan dari Tapanuli(Hasibuan,1922).<br />
<br />
Bersamaan dengan itu tugas Ny.Harahap pun menjadi ganda, sebagai Ibu Rumahtangga sekaligus juga Ibu Asrama. Dampak positif lainnya bagi pendatang baru atau yang ingin datang ke Batavia adalah kesedian Gr.Harahap menerima mereka dirumahnya, sebagaimana diberitahukan dalam ‘Surat Keliling Imanuel’, yaitu majalah mingguan Huria Kristen batak yang di cetak di Laguboti. Dalam Pemberitahuan itu Harahap menuliskan:<br />
<br />
“Siapa saja dari antara bapak dan ibu yang akan memberangkatkan anaknya ke Batavia, untuk melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan, agar lebih jelas datanglah ke alamat saya. Alamatku: F.Harahap, tinggal di perbatasan Sawah besar dan Kebun jeruk, no.18, Batavia”(Simatupang dan Pardede,1986).<br />
<br />
Pengumuman itu dapat mendorong seseorang, terutama yang tidak mempunyai keluarga di Batavia untuk datang mengadu nasib ke Batavia. Dapat dibayangkan bahwa ada yang langsung menuju alamat di atas dan bergabung dengan kawan-kawan satu kampung, marga, suku. Kerinduan mereka terhadap kebaktian yang berbahasa batak pun semakin muncul ke permukaan seiring dengan jumlah mereka yang terus bertambah. Pada 20 September 1919, mereka memindahkan kebaktiannya dari Gang Chasse(jalan Kemakmuran sekarang) ke tempat Bybel School di Pasar baru.<br />
<br />
Sejak saat itu dimulailah kebaktian berbahasa daerah yang dipimpin oleh Gr.Simon Hasibuan, Gr.Frederik Harahap dan Sutan Harahap. Pada waktu itu jumlah anggota jemaat sebanyak 50 orang, diantaranya Merari Siregar, seorang tokoh angkatan Balai Pustaka, penulis Azab dan Sengsara. Situasi kehidupan yang lebih baik mendorong sebagian besar dari mereka pindah ke daerah yang lebih baik, yaitu daerah Kwitang dan meninggalkan daerah Sawah Besar, daerah yang berawa itu. Sejalan dengan itu, pada November 1919 kebaktian pun diadakan di gedung HIS Kwitang (Simatupang & Pardede,1986).<br />
<br />
Dalam beberapa tahun, warga Kristen Batak yang tinggal di Batavia masih terus merindukan agar mereka dilayani oleh pendeta batak atau yang diutus oleh Huria Kristen batak yang berpusat di Tarutung. Upaya ke arah itu sudah dimulai tahun 1919 dengan membentuk Majelis jemaat dan kemudian berlanjut dengan permohonan kepada Ephorus Warneck. Apa yang mereka harapkan belum dapat dipenuhi. Barulah pada Januari 1922, tibalah Pdt.Mulia Nainggolan di Batavia, dialah pendeta Huria Kristen Batak yang pertama di kota itu dan seluruh pulau Jawa.<br />
<br />
Kehadiran Pdt.Nainggolan merupakan realisasi permohonan majelis jemaat Batavia dan sekaligus tindak lanjut penggembalaan Huria Kristen Batak terhadap anggota jemaatnya yang tinggal di Pulau Jawa. Taklama kemudian keluarlah surat ijin dari Gubernur Jendral Belanda di Batavia pada tanggal 21 Maret 1922, sejak itu Pdt.Nainggolan semakin berketetapan hati untuk melayani orang-orang Kristen Batak yang ada di Batavia.<br />
<br />
Dalam Tahun pertama bertugas di kota itu, Pdt.Nainggolan menghadapi kesulitan-kesulitan, salah satunya ialah pada masa dukacita. Untuk biaya penguburan misalnya, dibutuhkan sekitar 60-90 Gulden, jumlah yang sangat tidak kecil pada waktu itu. Dana Sebesar itu memang dapat diperoleh dari Asisten Residen di Batavia, tetapi harus melalui beberapa tahapan yang kadang-kadang sulit dilalui(Nainggolan,1922). Kesulitan memperoleh dana sebesar itu biasanya terjadi apabila seseorang yang mendapat kemalangan belum didaftarkan sebagai anggota jemaat Huria Kristen Batak Batavia, sehingga pengumpulan dana dari anggota pun sulit dan prosedur yg harus dilalui untuk mendapatkan bantuan pemerintah pun butuh waktu. Kesulitan inilah yang menjadi latar belakang lahirnya perkumpulan “Haholongan”, yang anggotanya orang Batak yang beragama Kristen dan Islam. Organisasi ini khusus didirikan untuk suatu perkumpulan yang berhubungan dengan kemalangan atau dukacita.<br />
<br />
Kehadiran beberapa Keluarga anggota militer menambah jumlah orang Batak di Batavia. Pada Oktober 1923 beberapa keluarga Kristen Batak yang bertugas di bagian Kemiliteran pindah ke Batavia. Terdapat 77 orang termasuk istri dan anak-anak yang pindah dari Yogyakarta dan ditempatkan di Batalyon 11.11.16 Meester Cornelis atau Jatinegara sekarang(Nainggolan,1923). Beberapa bulan sebelumnya sebanyak 45 orang pemuda yang belum bekerja dikirim dari Batavia ke Bandung untuk mengikuti kursus kondektur dan sebagian besar dinyatakan lulus dan ditempatkan di Bandung, Bogor, Surabaya, Batavia dan lain-lain. Pada Tahun itu diperkirakan jumlah orang Batak yang tinggal di Batavia lebih dari 300 orang dengan pekerjaan sebagai pegawai dan militer serta sebagian yang melanjutkan pendidikannya.<br />
<br />
Selain organisasi ‘Haholongan’ didirikan lagi organisasi seperti ‘Bataks Voetbal Vereniging’(BVV), yaitu organisasi di bidang olahraga yang dipimpin oleh J.K Panggabean, yang juga termasuk ‘orang lama’ di Batavia. Kemudian berdiri lagi ‘Bataksbond’, yaitu perkumpulan kebangsaan/kesukuan yang bergerak di bidang politik. Para pemuda pelajar membentuk ‘Jong Batak’. Dalam organisasi itu terdapat nama-nama seperti Amir Syarifuddin Harahap(kemudian pernah menjadi Perdana Mentri), Ferdinand Lumbantobing(pernah menjadi Menteri Penerangan R.I) dan nama lainnya.<br />
<br />
Selain merupakan alat pengikat, organisasi tersebut berperan sebagai pengikat gengsi sekaligus menaikkan derajat mereka di kalangan suku-suku bangsa lain. Semua anggota perkumpulan merasa bersaudara walaupun berlainan agama dan berasal dari daerah yang berbeda di Tapanuli. Mereka mencapai kemajuan dalam berbagai hal, kebanyakan disebabkan karena perasaan kedaerahan, ‘tidak mau kalah’ dalam arti yg positif.<br />
<br />
Akhir tahun 1920-an semakin banyak pemuda tamatan HIS dari Tapanuli melanjutkan pendidikannya atau mencari pekerjaan ke Batavia. Mereka tinggal di rumah teman atau famili yang telah lebih dulu datang. Pemuda-pemuda yang datang lebih dulu dan sudah bekerja, kedudukannya sudah semakin meningkat dan sebagian dari mereka telah membentuk rumah tangga. Pada umumnya mereka masih tergolong pada pegawai rendah, rata-rata berpangkat ‘Klerk’ kebawah dan sebagian kecil diatasnya. Disamping itu beberapa orang telah bekerja sebagai Guru, seperti di HIS Kwitang, Noormaalschool di Jatinegara dan tempat lain. Pada sensus 1930, jumlah orang batak yang tinggal di Batavia sebanyak 1.253 jiwa dan sebagian besar terdiri dari Batak Toba dan selebihnya Batak Angkola, Mandailing dan lain-lain.(Castles,1967).<br />
<br />
Sama halnya dengan didaerah lain, orang batak Toba di Batavia pun ingin mempunyai gereja sendiri karena dengan demikian mereka dapat mengikuti ibadah dengan bahasa daerah. Pdt.Peter Tambunan yang menggantikan Pdt.M.Nainggolan memprakarsai pembangunan gereja HKBP. Setelah mendapat ijin dan tempat dari Walikota(Burgermeester) yaitu di Gang Kernolong no.37, maka dimulailah pembangunan gereja tahun 1931. Peletakan batu pertama dilangsungkan pada 21 November 1931 oleh walikota Batavia. Pemborong bangunan ialah J.M Sitinjak dari jalan Muria, Menteng, yaitu salah seorang tokoh batak yg lama tinggal di Batavia. Dalam kurun waktu 6 bulan, Gereja itu telah selesai dibangun dan peresmiannya diadakan pada hari Minggu, 8 Mei 1932(Pakpahan,1986).<br />
<br />
Tahun-tahun berikutnya semakin banyak pemuda yang melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Di sekolah Teologia terdapat nama seperti K.Ritonga, G.Siahaan(kelak menjadi Ephorus HKBP, periode 1974-87), dan A.Sitorus. Di sekolah Hakim Tinggi ada A.M Tambunan(kelak menjadi Menteri Sosial R.I) dan di Hoogere Theologische School ada T.S Sihombing(kelak menjadi Ephorus HKBP,periode 1961-74), K.M Sitompul. Pada waktu itu sudah dibentuk perkumpulan pemuda Kristen Batak yaitu ‘Sauduran’ untuk warga Huria Kristen Batak(HKBP) dan ‘Boni Na Uli’ untuk warga Punguan Kristen Batak(PKB). (sumber: Migran Batak Toba, O.H.S Purba)<br />
<br />
<br />
<strong><br /></strong>
<strong></strong>Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-44570490919089828492013-07-23T12:38:00.001+07:002013-07-23T12:38:19.506+07:00Penulisan Sejarah Batak Penulisan Sejarah Batak <br />
<br />
<br />
Budaya Batak - Sejarah Batak <br />
<br />
<br />
<br />
Banyak orang menyangka bahwa penulisan sejarah Batak baru dimulai pada abad ke-20. Hal ini dapat dimaklumi karena buku-buku yang beredar di tengah-tengah masyarakat ditulis oleh pakar-pakar sejarah yang terperangkap dalam misi dan pemahaman sekitar zaman Belanda dan peran-perannya dalam masyarakat Batak.<br />
<br />
Namun, bila kita cermati dengan sungguh-sungguh, penulisan sejarah Batak sebenarnya telah lama dilakukan setidaknya sejak berabad-abad yang lalu oleh para sultan dan cendikiawannya, jauh sebelum buku-buku versi Belanda mendominasi perpustakaan-perpustakaan nasional.<br />
<br />
Naskah-naskah sejarah Batak tersebut merupakan kunci utama dalam mengungkap apa yang disebut dengan misteri dan legenda-legenda dalam buku modern sekarang ini. ‘Misteri dan legenda’ tersebut muncul akibat dari persepsi sempit yang banyak dianut oleh para pakar modern yang malah dianggap sebagai buku pegangan.<br />
<br />
Gejala yang paling lucu dari penulisan sejarah tersebut adalah dengan mengganggap buku pegangan tersebut sebagai acuan mutlak dan mulai mengembangkannya dengan ‘teori-teori’ yang sepertinya masuk akal dengan berbagai hipotesa dari zaman-zaman yang paling langka. Sepertinya ada kesengajaan untuk melompati dan melangkahi zaman pertengahan, saat zaman sebelumnya langsung dihubungkan dengan zaman sekarang. Yang sudah barang tentu menghasilkan sebuah kesimpulan yang sangat keliru.<br />
<br />
YContoh utama dari pemahaman itu, terdapat dalam pemahaman tokoh Raja Uti, Jonggi Manoar dan lain sebagainya yang malah menimbulkan bias yang sangat jauh, sampai-sampai malah memperkaburkan sejarah tersebut.e!<br />
<br />
Hilangnya peran kosakata Barus dan beberapa negeri lainnya dalam pembahasan sejarah Batak modern ini, telah menciptakan gap-gap dan lobang-lobang yang menganga dalam penulisan sejarah sehingga sejarah Batak menjadi eksis tanpa bentuk.<br />
<br />
Peran kesultanan Barus-baik individu lingkar elit maupun masyarakat cendikiawan di dalamnya- dalam penulisan sejarah yang selama ini diendapkan, sebenarnya sangat signifikan dalam membantu memahami sejarah kuno Batak tanpa hipotesa-hipotesa yang kelihan benar tapi sangat ngawur.<br />
<br />
Beberapa naskah yang berhasil dikumpulkan saat masih berkuasanya kesultanan-kesultanan di Barus adalah:<br />
<br />
Asal Turunan Raja Barus<br />
<br />
Naskah ini sekarang berada di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 162. Dalam katalog van Ronkel naskah ini bernomor Bat. Gen. 162.<br />
<br />
Naskah ini menguraikan keturunan, pemukiman dan hukum-hukum raja-raja Barus. Dengan beberapa kekecualian, kumpulan naskah itu mengenai pemukiman dan sejarah keluarga raja-raja Barus di Hulu.<br />
<br />
Bagian awal menceritakan perkembangan dan mobilitas orang Batak marga Pohan dan Pardosi, daerah-daerah yang mereka buka dan bangun, peperangan dan perebutan wilayah dengan marga lain dan lain sebagainya.<br />
<br />
Semuanya dijilid menjadi satu buku ukuran folio dengan sampul karton. Bagian-bagiannya kebanyakan ditulis dengan tinta, dengan huruf Arab Melayu atau yang sering juga disebut dengan tulisan Jawi.<br />
<br />
Di naskah ini juga didapat sejarah Negeri Rambe, hubungan diplomasi dan perdagangan antara Aceh dan Tanah Batak, antara Kesultanan Barus dan orang-orang Toba, Dairi, Pusuk Buhit, Bakkara, Lintong, Tukka, marga Pasaribu dan Naipospos. Naskah ini sendiri dimulai dengan sebuah pembukaan “Inilah hikayat cerita Barus permulaannya Batak datang dari Toba dari suku Pohan seperti tersebut di bawah ini.”<br />
<br />
Dari penjelasan mengenai Negeri Rambe, didapat sebuah pemahaman mengapa marga Pohan dan Pardosi yang menjadi pembuka dan raja di tempat tersebut, menjadi sangat sedikit jumlahnya.<br />
<br />
Hal yang penting adalah tercatatnya sejarah keluarga raja-raja Hulu di Barus, silsilah dan tarombonya, dan beberapa aturan dan perundang-undangan dalam kesultanan yang sangat berguna dalam kelangsungan eksistensi pemerintahan saat itu.<br />
<br />
Juga terdapat fasal-fasal mengenai adat istiadat dan tatakrama dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam pengangkatan raja dan para pejabat negara seperti penghulu, kebiasaan dalam pemakaman dan lain sebagainya seperti perjanjian-perjanjian kenegaraan dan adat.<br />
<br />
Selain yang bersangkutan dengan raja-raja hulu, naskah ini juga mencatat sejarah dinasti yang memerintah di hilir.<br />
<br />
<br />
<br />
Hikayat Cerita<br />
<br />
Naskah yang berisi sejarah dan perjalanan Raja Hulu dan alasan-alasan utama dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya dalam mengambil keputusan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya yang bersangkutan dengan tata kelola pemerintahan.<br />
<br />
<br />
<br />
Sejarah Tuanku Batu Badan<br />
<br />
Naskah ini dimiliki oleh Zainal Arifin Pasariburaja yang kemudian dibahas oleh Jane Drakard, berisi mengenai segala sesuatu tentang Kesultanan Barus Hilir yang sering juga disebut orang sebagai Negeri Fansur.<br />
<br />
Naskah ini juga menjadi pusat data dan dokumentasi ibukota kesultanan Barus Hilir yang sekarang ini sudah mulai menghilang dari permukaan bumi, baik yang disebabkan oleh alam maupun tangan-tangan manusia. Juga terdapat sejarahawal terbentuknya pemerintahan Raja Berempat atau Raja Na Opat di Negeri Silindung.<br />
<br />
Di dalamnya terdapat banyak sejarah mengenai hubungan pertalian adat dan budaya antara Barus dan Minang dan bahkan beberapa raja-raja hilir memerintah sampai ke negeri Tarusan di Tanah Minang seperti Sultan Main Alam Pasaribu mengikuti jejak leluhurnya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.<br />
<br />
<br />
<br />
Hikayat Keturunan Raja di Kuria Ilir<br />
<br />
Ditulis di Barus pada tanggal 26 Februari 1896 oleh Sultan Alam Syah untuk kepentingan Belanda. Naskah ini pernah dikutip oleh K.A. James dalam sebuah bukunya di tahun 1902.<br />
<br />
<br />
<br />
Hikayat Raja Tuktung<br />
<br />
Naskah ini disimpan dalam koleksi di Perpustakaan Universitas Leiden dengan nomor Co. Or 3205 pt. B. Naskah ini merupakan kunci penting dalam penelusuran beberapa sejarah Batak Toba, khususnya Negeri Rambe. Kemasyhuran Raja Tuktung dari Tukka tidak saja di seantero Kesultanan Barus tapi juga di hampir seluruh tanah Batak. Nama Raja Tuktung banyak dikutip di beberapa naskah maupun pustaha-pustaha kuno Batak namun secara tidak lengkap.<br />
<br />
Panjangnya 42 halaman berisi syair-syair indah menggunakan Arab Melayu alias Jawi. Naskah ini sangat jelas dalam menjelaskan kronologi sejarah permulaan Barus dan hubunganya dengan Tanah Batak pada umumnya serta hubungan erat keduanya dengan Aceh. Juga terdapat dokumentasi insiden peperangan antara Aceh dan Barus yang berakibat kepada kematian Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.<br />
<br />
<br />
<br />
Sumber: http://pakkat.wordpress.com/2007/04/29/penulisan-sejarah-batak/<br />
<br />
Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-25301262919316363582013-07-23T12:31:00.002+07:002013-07-23T12:31:46.452+07:00Sejarah Kiprah Batak Sejarah Kiprah Batak <br />
<br />
<br />
Batak Nusantara merupakan sejarah kilas balik orang-orang Batak di Nusantara. Dimulai dari Aceh sampai ke pulau Jawa. Ada banyak versi mengenai sejarah Aceh sebelum abad-abad masehi. Salah satunya adalah mengenai keberadaan komunitas Batak di Aceh pada awal-awal tarikh masehi. Lihat buku "Java", II oleh Veth, hal. 16.<br />
<br />
1000 SM-600 M<br />
<br />
<br />
<br />
Sebelumnya untuk diketahui pada zaman ini, telah berkembang kerajaan Hatorusan (Disebut juga kerajaan Nai Marata didirikan oleh Raja Uti putera Tatea Bulan di Sianjur Mula-mula lalu pindah ke Barus/Singkil) di pesisir tanah Batak yang wilayahnya mencakup sebagian daerah Aceh sekarang ini. Sementara itu kerajaan Batak lainnya dipimpin oleh Dinasti Sorimangaraja dari marga Sagala tetap eksis di Sianjur Mula-mula sebelum dikudeta oleh marga Simanullang di abad pertengahan.<br />
<br />
<br />
<br />
By. Julkifli Marbun<br />
<br />
<br />
<br />
Beberapa abad kemudian, di pesisir juga eksis kerajaan Batak lainnya yang didirikan oleh Alang Pardosi dari marga Pohan keturunan Sumba. Berikut Dinasti-dinastinya:<br />
<br />
<br />
<br />
Dinasti Sagala<br />
<br />
<br />
<br />
1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)<br />
<br />
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang<br />
<br />
3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI, pindah ke Sipirok<br />
<br />
4. Sorimangaraja XCII-C di Sipirok<br />
<br />
5. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Syarif Sagala atas ajakan Raja Gadumbang.<br />
<br />
<br />
<br />
Dua orang saudara Syarif Sagala yakni; Jamaluddin Sagala dan Bakhtiar Sagala kembali menganut agama tradisional Batak. Orang-orang marga Sagala yang kembali menganut agama tradisional Batak tersebut akhirnya dikristenkan oleh Pendeta Gerrit van Asselt menjadi penganut protestan kalvinist.<br />
<br />
<br />
<br />
Dinasti Hatorusan (Kerajaan Nai Marata)<br />
<br />
<br />
<br />
1. Raja Uti Putera Tatea Bulan alia Raja Biak-biak alias Raja Miok-miok alias Raja Gumellnggelleng<br />
<br />
2. Datu Pejel gelar Raja Uti II<br />
<br />
3. Ratu Pejel III<br />
<br />
4. Borsak Maruhum.<br />
<br />
5. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji<br />
<br />
6. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.<br />
<br />
7. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.<br />
<br />
<br />
<br />
*Ada gap yang panjang<br />
<br />
<br />
<br />
8. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.<br />
<br />
9. Sultan Yusuf Pasaribu<br />
<br />
10. Sultan Adil Pasaribu<br />
<br />
11. Tuanku Sultan Pasaribu<br />
<br />
12. Sultan Raja Kecil Pasaribu<br />
<br />
13. Sultan Emas Pasaribu<br />
<br />
14. Sultan Kesyari Pasaribu<br />
<br />
15. Sultan Main Alam Pasaribu<br />
<br />
16. Sultan Perhimpunan Pasaribu<br />
<br />
17. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk.<br />
<br />
<br />
<br />
Dinasti Pardosi (Pohan)<br />
<br />
<br />
<br />
1. Raja Kesaktian Pohan (di Toba, Balige)<br />
<br />
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka<br />
<br />
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka<br />
<br />
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua<br />
<br />
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.<br />
<br />
6. Tuan Namora Raja Pardosi<br />
<br />
Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi<br />
<br />
7. Raja Tua Pardosi<br />
<br />
8. Raja Kadir Pardosi, pertama masuk Islam.<br />
<br />
9. Raja Mualif Pardosi<br />
<br />
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)<br />
<br />
11. Sultan Marah Sifat Pardosi<br />
<br />
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)<br />
<br />
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi<br />
<br />
14. Sultan Daeng Pardosi<br />
<br />
15. Sultan Marah Tulang Pardosi<br />
<br />
16. Sultan Munawar Syah Pardosi<br />
<br />
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)<br />
<br />
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)<br />
<br />
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )<br />
<br />
20. Sultan Limba Tua Pardosi<br />
<br />
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi<br />
<br />
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi<br />
<br />
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)<br />
<br />
<br />
<br />
Kembali ke Aceh, nama Aceh sendiri adalah sebuah nama yang dibentuk dari gabungan beberapa kerajaan di provinsi Aceh yang sekarang.<br />
<br />
<br />
<br />
Menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut "ureueng Mante". Sejauh mana kebenaran riwayat ini masih dapat diperdebatkan. Suku Mante merupakan bagian dari bangsa Mantra yang mendiami daerah antara Selangor dan gunung Ophir di semenanjung tanah Melayu. Logan menyebut dalam "The Indian Archipelago", jilik I, nama Mantira.<br />
<br />
<br />
<br />
Invasi pertama yang dialami para Mante dilakukan oleh orang-orang Batak yang mendesak mereka dari daerah-daerah pantai Aceh ini ke pedalaman XII mukim dan dari pantai barat Aceh ke pedalaman daerah tersebut. Besar kemungkinan orang-orang Mante selama beberapa tahun telah didominasi oleh orang-orang Batak. Akulturasi kedua suku ini membentuk Aceh.<br />
<br />
<br />
<br />
Untuk menguatkan anggapan ini baik dijelaskan, bahwa di dalam adat-adat Batak masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata Batak yang dijumpai kembali dalam bahasa Aceh walaupun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatif bahasa Batak, kecuali jika orang-orang Mante mau dianggap ada hubungannya dengan orang-orang Batak.<br />
<br />
<br />
<br />
Abad ke1-3 M<br />
<br />
<br />
<br />
Terdapat dua pendapat mengenai kedatangan unsur Hindu ini. Pertama dibawa langsung oleh orang India melalui Barus dan pelabuhan-pelabuhan lain Aceh sejak abad ke 1-3 M dan yang kedua adalah melalui ekspansi Sriwijaya. Diketahui ekspansi Sriwijaya terjadi di abad ke-10.<br />
<br />
<br />
<br />
600 M<br />
<br />
<br />
<br />
Kerajaan Batak yang baru, Kerajaan Nagur yang memisahkan diri dari Dinasti Sorimangaraja, berpusat di Simalungun melakukan ekspansi sampai ke pegunungan "barisan" Aceh yang membentuk komunitas Gayo dan Alas.<br />
<br />
<br />
<br />
Dikatakan juga bahwa kerajaan "Mante-Batak" itu pada gilirannya ditaklukkan pula oleh orang-orang Hindu. Diperkirakan di masa inilah nilai-nilai Hindu diserap oleh kerajaan ini.<br />
<br />
<br />
<br />
Besar kemungkinan juga bahwa imigrasi Hindu dimulai dari pantai utara dan timur Aceh, terus ke pedalaman. Dari Gigieng dan Pidie bahkan mungkin juga dari Pasai. Buktinya ialah inskripsi-inskripsi tua yang dijumpai di Kuta Batee, enam jam perjalanan dari Blang Me di pantai timur laut Aceh. Disebut juga Kuta Karang, kini Kec. Samudra, Geudaong-Aceh Utara. Peninggalan purbakala ini dari abad ke-12 M.<br />
<br />
<br />
<br />
Dikatakan juga bahwa penduduk pribumi Aceh (Mante-Batak) berhasil menaklukkan orang-orang Hindu dan menyuruh mereka membayar upeti di Kerajaan Hindu Aceh.<br />
<br />
<br />
<br />
Selain batu-batu nisan dan makam-makan bertulisan yang dijumpai di Tanoh Abee dan Reueng-reueng di pedalamn XII mukim, dalam cerita-cerita Aceh disebut-sebut juga mengenai seorang raja Hindu di Indrapuri bernama Rawana yang kerajaannya meluas sampai ke laut seperti terbukti dari nama-nama Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu dan Indrapatra kira-kira di Lam Nga dekat dengan Kuala Gigieng.<br />
<br />
<br />
<br />
Kerajaan Hindu Aceh tersebut tidak terbatas sampai daerah Aceh Besar saja, tetapi meluas sampai pantai timur laut Aceh, termasuk daerah Pasai, Seumatang Dora dekat Kuala Batee Keureunda di Pidie. Pada masa itu kerajaan tersebut telah dikenal dengan nama Pulau Seroja, yaitu pulai teratai, sementara Krueng Aceh dinamakan Krueng Ceudaih, sungai indah. Barulah pada masa-masa terakhir singai itu dinamakan Kueng Aceh; sebabnya adalah sebagai berikut:<br />
<br />
<br />
<br />
"Sebuah kapal Gujarat dari Hindia Muka datang ke Krueng Ceudaih untuk berniaga. Anak-anak buah kapal itu berada di darat dalam perjalanan ke Gampong Pande. Di tengah perjalanan mereka ditimpa hujan lebat lalu berteduh di bawah sebatang kayu. Melihat daunnya yang rindang, semua mereka dengan sukacita berseru: Aca! Aca! Aca! Artinya indah, indah, indah yang kemudian berubah menjadi Aceh". Menurut Dr Hoesein Djajadiningrat pohon itu bernama 'bak si aceh-aceh'. Lihat Atjehch Woordenboek, I. 1934, hal. 92.<br />
<br />
<br />
<br />
Abad 8-9<br />
<br />
<br />
<br />
Kesultanan Perlak berdiri.<br />
<br />
<br />
<br />
1100-1250<br />
<br />
<br />
<br />
Berdirinya Kerajaan Aru Sipamutung. Kerajaan Hindu Rajendrasola di Tanah Batak. Peninggalannnya adalah Biara Sipamutung.<br />
<br />
<br />
<br />
Abad ke 10-14 M<br />
<br />
<br />
<br />
Kesultanan Daya, antara tahun 1128-1131 M, dibentuk oleh Laksamana Abdul Kamil dengan dukungan dinasti Fatimiyah dari Mesir yang pemerintahannya sampai ke kesultanan Bandar Kalipah.<br />
<br />
<br />
<br />
Kerajaan Nagur di tanah Batak Simalungun dihancurkan oleh orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu yang berdiri pada tahun 1200-1508 M. Di Bekas kerajan tersebut di tanah Gayo berdiri kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Lingga, Lamuri dan Pasai (1200-1285).<br />
<br />
<br />
<br />
Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11, Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.<br />
<br />
<br />
<br />
Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.<br />
<br />
<br />
<br />
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.<br />
<br />
<br />
<br />
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.<br />
<br />
<br />
<br />
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.<br />
<br />
<br />
<br />
Dinasti Batak (Lingga)<br />
<br />
<br />
<br />
1. Raja Lingga I di Gayo punya anak-anak sebagai berikut:<br />
<br />
a. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo<br />
<br />
b. Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)<br />
<br />
c. Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan<br />
<br />
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo<br />
<br />
3. Raja Lingga III-XII di Gayo<br />
<br />
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.<br />
<br />
<br />
<br />
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era<br />
<br />
1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)<br />
<br />
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga<br />
<br />
<br />
<br />
Meurah Silu, yang menjadi prajurit kesultanan Daya, saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar Malik dengan gelar Sultan Malik al-Shaleh sebagai sultan pertama pribumi dan pendiri Samudera Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas Kesultanan Daya yang dihancurkan oleh Laksamana Ismail al-Siddiq, panglima Dinasti Mamluk, Mesir, yang menggantikan Dinasti Fatimiyah pendukung Kesultanan Daya.<br />
<br />
<br />
<br />
Dikatakan bahwa Kesultanan Pasai di tangan orang Batak Gayo yang kemudian menghancurkan Kerajaan Hindu Aceh, yang terdiri dari Batak-Mante dan imigran Hindu India, yang sudah melemah dengan tumbuhnya komunitas-komunitas muslim dengan kedaulatan sendiri-sendiri.<br />
<br />
<br />
<br />
Sepeninggalan Malik al-Saleh (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di Barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299 dengan corak mazhab syiah.<br />
<br />
<br />
<br />
Dinasti Marah Silu (Batak Gayo) di Samudera Pasai sebagai berikut:<br />
<br />
<br />
<br />
1. Sultan Malik al-Saleh (1285-1296) ada yang bilang (1263-1297)<br />
<br />
2. Sultan al-Abidin (1297-1320)<br />
<br />
3. Sultan Malik al-Tahir (al-Zahir) (1296-1327) (1320-1383)<br />
<br />
4. Sultan Zain al-Abidin (1383-1405), pernah diculik dan selama tiga tahun ditawan di Thailand (Siam)<br />
<br />
5. Sultan Shaleh al-Din (1405-1412)<br />
<br />
6. Ratu Nur Ilahi (1424-1461)<br />
<br />
7. Sultan Muzafar Syah (1461-1497)<br />
<br />
8. Sultan Ma'ruf Syah (1497-1511)<br />
<br />
9. Sultan Abdullah (1511-1524). Lihat: J.I. Moens, "Rijken der Parfum en specerijen", BKI, 1955<br />
<br />
<br />
<br />
Setelah tahun ini, Samudera Pasai mengalami kemunduran. Salah satu keturunan Marah Silu, Syarif Hidayat Fatahillah merantau ke Jawa, menjadi penyebar agama Islam mazhab syafii. Dia merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis. Kesultanan Samudera Pasai merupakan kesultanan Islam yang pertama tumbuh dalam skala nasional dan sekaligus pelopor mazhab syafii di Nusantara.<br />
<br />
<br />
<br />
Sementara itu, putra Marah Silu yang lain mendirikan Kesultanan Aru Barumun yang berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping. Sungai Tamiang merupakan tapal batas perbatasan antara Kesultanan Samudera Pssai dengan Kesultanan Aru Barumun.<br />
<br />
<br />
<br />
Dinasti Batak Gayo di Kesultanan Aru Barumun adalah sebagai berikut:<br />
<br />
<br />
<br />
1. Sultan Malik Al Mansyur (1299-1322)<br />
<br />
2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)<br />
<br />
3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.<br />
<br />
4. Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.<br />
<br />
5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)<br />
<br />
6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina<br />
<br />
7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa†(A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.<br />
<br />
8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.<br />
<br />
9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.<br />
<br />
10. Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun 1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.<br />
<br />
11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)<br />
<br />
12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.<br />
<br />
13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.<br />
<br />
<br />
<br />
Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Banten (Sumber: Ismail Muhammad 1978). Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" di Buntet, Cirebon.<br />
<br />
<br />
<br />
1. Syarif Hidayat Fatahillah gelar Susuhunan Gunung Jati (1512)<br />
<br />
2. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan(1552)<br />
<br />
3. Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan (1570)<br />
<br />
4. Sultan Maulanan Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten (1580)<br />
<br />
5. Sultan Abdulmafachir Mahmud Abdul Kadir Kanari (1596)<br />
<br />
6. Sultan Abdul Ma'ali Ahmad Kenari (1640)<br />
<br />
7. Sultan Agung Tirtayasa Abdul Fathi Abdul Fatah (1651)<br />
<br />
8. Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar (1672)<br />
<br />
9. Sultan Abdul Fadhal (1687)<br />
<br />
10. Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin (1690)<br />
<br />
11. Sultan Muh. Syifa Zainul Arifin (1733)<br />
<br />
12. Sultan Syarifuddin Ratu Wakil (1750)<br />
<br />
13. Sultan Muh. Wasi' Zainul Alimin (1752)<br />
<br />
14. Sultan Muh. Arif Zainul Asyikin (1753)<br />
<br />
15. Sultan Abdul Mafakih Muh Aliyuddin (1773)<br />
<br />
16. Sultan Muhyiddin Zainussolihin (1799)<br />
<br />
17. Sultan Muh. Ishak Zainul Muttaqin (1801)<br />
<br />
18. Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1803)<br />
<br />
19. Sultan Agiluddin Aliyuddin (1803)<br />
<br />
20. Sultan Wakil Pangeran Sura Manggala (1808)<br />
<br />
21. Sultan Muhammad Shafiyuddin (1809)<br />
<br />
22. Sultan Muhammad Rafiuddin (1813)<br />
<br />
<br />
<br />
Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Cirebon sebagai berikut: Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" (Kebumen?) di Cirebon. Garis turunannya juga mendirikan Kesultanan Kanoman, Keluarga Kecirebonan dan Keluarga Keprabonan, selain Kesultanan Kesepuhan di bawah ini:<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
1. Sultan Hidayat Fatahillah gelar Sunan Gunung Jati (1479-1568)<br />
<br />
2. Pangeran Pasarean/P. Muh. Arifin (1528-1552)<br />
<br />
3. Pengeran Arya Kemuning Adipati Carbon I (1552-1565)<br />
<br />
4. Panembahan Pakungwati I/P Emas Zainul Arifin (1568-1578)<br />
<br />
5. Pangeran Dipati Sedanggayam Carbon II )1578-1649)<br />
<br />
6. Panembahan Pakungwati (1649-1662)<br />
<br />
7. Sultan Sepuh I Syamsuddin (1678-1697)<br />
<br />
8. Sultan Sepuh II Jamaluddin (1697-1720)<br />
<br />
9. Sultan Sepuh III Jaenuddin (1720-1750)<br />
<br />
10. Sultan Sepuh IV Jainuddin Amir Sena (1750-1778)<br />
<br />
11. Sultan Sepuh V Sultan Matangaji/P. Syarifuddin (1778-1784)<br />
<br />
12. Sultan Sepuh VI P. Hasanuddin (1784-1790)<br />
<br />
13. Sultan Sepuh VIIP. Joharuddin (1790-1816)<br />
<br />
14. Sultan Sepuh VIIIP. Raja Udaka (1816-1845)<br />
<br />
15. Sultan Sepuh IXP. Raja Sulaeman (1845-1880)<br />
<br />
16. Sultan Sepuh XP. Raja Atmaja (1880-1899)<br />
<br />
17. Sultan Sepuh XI P. Raja Aluda Tjul arifin Moh. Syamsuddin Nataningrat (1899-1942)<br />
<br />
18. Sultan Sepuh XII P. Raja Ningrat (1942-1969)<br />
<br />
19. Sultan Sepuh XIII P. Raja Adipati Maulana Pakuningrat SH (1969) (Sumber: Unit Pengelola Keraton Kasepuhan Cirebon)<br />
<br />
<br />
<br />
Dikisahkan juga bahwa Kesultanan Lamuri yang didirikan oleh Meurah Johan diserang Majapahit tahun 1365.<br />
<br />
<br />
<br />
Abad 15-16<br />
<br />
<br />
<br />
Abad 15, Munawwar Syah, Sultan yang sedang berkuasa di Lamuri, memindahkan ibukota kerajaannya ke Mahkota Alam dengan alasan persaingan politik dengan Pidie. Kehadiran Lamuri di Mahkota Alam menjadikan 'balance of power' di daerah tersebut menjadi tidak seimbang dengan kerajaan Aceh lainnya yakni Dar al-Kamal yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai.<br />
<br />
<br />
<br />
Lamuri dan Dar al-Kamal menjadi dua kerajaan yang saling bersaing. Hal ini menyebabkan Munawwar Shah untuk berpikir melakukan maneuver politik dengan menawarkan perkawinan politik antara anaknya dengan puteri Sultan Inayah Shah.<br />
<br />
<br />
<br />
Ketika Inayah Shah menerima rencanan tersebut, rombongan Munawwar Shah diam-diam membawa senjata dan menyerang Dar al-Kamal. Munawwar Shah berhasil dan kedua kerajaan ini disatukan kembali menjadi Kesultanan Aceh Dar al-Salam dengan pimpinan Sultan Shams Shah anak dari Munawwar Shah.<br />
<br />
<br />
<br />
Kesultanan ini juga meluas dengan ekspansi ke Kesultanan Samudera Pasai yang telah melemah dihantam Majapahit dan sampai ke daerah Bengkulu melewati Minangkabau.<br />
<br />
<br />
<br />
Walaupun begitu, ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya yang berperan penting dalam pembentukan kesultanan Aceh adalah kesultanan Pidie. Pada waktu itu wilayah kesultanan ini meliputi Aceh Besar. Sultan Ali Mughayat Syah merupakan sultan yang pertama masuk Islam (1507-1522). Dia digantikan oleh puteranya Sultan Salahuddin (1522-1530) yang membina kekuatan Aceh dalam arti yang sesungguhnya. Lihat. Veth, Atchin en Zijne betrekkingen tot Nederland, 1873 hal. 28.<br />
<br />
<br />
<br />
1511 M<br />
<br />
<br />
<br />
Pada tahun 1511, keturunan Raja Lingga di Gayo, Raja Lingga XIII, diangkat menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Kesultanan Aceh atau Amirul Harb, saat mengakuisisi Kesultanan Pasai dan Kesultanan Aru yang sudah dijajah Portugis.<br />
<br />
<br />
<br />
Dalam tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Raja Lingga XIII diamanatkan untuk membangun benteng pertahanan, dengan membangun sebuah pulau di selat Malaka, dari amukan Portugis. Pulau tersebut dikenal dengan pulau Lingga.<br />
<br />
<br />
<br />
Keturunan Lingga, kemudian mendirikan kesultanan Lingga di Gayo, Karo dan daerah Riau dan Kepulauannya.<br />
<br />
<br />
<br />
Satu lagi legende dalam budaya Batak Gayo adalah mengenai Sosok Raja Bukit. Dalam berbagai versi sejarah, keberadaan Raja Bukit ini sangat masyhur namun penuh dengan misteri. Raja Bukit dikisahkan adalah orang yang dapat menaklukkan Gajah Putih. Gajah Putih sendiri dalam budaya Batak Toba merupakan hewan suci dari Raja Uti, Kerajaan Batak Pesisir Katorusan.<br />
<br />
<br />
<br />
Keberadaan Raja Bukit pernah didokumentasikan oleh penulis Barat saat keberadaanya yang mendominasi peta perpolitikan di Kesultanan Barus, Kesultanan Batak di pesisir barat Sumatera Utara.<br />
<br />
<br />
<br />
Dikatakan bahwa ada dua pemimpin yang berasal dari luar Kesultanan Barus yang ikut ambil bagian dalam pertikaian politik di Barus, khususnya dalam melawan monopoli ekonomi VOC, Inggris dan Eropa lainnya. Mereka adalah Raja Simorang dari Tapanuli dan Raja Bukit. Lihat Reber, "Private Trade of The British in West Sumatera 1735-1770" (Ph.D Dissertation, University of Hull, 1977), Appendix XII p. 300-302.<br />
<br />
<br />
<br />
Dalam kisah-kisah Batak diketahui bahwa Raja Bukit ini merupakan tokoh Batak yang sangat berpengaruh pada eranya yang banyak berkecimpung dalam pembangunan masyarakat Batak secara sosial, adat dan ekonomi mulai dari Aceh, Pesisir, Asahan dan lain sebagainya.<br />
<br />
<br />
<br />
Namun, keterangan mengenai siapa sebenarnya Raja Bukit tersebut adalah simpang siur. Orang Gayo percaya bahwa Raja Bukit sebenarnya bernama Saidah dalam versi JCJ Kempess, Sengeda dalam versi Muda Kala dan Junus Djamil.<br />
<br />
<br />
<br />
Kempess mengatakan bahwa Raja Bukit merupakan orang yang datang dari luar Gayo, tepatnya bagian selatan. Ada yang mengatakan dari Tiku, Minang. Alkisah ada tiga orang datang dari daerah tersebut. Seorang di antara mereka bertuah dan diangkat menjadi Raja Lumut. Seorang lagi pindah ke Samarkilang dan ternyata dibunuh oleh Raja di Lingga. Setelah terbongkar pembunuhan tersebut. Sultan Aceh yang saat itu induk kerajaan mini ini, memecat Raja tersebut dan mengangkat seorang yang datang tersebut menjadi Raja Bukit pertama dan seorang lagi menjadi Raja Petiamang. Nama dari Raja Bukit tersebut adalah Saidah.<br />
<br />
<br />
<br />
Kisah lain adalah Sengeda yang masih berasal dari keluarga Lingga. Dan Banyak kisah lain mengenai seluk-beluk Raja Bukit tersebut. Dalam sejarah Batak, khusunya Sisingamangaraja dinyatakan bahwa Raja Bukit yang mashur dalam hubungan diplomasi, ekonomi dan hubungan internasional dalam menggalang dukungan melawan penjajah Eropa adalah Sisingamangaraja VIII alias Ompu Sotaronggal yang dikenal dengan sebutannya Raja Bukit yang hidupnya diperkirakan pada tahun 1700-an.<br />
<br />
<br />
<br />
Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara sendiri didirikan oleh Mahkuta alias Manghuntal dari marga Sinambela, setelah mendapat transfer kedaulatan dari Dinasi Uti (Hatorusan)<br />
<br />
<br />
<br />
1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550<br />
<br />
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595<br />
<br />
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627<br />
<br />
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667<br />
<br />
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730<br />
<br />
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751<br />
<br />
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771<br />
<br />
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788<br />
<br />
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819<br />
<br />
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841<br />
<br />
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871<br />
<br />
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907<br />
<br />
<br />
<br />
Keturunan Mahkuta alias Manghuntal lainnya melalui anaknya Si Raja Hita di tanah Karo mendirikan kota Medan.<br />
<br />
<br />
<br />
Dinasti Sisingamangaraja I di Medan.<br />
<br />
<br />
<br />
1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:<br />
<br />
2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige, Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus.<br />
<br />
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.<br />
<br />
4. Raja Hafidz Muda<br />
<br />
5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut 'Makam Melintang', anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperlua kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.<br />
<br />
6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.<br />
<br />
7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.<br />
<br />
8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.<br />
<br />
9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun<br />
<br />
10. Datuk Adil<br />
<br />
11. Datuk Gombak<br />
<br />
12. Datuk Hafiz Harberhan<br />
<br />
13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam "Nota Over De Landsgrooten van Deli", juga dalam "Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928"<br />
<br />
<br />
<br />
1508<br />
<br />
<br />
<br />
Kerajaan Haru Wampu yang menghancurkan Kerajaan Nagur dikuasasi oleh Kesultanan Aceh pada pemerintahan Sultan Ali Muhayyat Syah. Pada tahun 1853 daerah, yang penduduknya orang-orang Batak Karo, ini dibentuk menjadi Kesultanan Langkat, Kesultanan bawahan Aceh oleh Sultan Ibrahim Mansyur Syah, sultan yang ke-30 Aceh.<br />
<br />
<br />
<br />
1508<br />
<br />
<br />
<br />
Seorang Karo yang menjadi pasukan Aceh bernama Manang Sukka menjadi Sultan Haru Delitua (Kesultanan Delitua/Deli) dengan gelar Sultan Makmun al-Rasyid. Istrinya adalah Putri Hijau, saudari perempuan dari Sultan Ali Muhayyat Syah.<br />
<br />
<br />
<br />
Secara umum, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur Batak datang ke Aceh melalui dua gelombang. Gelombang pertama adalah era pra-Hindu yakni asimilasi Batak-Mante, unsur inti dari Kesultanan Aceh dan gelombang kedua adalah pra-Islam dan paska Hindu-Buddha yakni melalui kerajaan Nagur di tanah Gayo dan Alas, unsur penting dari Kesultanan Samudera Pasai.<br />
<br />
<br />
<br />
1512-1523<br />
<br />
<br />
<br />
Kesultanan Aru Barumun jatuh ke tangan Kesultanan Aceh. Setelah sebelumnya Kesultanan Samudera Pasai dikuasai oleh Laksamana Tuanku Ibrahim Syah, saudara kandung Sultan Ali Muhayyat Syah, sultan di Kesultanan Aceh Dar al-Salam.<br />
<br />
<br />
<br />
1530-1552<br />
<br />
<br />
<br />
Di Bawah pemerintahan Alauddin al-Kahhar (1530-1552) dilakukan pembagain klasifikasi rakyat menurut suku dan asal usulnya.<br />
<br />
<br />
<br />
Orang-orang Mante-Batak asli merupakan sukee lhee reutoih (suku tiga ratus), orang-orang India kaom imeum peuet (kaum imam empat). Sedang para imigran dinamakan kaum tok batee (kaum yang mencukupi batu). Terakhir sekali dibentuklah kaom ja sandang (kaum penyandang).<br />
<br />
<br />
<br />
Para imigran Hindu, yang memang terdiri dari empat kasta, tadinya tergolong dalam kaum empat yang berdiam di tanah Abee, Lam Leuot, Montasiek dan Lam Nga. Mereka akhirnya menganut agama Islam dengan pemimpin kelompok yang bergelar imeum (imam).<br />
<br />
<br />
<br />
1802-1816<br />
<br />
<br />
<br />
Fakhruddin Harahap merebut bagian hulu Kesultanan Aru Barumun dan memimpin penduduk yang kebanyakan marga Harahap dalam sebuah kerajaan dengan gelar Baginda Soripada. Kerajaan ini tunduk kepada kepemimpinan Kerajaan Pagarruyung.<br />
<br />
<br />
<br />
1805-1819<br />
<br />
<br />
<br />
Sultan Alauddin Johar Syah, sultan yang memimpin di Aceh, mengirim Laksamana Sulaiman Nanggroyi ke Labuhanbilik di Aru Barumun. Angkatan Laut Aceh siaga di sepanjang sungai Barumun beserta pasukar marinir di Kotapinang Lama akibat bangkitnya kekuatan Padri di Minang.<br />
<br />
<br />
<br />
1816-1820<br />
<br />
<br />
<br />
Bagian hulu Kesultanan Aru Barumun dikuasasi oleh Tuanku Tambusai, dengan ibukotanya di Sunggam. Kekuasaan Baginda Soripada dan Pasukan Aceh dihalau. Tuanku Tambusai sendiri adalah marga Harahap.<br />
<br />
<br />
<br />
1819<br />
<br />
<br />
<br />
Fakih Amiruddin (Lontung) memerintah di Tanah Batak selama dua tahun dengan ibukota Siborong-borong.<br />
<br />
<br />
<br />
1867-1884<br />
<br />
<br />
<br />
Pertentangan politik antara Raja-raja Siopat Pusoran di Silindung dengan Sisingamangaraja XII meruncing tajam. Khusunya pertentangan antara Raja Pontas Lumban Tobing dengan Sisingamangaraja XII. Pendeta Nomensen berada di pihak Raja Pontas. Belanda kemudian ikut campur dengan mendukung Nomensen dan Raja Pontas.<br />
<br />
<br />
<br />
Pertentangan antara pihak Siopat Pusoran dengan pihak Sisingamangaraja sudah mengakar dari persaingan monopoli dagang kemenyan. Raja-raja Siopat Pusoran selalu ingin menguasai jalur perdagangan Silindung dari kekuasaan Sisingamangaraja.<br />
<br />
<br />
<br />
Raja-raja Siopat Pusoran juga yang tidak setuju atas pengangkatan Sisingamangaraja XI, pengganti ayahnya yang tewas dalam perang dengan pihak Fakih Amiruddin beserta pasukan Padrinya. Bagi mereka, keturunan Sisingamangaraja (XI-XII) tidak diakui.<br />
<br />
<br />
<br />
1873-1907<br />
<br />
<br />
<br />
Sebuah 'master plan' perang gerilya antara Belanda melawan pasukan gabungan Aceh-Batak, dibuat antara Sisingamangaraja XI dengan Teku Nangta Sati, panglima Aceh digariskan sebagai berikut:<br />
<br />
1. Sultan Ali Muhammad Syah, melakukan perlawanan dari Aceh. Dia kemudian meninggalkan istana di Kutaraja yang terbakar oleh artileri Belanda dan mati syahid dalam gerilyan di hutan Tanung<br />
<br />
2. Teku Lamnga, menantu dari Teku Nangta Sati, menggempur posisi Belanda. Dia kemudian gugur dalam tugas ini.<br />
<br />
3. Teku Umar, menantu dari Teku Nangta Sati, pasukan bertahan dan akhirnya gugur sebagai pahlawan<br />
<br />
4. Sisingamangaraja XII, putera Sisingamangaraja XI yang meninggal karena kolera, bertahan di tanah Batak dan akhirnya gugur juga.<br />
<br />
<br />
<br />
1820-1947<br />
<br />
<br />
<br />
Berdirinya Kerajaan Kotapinang di bagian hilir Kesultanan Aru Barumun yang didirikan oleh Alamsyah Dasopang, salah satu panglima Padri.<br />
<br />
<br />
<br />
Zulkarnaen Aritonang menjadi Yangdipertuan Raja Merbau. Zulkarnaen sendiri merupakan mantan pasukan Padri.<br />
<br />
<br />
<br />
Tuanku Asahan alias Mansur Marpaung menjadi Sultan di Kesultanan Asahan paska dominasi Aceh.<br />
<br />
<br />
<br />
Mengenai nama Mante di silsilah marga Batak terdapat sebuah marga yang komunitasnya sekarang banyak bermukim di beberapa daerah Aceh dan khususnya daerah perbatasan dengan Sumatera Utara. Nama marga itu adalah Munte.<br />
<br />
<br />
<br />
Klan orang Gayo yang dominan adalah Lingga, Munte, Cebero, Tebe (Toba) dan Melala. Sementara Kejurun di Gayo adalah Kejurun Bukit yang dipimpin keturunan Raja Bukit, Kejurun Cik Bebesen yang berisi keturunan kisah Batak 27, Kejurun Lingga yang dipimpin oleh keturunan Raja Lingga dll. <br />
<br />
<br />
<br />
Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-13266064797486025232013-07-23T12:29:00.000+07:002013-07-23T12:29:31.145+07:00Sejarah Politik Batak 1668-1840 Sejarah Politik Batak 1668-1840 <br />
<br />
<br />
Budaya Batak - Sejarah Batak <br />
<br />
<br />
<br />
Penduduk<br />
<br />
Penduduk Batak, khususnya, di Kesultanan Barus terdiri dari berbagai bangsa. Bila diklasifikasi area tanah Batak, maka didapatlah dua bagian yang sangat penting. Bagian pertama adalah Tanah Tertutup dan yang kedua Tanah Terbuka.<br />
<br />
Tanah Tertutup adalah bagian geografi Batak yang didiami oleh bangsa Batak dan begitu terisolirnya sehingga hanya orang-orang Batak saja yang mendiaminya. Tanah Tertutup ini seringkali disebut juga pedalaman Batak atau Pusat Tanah Batak.<br />
<br />
Kehidupan di Tanah Tertutup masih sangat terisolir dan bahkan banyak yang beranggapan bahwa sistem sosial masyarakat Batak di daerah ini masih dalam bentuk "splendid isolation”.<br />
<br />
Persepsi orang Batak saat itu adalah bahwa Tanah Tertutup-yang identik dengan rural land- ini adalah milik nenek moyang dan orang-orang asing sangat dicurigai masuk ke dalamnya. Keuntungan ekonomi dengan kebijakan Tanah Tertutup ini adalah bahwa hanya orang-orang Batak yang dapat menikmati hasil buminya. Orang-orang Batak tanpa persaingan dari bangsa lain, dengan leluasa dapat mengambil kamper, hasil tambang dan hasil hutan dari tanah mereka sendiri. Sehingga beberapa komoditas benar-benar dimonopoli oleh orang Batak.<br />
<br />
Keuntungan politik dari sistem Tanah Tertutp ini adalah sebagai tempat ‘pengasingan’ bagi Raja-raja Batak yang mungkin saja mengalami kegagalan atau sedang dalam upaya untuk kontemplasi atau dapat juga dalam upaya menggalang kekuatan. Bila kita pelajari intrik-intrik politik di Kesultanan Batak, maka didapatlah kesimpulan bahwa beberapa kali raja-raja Batak sering kali harus bersembunyi ke Tanah Tertutup dari ancaman asing dan ada yang bertujuan untk menggalang kekuatan dari komunitas asal mereka dan ada juga yang bertujuan untuk meditasi (kerohanian).<br />
<br />
Tanah Terbuka, yang kehidupannya lebih mirip dengan urban land- ini merupakan wilayah Batak yang dapat diakses oleh orang asing. Biasanya terdapat di pesisir, atau di pedalaman tapi sudah urban dan bersifat kota karena keberadaan onan-onannya yang ramai di pusat-pusat perekonomian seperti Silindung, Pakkat, Balige dan lain sebagainya. Anehnya Bakkara sebagai pusat politik Dinasti Sisingamangaraja dari dulu menganut sistem tanah tertutup yang dilarang didatangi oleh orang asing. Tamu-tamu kerajaan biasanya disambut di Balige atau Dolok Sanggul.<br />
<br />
Sistem budaya di Tanah Terbuka sangat sesuai dengan karakternya saat itu. Di mana orang-orang Batak dengan tujuan ekonomi dan politik biasanya tidak ingin memonopoli segala sesuatu di Tanah Terbuka. Bahkan cenderung orang-orang Batak akan mengajak berbicara pedagang-pedagang asing dengan bahasa Melayu, sebuah bahasa yang menjadi Lingua Franca saat itu.<br />
<br />
Orang-orang Batak, sangat pintar dalam memainkan peran mereka dalam persaingan komunitas di bandar-bandar (pelabuhan-pelabuhan atau terminal-terminal, pasar-pasar dan pusat perekonomian. Tujuannya adalah agar komunitas pedagang Batak tidak terisolir dan teralienasi dari perkembangan perekonomian saat itu.<br />
<br />
Oleh karena itulah Belanda sering kali menuliskan dalam laporan mereka bahwa bandar-bandar ekonomi tanah Batak di pesisir dan kota-kota besar Batak lainnya sebagai berciri khas Melayu. Laporan VOC di abad ke-17 mengatakan bahwa Barus merupakan tanah pesisir yang berkarakter Melayu dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah orang Batak. Penduduknya, menurut Arendt Silvus, terdiri dari “Orang-orang Melayu dari pesisir ini dan pesisir lain yang bercampur dengan orang-orang Batak.” [Lihat Surat, Silvius to Pitt (1677), VOC 1322, f. 1328r.<br />
<br />
Francois Backer, seorang pegawai pertama perusahaan VOC, perusahaan Belanda yang telah mendapat izin berdagang dari Sultan Barus (1672), dan orang pertama yang melihat pelabuhan Barus, mengatakan bahwa menurut penglihatan dan pemahaman umum yang didapatnya, penduduk Barus terlihat sangat superior atau lebih tinggi kelasnya dari komunitas-komunitas pesisir lainnya: “Mereka lebih mirip seperti Ketua-ketua ulama dari pada pribumi yang brutal,” sambungnya. [Lihat, backer to Pits (1669), VOC 1272, f.1066v] Bahkan Silvius mengatakan bahwa penduduk Barus sebagai orang yang penuh taktik, mempunyai kepentingan sendiri, tegar dan diplomatis…” Silvius to Pits (1677), VOC 1322, f. 1328 r.<br />
<br />
Penduduk Barus pada tahun 1600-an merupakan penduduk yang terdiri dari berbagai komunitas pedagang asing, Aceh, Minang, Tamil, Hindu, Kerinci, Siak dan lain sebagainya selaian dari komunitas-komunitas pedagang. Sehingga orang-orang Batak dalam hal ini pemerintahan Kesultanan barus, lebih memilih untuk menggunakan kebiasaan dan bahasa yang sangat umum saat itu, yakni Melayu, agar dapat mempertahankan para saugadar-saudagar kaya tersebut untuk menetap secara permanen di Barus. Kehadiran mereka dapat terus memutar roda perekonomian makro di Kesultanan Barus. Sebuah strategi dan taktik ekonomi yang sangat jitu untuk mempertahankan Barus sebagai kota pelabuhan tersibut dan paling banyak diminati asing saat itu.<br />
<br />
Untuk memastikan keamanan dan kenyamanan para saudagar-saudagar asing tersebut, telah diangkat beberapa hulu balang untuk menempati berbagai posisi, di antaranya Malim Muara dan Kepala Syahbandar untuk mencegah intrusi dari bajak laut yang ingin mengacaukan perekonomian. Di antara bajak-bajak laut yang paling menakutkan saat itu adalah mereka yag berasal dari Belanda, Perancis dan Portugis. Beberapa kali para bajak laut tersebut mengacaukan perekonomian di Barus agar supplai komoditas dari Barus terhambat sehingga para saudagar Eropa lebih memonopoli perdagangan. Sepertinya simbiosis saudagar picik dan kekuatan hitam bajak laut tersebut berhasil membingungkan para saudagar-saudagar Cina, Arab, India dan saudagar-saudagar Nusantara.<br />
<br />
<br />
<br />
Melayu sebagai Tren Globalisasi Kultur Regional<br />
<br />
Bentuk dari pemerintahan Batak di Kesultanan Barus, yang pada saat itu dibuat dengan nuansa Melayu, bersifat republik dan demokratik. Pusat urusan pemerintahan terdapat disebuah istana dan tempat pertemuan publik yang disebut “balai”. Istana ini sangat berbeda dengan istana kesultanan yang lebih kepada urusan administrasi dan kediaman Sultan. Di Balai inilah segala urusan kerakyatan dilakukan. Dilaporkan juga bahwa di sinilah setiap penduduk, asing maupun lokal, melakukan protes dan komplen atau mengadukan permasalahan mereka maupun untuk menyampaikan aspirasi politik kepada Sultan yang diwakili oleh hulubalangnya di Balai. Para warga negara atau gemeente, seperti yang dipahami Belanda, telah memainkan peran yang aktif dalam urusan-urusan politik Kesultanan. [Lihat, Milner, Kerajaan, hlm. 25]<br />
<br />
Penduduk Kesultanan Barus yang terdiri dari kaum bangsawan atau Orang Kaya dan kaum middle class, kelas menengah selalu melibatkan diri dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan. Para pelaut Belanda dengan cepat dapat mengenal sistem politik Kesultanan ini dan berhasil menyogok para warga untuk mendapat rekomendasi dan tanda persetujuan atas kehadiran mereka. Melalui rekomendari kelas menengah inilah VOC, atau perusahaan Belanda dapat diizinkan oleh Sultan untuk melakukan kegiatan ekspor impor di Kesultanan.<br />
<br />
Melman mengatakan bahwa adalah tekanan dari gemeente yang membuat pemerintah mengizinkan Kompeni Belanda untuk beroperasi di Barus walaupun mendapat penolakan maupun oposisi dari perusahaan-perusahaan dan pengusaha-pengusaha Aceh. (Backer to Pits (1669), VOC 1272, f.1066r.<br />
<br />
Persaingan dagang antara saudagar-saudagar Barus dengan saudagar-saudagar asing seperti Aceh yang biasanya sangat lumrah dalam dunia perekonomian nampaknya berhasil dirusak para pelaut Eropa. Sayangnya pemerintah melalui Sultan, gagal mengatasi dan merumuskan undang-undang mengenai etika bisnis yang legal dan larangan atas monopoli illegal sehingga pihak Eropa dapat dengan leluasa mengobrak-abrik tatanan perekonomian kesultanan.<br />
<br />
Menurut laporan-laporannya, VOC bahkan menerapkan kebijakan rasial dengan mendahulukan bertransaksi dengan para saudagar-saudagar Barus dari pada para saudagar Aceh. Tujuannya adalah untuk mengisolasi pedagang Aceh. Hal ini membuat kebanyakan pedagang pribumi Barus dan asing seperti Aceh dan lain-lain protes dan menyatakan ketidaksetujuan mereka dengan kecurangan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi Belanda yang dapat merusak iklim perdagangan yang sudah kondusif. <br />
<br />
Namun, tampaknya, VOC sudah mengenal sistem pemerintahan di Barus yang saat itu mempunyai kelemahan yang sangat krusial. Pemerintahan Kesultanan Barus saat itu dipegang oleh pemerintahan dualitas antara Dinasti Pardosi dengan Pasaribu. Dahulunya, kedua dinasti ini memerintah di Kesultanan yang berbeda namun dengan bertambahnya penduduk dan jumlah kota-kota perekonomian, wilayah keduanya yang sama-sama di Barus dan sekitarnya menjadi menyatu. Konsensus kedua dinasti telah banyak dicapai dalam perjanjian-perjanjian antar penguasa dengan melakukan klasifikasi kekuasaan dan demografi. Namun, dalam praktek, pemerintahan dualitas tersebut sangat sulit direalisasikan dan rentan dengan konflik dan korban adu domba.<br />
<br />
Perusakan tatanan perekomian yang dilakukan para pengusaha Belanda akhirnya berimbas kepada rusaknya tatanan pemerintahan dan politik yang telah lama dibina oleh orang-orang Batak. Dinasti Pardosi yang secara yuridis formal mempunyai gelar Raja Di Hulu dan Dinati Pasaribu dengan gelar Raja Di Hilir.<br />
<br />
Pemberian gelar tersebut sebenarnya sudah merupakan kompromi dan konsensus bersama antara keduanya yang mencakup cakupan pengaruh, wewenang dan geografi kekuasaan. Dimana Pardosi wilayah pengaruhnya ke Hulu Barus dan Pasaribu ke Hilir Barus. Walaupun dipimpin oleh dua dinasti, Barus oleh para saudagar-saudagar asing diakui sebagai sebuah kesatuan kesultanan yang tidak terpisahkan. [Stapel dan Heeres, eds., Corpus Diplomaticum, vol. 2, hlm 383-389]<br />
<br />
Taktik pertama yang dilakukan oleh VOC adalah dengan menimbulkan kecemburuan antar dua dinasti dengan mengistimewakan Raja di Hulu dari Raja di Hilir walau keduanya sama-sama mengeluarkan dan menandatangani Keputusan Bersama Sultan saat mengeluarkan surat izin beroperasi bagi VOC. Kadang-kadang juga, atas dasar kepentingan ekonomi dan politik mengitimewakan yang Hilir daripada yang di Hulu. <br />
<br />
Walaupun pada awalnya taktik pecah belah ini tidak terlalu dirasakan oleh kedua dinasti karena Raja Hulu dipanggil oleh VOC dengan sebutan sebagai Raja dan yang Hilir sebagai perdana menteri. Atau berbagai sebutan lain, yang kurang bermakna bagi pemerintahan Barus seperti opper-Regent bagi Sultan Hulu dan mede opper-Regent untuk yang di Hilir. [Backer to Pits (1669)]. Karena dalam pergulatan kedua dinasti dalam sejarah memang sering terjadi saling merebut kekuasaan bahkan dengan perang yang pada akhirnya terciptalah sebuah konvensi politik bahwa Raja di Hulu merupakan Raja Tunggal dan di Hilir memegang posisi Bendahara alias Perdana Menteri yang disetujui oleh kedua Dinasti. <br />
<br />
<br />
<br />
Peta Politik<br />
<br />
Secara umum peta politik di Kesultanan Barus yang dihuni oleh rakyat yang plural dan beragam, sangatlah komplek dan rumit. Kerumitan tersebut semakin parah saat pemerintahan tetangga juga memback-up dan mendukung jaminan keamanan bagi para komunitas dagangnya di ibukota Kesultanan.<br />
<br />
Sultan Aceh dikhabarkan beberapa kali menginterpensi kebijakan politik Kesultanan agar dapat meningkatkan jaminan keamanan kepada perusahaan-perusahaan Aceh dan para pengusahanya. Begitu juga dengan Raja Minang yang melindungi kepentingan pengusahanya. Tidak dapat dipungkiri begitu juga dengan Tamil, Arab, Siak Cina dan lain sebagainya, seperti halnya Belanda dan VOC-nya.<br />
<br />
Silvius mengatakan bahwa pemerintahan Aceh telah melakukan langkah politik yang sangat jitu dengan menggandengan Sultan Di Hulu dengan memberinya gelar kehormatan [Silvius to Pits (1677). Sedangkan pemerintahan Minang lebih suka untuk menggandengan Sultan Di Hilir yang merupakan orang Batak yang dilahirkan di Tarusan, Minangkabau. Dari laporan-laporan Belanda dan manuskrip-manuskrip Kesultanan ditemuan bahwa pemerintahan Aceh bahkan seringkali mengirim ekspedisi militernya untuk melindungi para pengusaha Aceh di Barus. Diyakini kompetisi Belanda kontra para saudagar Aceh telah sampai kepada persaingan bisnis yang sangat brutal yang menghancurkan dan mengganggu seluruh sistem tatanan perekenomian pemerintahan Kesultanan Barus.<br />
<br />
Kedua bangsa, Aceh dan Belanda telah saling tuduh menuduh dan saling mencurigai satu sama lain sebagai bangsa brutal, pembunuh dan pembantai. Diyakini hal ini disebabkan antar kedua bangsa ini telah terlibat dalam peperangan dan persaingan ekonomi yang berujung kepada pembantaian antar keduanya. Propaganda saling menyudutkan ini merupakan implikasi dari persaingan dagang yang sangat brutal.<br />
<br />
Friksi antar kedua Dinasti yang memerintah di Barus dilaporkan semakin meningkat saat Sultan di Hulu mulai, mau atau tidak mau, terlibat dalam persaingan tersebut. Sultan di Hulu mulai menarik persetujuannya dengan menolak kehadiran Kompeni (VOC) yag mulai terlihat sangat bermusuhan dan tidak bersahabat dengan para saudagar-saudagar di Barus. Mereka memboikot transaksi dagang dengan VOC. [Kroeskamp, De Weskust, Hlm 153 dan Backer to Pits (1669).<br />
<br />
Sementara itu, Kompeni atau VOC berhasil menyelamatkan muka dengan berlindung atas nama Sultan di Hilir yang lebih memilih untuk bersikap fleksibel dengan Kompeni yang dimusuhi oleh saingannya yang Di Hulu. Orang-orang Belanda mengkalim bahwa kehadiran mereka didukung oleh Sultan Hilir untuk menciptakan keseimbangan kekuatan dengan hadirnya pasukan Aceh Di Hulu. [ibid., f. 1067v]<br />
<br />
<br />
<br />
Jalur-jalur Ekonomi; Antara Pesisir dan Perbukitan<br />
<br />
Konstelasi politik Batak, khsusunya antara kedua Dinasti yang memerintah tidak saja seputar peran asing tapi juga mencakup jalur-jalur perekonomian. Saudagar-saudagar Batak yang berperan sebagai pengumpul komoditas-komoditas dari pegunungan sekitar Barus, seperti Pakkat, Dolok Sanghul, Dairi dan lain-lain, juga terlibat dengan para Saudagar Batak lainnya yang menjadi pengumpul di wilayah-wilayah antara Barus dan Air Bangis. Dari areal ini, kamper dan benzoin di dapat di Sibuluan, Batang Toru, Batu Mundam, Tabujang, Natal dan Batahan. [Melman to Pits (1669).<br />
<br />
Sultan Hulu lebih mempunyai legitimasi kepada para saudagar kelompok pertama yang Sultan Hilir lebih dilegitimasi oleh kelopom kedua. Kelopok pertama, yakni mereka yang berasal dari pegunungan sekitar Barus terdiri dari mereka yang berasal dari Dairi, Marga Mukkur, Meha, Simbolon, Marbun, Simanullang, Simamora, Pardosi, Sigalingging, Pohan, Naipospos dan lain sebagainya. Sementara yang kedua lebih banyak dari Mandailing, Pasaribu, Hutagalung dan lain sebagainya.<br />
<br />
Menurut Melman, peperangan antara dua kelompok saudagar Batak seringkali terjadi. Namun kedua kelompok tersebut akan sangat menahan diri untuk memerangi pemerintahan Barus. Satu kelompok akan mencegah kelompok lainnya untuk memerangi Barus. Walau seandainya pada saudagar Batak itu ingin melakukannya, seperti kudeta, dapat saja mereka lakukan, namun para pelaku pasar dan ekonomi Batak sangat sadar atas perlunya keamanan dan ketertiban untuk mendukung kegiatan ekonomi.<br />
<br />
Posisi inilah yang kemudian dipahami oleh para saudagar asing. Banyak pengusaha Aceh, Melayu dan Arab yang melakukan kontak dagang langsung ke pegunungan-pegunungan yang biasanya didominasi dan dimonopoli oleh para saudagar Batak. Kehadiran mereka di sana dihormati oleh para pelaku ekonomi Batak asal saja patuh dengan etika-etika ekonomi yang ditentukan oleh adat.<br />
<br />
Tampaknya Kompeni Belanda juga ingin ikut-ikutan. Namun kehadiran perusahaan VOC di pedalaman Batak dengan tegas ditolak oleh para saudagar Batak dan raja-raja huta karena melihat perangai dan perilaku orang Kompeni yang sudah dikenal brutal dan kasar apatah lagi sangat rasialis dengan menganggap ras mereka lebih tinggi dari pribumi yang diejeknya sebagai primitif, budak dan pemakan orang.<br />
<br />
Hubungan dagang antara pedalaman Batak dengan VOC sama sekali tidak ada kecuali dengan perantara para saudagar di Barus yang lebih dipercaya oleh orang-orang Batak. [Mengenai lebih percayanya orang Batak dengan Sultan di Barus dari pada Kompeni lihat Melman to Pits (1669)]. Hal itulah yang ditemukan Melman di Barus dan dia melaporkan kondisi tersebut kepada atasannya di kantor pusat VOC di Padang tentang keengganan orang Batak pedalaman melakukan hubungan dagang dengan Kompeni.<br />
<br />
Namun, Kompeni dengan strategi jitunya tetap saja mendapat komoditas yang mereka inginkan dengan membeli komoditas-komoditas Batak melalui Sultan Hilir yang lebih bersikap lunak kepada Kompeni. Sementara itu dari pihak Sultan Hulu sama sekali masih memboikot perdagangan dengan Belanda.<br />
<br />
Walau bagaimanapun, boikot dan embargo ekonomi yang dilakukan oleh Sultan Di Hulu terhadap Kompeni atas kebrutalan dan kecurangannya telah berhasil mengurangi keuntungan perusahaan yang selama ini selalu didapat secara berlipat ganda.<br />
<br />
Pada tahun 1671, perubahan konstelasi politik regional mulai bergeser. Kekuatan Aceh mulai menarik pasukannya dari Barus seiring dengan mulai membaiknya peta politik saat itu. Belanda mulai mengambil langkah untuk memperbaiki perangai mereka dengan pihak penguasa. Backer seorang pegawai Kompeni, setelah dengan susah payah berhasil mendapat simpati dari Sultan Di Hulu untuk menjamin supplai produk-produk dari pedalaman Batak. Sultan, menerima iktikad baik tersebut dan bahkan menjamin akan meningkatkan pengaruhnya di pedalaman Batak untuk segera mengirim komoditas yang diinginkan oleh Kompeni. [Backer to Pits (1671)].<br />
<br />
Tahun 1694, Kompeni mengurungkan niatnya sementara untuk menerapkan kebijakan adu domba dan pecah belah terhadap Barus. Mereka mengakui kedaulatan dan otoritas Kesultanan Barus yang dipimpin oleh kedua Dinasti tanpa membeda-bedakan satu sama lain. Konvensi Kesultanan Barus yang menganggap Sultan Di Hulu sebagai penguasa dan Sultan di Hilir sebagai perdana menteri mulai diakui secara permanen. Pihak pengusaha Belanda, untuk sementara, tidak lagi berusaha mengadu domba dengan mengistimewakan pihak Hilir.<br />
<br />
<br />
<br />
Barus, Dairi dan Batak Dipecah Belah<br />
<br />
Dalam dokumentasi Belanda pada tahun 1694, mereka mulai sadar bahwa mereka tidak akan bisa bertahan di Barus, di tengah arus kompetisi ekonomi yang mulai ketat, tanpa dukungan dan kemurahan hati Sultan di Hulu. Hal itu dipahami oleh Belanda, karena dalam sebuah langkah brutal untuk melenyapkan Sultan di Hulu oleh Belanda, telah mengalami kegagalan karena dukungan sebuah pasukan ekspedisi militer yang terdiri dari kepala-kepala huta orang-orang Dairi yang setia kepada Sultan Hulu pada tahun 1693, setahun sebelum pengakuan Kompeni tersebut.<br />
<br />
Setelah supremasi dan otoritas Sultan Di Hulu kembali ke semula, Sultan Minuassa, Sultan di Hulu yang memerintah saat itu, dilaporkan bermusafir ke Dairi untuk pengasingan sementara di pegunungan di belakang Singkil.<br />
<br />
Dukungan yang diberikan oleh para raja-raja huta Dairi terhadap Sultan Di Hulu mengejutkan orang-orang Belanda, padahal sebelumnya telah ada perjanjian antara Kompeni dengan orang-orang yang dilakimnya sebagai tetua Dairi untuk memindahkan loyalitas mereka dari Sultan Hulu ke Hilir.<br />
<br />
Dalam pengasingan Sultan, pihak Belanda yang tidak pernah putus asa untuk merusak tatanan hidup orang Batak di Kesultanan Barus mulai mendekrasikan Sultan di Hilir menjadi Raja Barus. Untuk mendukung kebijakan mereka, orang-orang Dairi mulai didekati untuk menghianati kembali Sultan mereka. Hal ini tampaknya mendapat keberhasilan.<br />
<br />
Pada tahun 1698, Sultan Minuassa yang mengasingkan diri sementara di Dairi kembali ke Barus, namun dia mendapati kekuasaanya telah hilang dan lenyap. Belanda bersikukuh bahwa dia bagi mereka hanyalah bara-antara bagi orang Dairi. Belanda berhasil mengangkat Sultan Hilir sebagai pemerintah boneka yang dapat disetir oleh perusahaan VOC.<br />
<br />
Sultan Minuassa tidak menerima kecurangan yang dialaminya. Pada tahun 1706, dia berhasil menggalang kekuatan, khususnya dari semarganya di Dairi dan Singkel, untuk mengembalikan kehormatan dan harga diri sebagai Sultan penguasa Barus. Orang-orang Batak di pegunungan sekitar Barus juga mendukungnya. Usaha ini berhasil mengembalikan tahta dan istananya. Pada tahun 1709, paman Sultan Minuassa yang bernama Megat Sukka atau Sultan Bongsu Pardosi berhail melakukan gempuran mematikan terhadap lawan-lawannya, atas nama kedaulatan dan tahta Sultan Hulu, dan berhasil menguasai seluruh Barus. Usaha ini mencapai kemenangan yang fantastis sejak sebelumnya pihak Sultan di Hulu berhasil melobbi pihak Kerajaan Aceh untuk mengirimkan pasukan pendukung.<br />
<br />
Namun pihak Sultan di Hulu tidak ingin memerintah secara egois di Barus. Kedaulatan Sultan di Hilir juga dikembalikan. Sekali lagi kombinasi Hulu dan Hilir dalam memerintah Barus seperti dahulu kala berhasil dikembalikan. Sultan Hilir dalam suratnya kepada Kompeni di Padang mengatakan bahwa Barus telah kembali ke sistem pemerintahan semula, yakni pemerintahan yang dikuasasi oleh dua dinasti. [Lihat surat Raja Barus (hilir) kepada VOC (1709), VOC 1777].<br />
<br />
<br />
<br />
Orang-orang Batak Bersatu<br />
<br />
Pada 1736-1740 merupakan tahun yang sangat krusil bagi bangsa Batak. Pada saat ini orang-orang Dairi membulatkan tekadnya untuk mendukung tahta dan kedaulatan Sultan Di Hulu yang mencakup semua wilayah Dairi, Sionom Hudon, Pakpak dan Simsim.<br />
<br />
Demikian pula halnya dengan raja-raja Batak dari pedalaman. Para raja-raja Batak ini berkenan pula mengirimkan pasukannya ke Barus untuk menghalau teror yang dilakukan oleh kompeni dan Belanda.<br />
<br />
Penduduk Sorkam dan Korlang, berhasil dimobilisasi oleh Raja Simorang dari Silindung untuk bersatu dan bersama-sama mengusir Kompeni atau VOC. Beberapa kali perang terjadi antara kedua belah pihak. <br />
<br />
Sementara itu, Dinasti Sisingamangaraja VIII, yang bernama Ompu Sotaronggal dan bergelar Raja Bukit memimpin pasukannya dari tanah Batak untuk mendukung pasukan Barus bersama pasukan Kerajaan Aceh untuk memberi perlindungan kepada Sorkam dari pembunuhan oleh Kompeni. Begitu heroiknya Raja Bukit dalam pertempuran tersebut, sehingga orang-orang Eropa yakin bahwa Raja Bukit adalah orang Aceh.<br />
<br />
Aliansi beberapa pasukan yang dipimpin oleh Raja Bukit ini berhasil menggetarkan pihak Belanda sehingga namanya dikenal sampai ke Inggris. [Anne Lindsey, “The Private Trade Of The British In West Sumatera” 1735-1770” [Ph.D Disssertation, University of Hull, 1977], p. 122.<br />
<br />
Ompu Sotaronggal merupakan Sisingamangaraja VIII, keturunan Dinasti Sisingamangaraja yang memerintah di pedalamanan Batak. Silsilah dinasti Sisingamangaraja sampai abad ke 18 adalah pertama Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550. Yang kedua SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595. Yang ketiga, SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627. Yang keempat SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667. Yang kelima, SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730. Yang keenam SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751. Yang ketujuh SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771 dan yang kedelapan SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788.<br />
<br />
Diyakini bala bantuan dari Bakkara tersebut direalisir karena kedua kerajaan, Kerajaan Batak dan Kesultanan Barus merupakan dua negara yang merdeka yang saling mengakui kedaulatan satu sama lain. Kerjasama keduanya sudah terjadi sejak dahulu kala, khususnya dalam hubungan ekonomi dan adat budaya. Keduanya semakin menyatu setelah keduanya merupakan sekutu dekat Kerajaan Aceh untuk mengatasi berbagai masalah.<br />
<br />
<br />
<br />
VOC Bangkrut, Kompeni Hengkang<br />
<br />
Bangkitnya Kesultanan Barus dari tekanan amoral Kompeni, ternyata mengembalikan keamanan dan kenyamanan dalam kesultanan yang membuat bangkitnya saudagar-saudagar yang bukan Belanda dalam perekonomian.<br />
<br />
Perusahaan-perusahaan Aceh yang berkompetisi langsung dengan VOC mulai bangkit dari isolasi yang dibuat oleh Kompeni tersebut. Penduduk pribumi mulai sadar dengan perangai dan perilaku Belanda yang makin lama makin meniadakan eksistensi mereka sebagai pribumi. Orang-orang Batak mulai menghindarkan diri untuk berhubungan dan bertansaksi secara ekonomi dengan pihak Belanda. Arogansi dan kepicikan Belanda yang menggap pribumi sebagai primitif, kampungan dan pemakan orang semakin membuat penduduk pribumi yakin dengan ke’aneh’an perdaban Kompeni. <br />
<br />
Orang-orang Batak tetap melakukan bisnis dengan semua bangsa-bangsa termasuk Arab, Cina, India, Aceh, Siak, Bugis dan Inggris serta Perancis yang datang belakangan. Pada tahun 1778 kompeni Belanda atau VOC di Barus bangkrut dan mereka menarik diri dari Kesultanan Barus.<br />
<br />
<br />
<br />
Masuknya Inggris<br />
<br />
Kesultanan Barus berhasil membangun kembali peradaban mereka. Beberapa lembaga pemerintahan dan sosial berhasil dibangun kembali sejak keamanan dan ketertiban berhasil dipertahankan. Sejak akhir abad ke-18 itu, masyarakat pedagang di Kesultanan Barus mulai melihat prospek kecerahan perekonomian setidaknya suasana persaingan ekonomi mulai fair, adil dan beretika.<br />
<br />
Pada tahun 1814, John Canning, seorang penyusup dan pegawai perusahaan Inggris berhasil memasuki Barus setelah sebelumnya perusahaan Inggris telah membuka kantor cabangnya di kota pelabuhan Natal. Canning diberi misi untuk memata-matai dan mengukur kekuatan pengusaha Aceh dan pengaruh Kesultanan Aceh di Barus. Menurut informasi orang-orang Eropa saat itu, pasukan Aceh telah ditempatkan secara temporer di Taruman, sebuah wilayah Barus perbatasan antara Kesultanan Barus dan Aceh. Wilayah Taruman itu mencakup Singkil sampai Meulaboh. Paska bercokolnya kembali Belanda, wilayah Taruman berhasil memproklamirkan diri menjadi Kesultanan Tarumon dengan sultan yang berasal dari Batak Singkil serta dengan pengakuan dari Aceh.<br />
<br />
Pada tahun ini (1814) penguasa Barus yang tunggal dari Hulu bernama Sultan Baginda Raja dengan perdana menteri dari Hilir. Menurut Canning, perusahaan dan pengusaha-pengusaha Aceh berdomisili di Tapus. Sementara itu Taruman bagian utara Barus telah diangkat seorang Aceh untuk menjadi gubernur oleh Sultan Baginda yang bernama “Lebbe Dappah”. Menurut Canning pula bahwa Kesultanan Barus merupakan negara yang sangat penting untuk menahan pengaruh Aceh ke Selatan, khususnya Natal.[lihat Captain J. Canning, 24 November 1814, Sumatra Factory Record., vol.27]<br />
<br />
Laporan-laporan mata-mata ini berhasil melihat secara jelas peta perpolitikan di Barus paska hengkangnya Belanda. Menurutnya, Sultan di Hilir, sebenarnya sudah tidak berdaulat lagi, sejak mereka hanya bagian dari pemerintahan Sultan Barus (Di Hulu) berbeda dengn laporan-laporan Belanda yang saat itu masih terus saja berhipotesa mengenai kondisi kontemporer Kesultanan.<br />
<br />
Sementara itu, konstelasi politik dunia mulai mengalami kemajuan Beberapa perusahaan-perusahaan Eropa mulai mendapat keuntungan yang berlipat ganda setelah mengeruk kekayaan dan mengekplotasi berbagai negara dan wilayah terbelakang di Asia dan Afrika dan juga Amerika Latin. <br />
<br />
<br />
<br />
Belanda Kembali, Kali ini Untuk Menjajah<br />
<br />
Pada tahun 1820, Belanda kembali lagi ke Barus kali ini maksud mereka bukan untuk berdagang tapi menjajah sepenuhnya Barus. Selang lima tahun Belanda berhasil menguasai para pejabat pemerintahan dengan maksud untuk memperkuat jaringanya.<br />
<br />
Kali ini Belanda masuk dengan pasukan yang sangat dan canggih saat itu. Kehadiran mereka di dipegunungan juga mendapat tantangan oleh orang-orang Batak Padri yang tidak setuju dengan konsep hisap darah dan penjajahan ala Belanda tersebut.<br />
<br />
Pada tahun 1825, perpecahan antara kedua penguasa di Barus berhasil diciptakan, Ridder de Steurs mengklaim bahwa salah satu Sultan telah meminta Bantuan dari Belanda di Padang untuk mengirim pasukan membela salah satu Sultan. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Belanda untuk mengirim pasukan lebih banyak tanpa mendapat perlawanan dan protes dari raja-raja Batak di berbagai tempat. Walaupun Belanda telah datang dengan pasukan bersenjata lengkap tetap saja mereka harus mengambil langkah yang jitu agar langkah tersebut tidak mengalami kegagalan yang fatal.<br />
<br />
Usaha untuk menjajah dan mencaplok secara total Barus terus dilakukan namun selalu mendapat perlawanan dari Rakyat. Pergulatan, peperangan dan pertikaian terus terjadi sampai tahun 1839. Pada tahun ini Belanda berhasil menguasasi Barus setelah sebelumnya Belanda berhasil menguasai Bonjol pada tahun 1837. Setelah menguasasi Bonjol, pusat pasukan Padri Minang dan setelah banyaknya orang-orang Padri Batak tewas dan gugur mempertahankan Air Bangis, pasukan Belanda dapat mengumpul kekuatan penuh untuk menguasasi Barus dua tahun kemudian yakni 1839-40. Walaupun begitu, Kesultanan Barus masih tetap eksis di bawah penjajahan dengan gelar Tuanku dan bukan Sultan.<br />
<br />
Seorang penyusup Belanda yang bekerja untuk kepentingan militer, H.N. van der Tuuk yang pada tahun 1851, berhasil menyusup sampai ke pedalaman Batak. Walaupun Barus dikuasai, namun pedalaman Batak tetap merdeka sampai tahun 1907.<br />
<br />
Para penyusup tersebut diinfiltrasikan oleh Belanda dengan tujuan mengkeroposkan sistem sosial dan adat orang-orang Batak. Penguasaan terhadap tanah Batak adalah sangat penting untuk menyempurnakan kekuasaan Belanda di Sumatera yang hanya tinggal Aceh dan Batak tersebut.<br />
<br />
H.N. van der Tuuk, dengan bantuan para ketua-ketua kampung di Barus yang terdiri dari pada Batak muslim yang menjadi pemandu, berhasil memasuki tanah Batak. Dari sana dia berhasil memetakan dan menarik kesimpulan yang mesti diperhatikan oleh para penyusup Belanda berikutnya. Di antaranya adalah keharusan memelihara babi dan mengisolasi masyarakat Batak Muslim dan kelompok “pitu hali malim pitu hali solam” dari yang pelebegu. [Lihat Lihat: R. Nieuwenhuys, H.N. van Der Tuuk: De, Pen in Gal Gedoopt, (Amsterdam, 1962) hal: 81-84] Dengan begitu orang Batak akan mudah ditaklukkan.<br />
<br />
Pada tahun 1851, Sultan Di Hulu, dari Dinasti Pardosi mulai secara pelan-pelan dikurangi otoritasnya. Dia mulai dilarang untuk menggunakan stempel kerajaan dalam membuat surat. Ini berarti kekuasaannya sudah tumpul dan puntung karena sudah tidak boleh mengeluarkan perintah dan keputusan. Kondisi ini membuat Tuanku di Hilir merasa bahagia menjadi penguasa tunggal yang tersisa dengan dukungan Belanda. Namun belum lengkap kebahagiaan yang dirasakan olehnya, Belanda menetapkan keputusan sama pada tahun 1852 terhadap Tuanku di Hilir.<br />
<br />
Untuk semakin mengerdilkan Barus yang pernah membangkrutkan Belanda, pihak penjajah kemudian menunjuk Sibolga yang dipimpin oleh keturunan Tuanku Dorong Hutagalung sebagai pusat perekonomian menggantikan Barus. Para saudagar mulai dipersulit beraktivitas di Barus. Beberapa kali, dalam menumpas kekuatan kemerdekaan dari pribumi, Belanda mengambil jalan pintas dengan membakar dan menghancurkan semua desa-desa dan penduduk Barus. Lama-kelamaan bahkan sampai sekarang Barus tinggal hanya puing-puing. Di atasnya, penduduk Barus yang sudah sangat terpuruk secara ekonomi dan mental mulai membangun tempat tinggal mereka kembali dari pelepah daun dan rumbia, akibatnya Barus dan orang-orang Batak kembali ke zaman kegelapan, saat orang-orang Batak masih hidup telanjang berkelompok dan nomaden.<br />
<br />
Para keturunan Sultan dan Tuanku Barus hanya boleh dikenal oleh penduduk dengan sebutan kepala kampung atau desa atau kepala kuria. Sedapat mungkin Belanda membatasi gerak dan usaha mereka untuk berbicara.<br />
<br />
<br />
<br />
Sumber: Politik Batak 1668-1840 Oleh Julkifli Marbun<br />
<br />
Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-43503857427232989452013-07-23T12:26:00.001+07:002013-07-23T12:26:16.767+07:00SEJARAH POMPARAN RAJA NAI AMBATON SEJARAH POMPARAN RAJA NAI AMBATON <br />
<br />
<br />
Raja Nai Ambaton/Tuan Sorba Dijulu adalah anak sulung dari Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 4 orang anak namun ada juga yang mengatakan 5 orang anak, namun Tuan Sorba Dijulu hanya memiliki satu orang boru yang menikah dengan Raja Silahisabungan dan melahirkan anaknya yang diberi nama Silalahi Raja. Anak Tuan Sorba Dijulu/Nai Ambaton adalah <br />
<br />
<br />
<br />
1. Simbolon Tua <br />
<br />
2. Tamba Tua<br />
<br />
3. Saragi Tua<br />
<br />
4. Munthe Tua<br />
<br />
5. Nahampun Tua<br />
<br />
6. Sada boru Pinta Haomasan <br />
<br />
Sekilas perjalanan Pomparan Raja Nai Ambaton dohot Pinomparna <br />
<br />
<br />
<br />
Diperkirakan Op. Tuan Sorba Dijulu tinggal di sekitar Pusuk Buhit, dengan istrinya nai ambaton yang merupakan boru pinompar ni Guru Tatea Bulan yang diketahui nama op. boru itu adalah Siboru Anting Bulan yang marhuta di huta Parik Sabungan (sudah ada yang pernah datang ketempat ini). <br />
<br />
<br />
<br />
Diperkirakan Tuan Sorba Dijulu merantau ke Dolok Paromasan, disinilah lahir anak-anaknya Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua (kita buat 4 dulu anaknya Tuan Sorba Dijulu karena Nahampun masuk Simbolon) dan satu borunya Pinta Haomasan.<br />
<br />
<br />
<br />
Namun di satu sisi Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 2 orang istri, istri pertama anaknya adalah Simbolon Tua sedangkan dari istri kedua anaknya adalah Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun ketika itu dari istri pertama lama lahir Simbolon Tua, sehingga lebih dulu lahir Tamba Tua dari istri kedua. Setelah lahir Tamba Tua terlebih dahulu lahirlah Simbolon Tua dari istri pertama, namun tidak diketahui apakah Saragi Tua dan Munthe Tua dulukah yang lahir baru Simbolon Tua, atau Simbolon Tua dulukah kemudian lahir Saragi Tua dan Munthe Tua dari istri kedua. Namun menurut perkiraan kembali, lebih dulu lahir Saragi Tua baru Simbolon Tua kemudian Munthe Tua, ini menurut analisa generasi dari tiap-tiap keturunan yang ada hingga saat ini.<br />
<br />
<br />
<br />
Lambat laun anak-anak dan boru Tuan Sorba Dijulu bertumbuh besar, sampai pada akhirnya Tamba Tua yang secara usia lebih sulung dari anak-anak Tuan Sorba Dijulu dengan Simbolon Tua yang merasa dialah anak siakkangan karena lahir dari istri pertama bertengkar berebut hak kesulungan, sampai pada akhirnya pertengkaran ini didengar Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu dengan bijaksana menentukan siapakah yang pantas dan memang sebenarnya yang menjadi sulung di Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu mengadu kedua anaknya, dikatakan siapa yang berdarah atau terluka, dialah yang sianggian dan siapa yang tidak dialah siakkangan. Maka diberikan senjata yang sama kepada mereka berdua, senjata tersebut berupa ‘ultop’, namun ultop yang diberikan kepada Tamba Tua adalah ultop yang ujungnya tumpul, sedangkan ultop yang diberikan kepada Simbolon Tua adalah ultop yang runcing dan tajam. Dan akhirnya rencana Tuan Sorba Dijulu pun berhasil, Tamba Tua terluka dan berdarah dan secara otomatis menunjukkan Simbolon Tualah anak siakkangan, ini merupakan cara Tuan Sorba Dijulu kepada mereka tanpa membuat tersinggung mereka, tanpa adanya pemikiran pilih kasih.<br />
<br />
<br />
<br />
Semenjak hal tersebut, kejadian itu membuat Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua untuk pergi meninggalkan Dolok Paromasan, hingga akhirnya mereka menemukan tempat baru di kecamatan Sitio-tio dan diberi nama Huta Tamba, disinilah tinggal Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun tidak alama pomparan Saragi Tua akhirnya merantau ke daerah Simanindo. Lama pomparan mereka terus berkembang hingga membuat pinomparna pergi merantau ke luar huta Tamba, akhirnya pomparan Tamba Tua banyak yang merantau dan sebagian tinggal pomparannya di huta Tamba, mereka inilah yang terus menggunakan marga Tamba hingga saat ini, sedangkan pomparan Tamba Tua yang merantau pada akhirnya menjadi marga mandiri, dan kebanyak mereka merantau ke daerah Simanindo, adapun marga-marga mandiri keturunan Tamba Tua ini adalah Siallagan, Turnip, Si Opat Ama (Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok), Rumahorbo, napitu dan Sitio. Di satu sisi, pomparan Saragi Tua hampir semua meninggalkan huta Tamba dan hidup mandiri ke daerah Simanindo dan lain-lain, begitupun juga dengan pomparan Munthe Tua yang merantau ke karo, barus, simalungun, dan balik ke daerah pangururan dan lain-lain, namun masih ada sebagian dari Pomparan Munthe Tua ini yang hingga saat ini tinggal dan menetap di Huta Tamba. <br />
<br />
<br />
<br />
Di satu sisi ada cerita yang mengatakan semenjak kejadian perebutan hak sulung, Tamba dan adiknya ingin dibunuh oleh Simbolon Tua karena dendam kepada Tamba Tua yang telah merebut hak kesulungannya, namun rencana itu diketahui itonya Pinta Haomasan, dan Pinta Haomasan menyuruh mereka untuk pergi dari Dolok Paromasan.<br />
<br />
<br />
<br />
Suatu ketika, datanglah keturunan Saragi Tua, dari Op. Tuan Binur yang diwakili oleh Si Mata Raja datang ke tanah Tamba untuk mengambil warisan sang ayah dan sang opung yang ada di tanah Tamba, dan pada saat itu disambut oleh Tamba bersaudara, setalah Mata Raja melaksanakan tugasnya Mata Raja bertemu dengan Siallagan dan Turnip yang pada waktu itu berperang melawan kerajaan dari Simalungun, maka karena Siallagan dan Turnip merupakan saudaranya dibantulah mereka, sekilas akhirnya Mata Raja berhasil mengusir musuh hingga lari ketar-ketir. Sejak saat itu, maka Siallagan dan Turnip merasa sangat senang, maka dibuatlah padan diantara mereka bertiga, dan Mata raja diajak untuk tinggal bersama mereka, namun Mata Raja tidak mau dan lebih memilih untuk kembali ke tempatnya.<br />
<br />
<br />
<br />
Di satu sisi, keturunan Munthe Tua banyak yang sudah merantau, salah satunya Pangururan. Keturunan sulung Munthe Tua Raja Sitempang lahir dengan keadaan cacat fisik, sehingga dia diasingkan oleh orangtuanya, disana dia bertemu dengan si boru marihan yang juga lahir dengan keadaan cacat fisik, anak dari Raja Sitempang adalah Raja Na Tanggang yang merantau ke Pangururan dan menikahi boru Naibaho sehingga menetap dan tinggal di Pangururan, di lain pihak ternyata adik dari boru Naibaho istri Raja Na Tanggang ini dinikahi oleh keturunan Simbolon Tuan Nahoda Raja, keturunan dari Simbolon Tua/boru Limbong. Mulai disinilah terjadinya perbedaan pandangan karena Raja Na Tanggang yang merupakan keturunan dari Munthe Tua menikahi boru naibaho siakkangan menganggap dialah siabangan daripada Simbolon Tuan Nahoda Raja yang merupakan anak Simbolon Tua yang menikahi boru naibaho siampudan. Muncullah katai damai dari Tulang, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena Sitanggang dan Simbolon telah menikahi boru Raja Naibaho, maka diberikanlah kepada Sitanggang dan Simbolon bius sebagai boru. Itulah yang dikenal dengan nama bius si tolu aek horbo. Keturunan Raja Sitempang, Sitanggang Bau pun bertemu dengan Gusar yang merupakan generasi ke 13 si Raja Batak yang ketika itu membantu Sitanggang Bau melawan musuhnya. Anak-anak Munthe Tua yang kedua dan ketiga yaitu Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo yang merantau ke Simalungun, dan Ompu Jelak Karo ke tanah karo, jadi salah bila beranggapan Munthe itu berasal dari karo, jadi dari kedua ompu inilah yang masih menggunakan marga leluhurnya, namun bagi yang di karo menjadi marga mandiri seperti Ginting sama seperti anak siakkangan Munthe Tua yang menjadi marga mandiri Sitanggang. <br />
<br />
<br />
<br />
Namun ketika jaman Belanda, dimana Belanda untuk menguasai kekayaan bumi yang ada di samosir di Pangururan memanggil raja-raja untuk dijadikan kepala nagari, begitu juga dengan Sitanggang yang diberikan daerah kekuasaan dengan menjadi Raja Pangururan karena dia memiliki sebagian besar bius karena menikahi boru siakkangan Naibaho. Diperkkirakan disinilah terjadinya turut campur Belanda dalam mencampuri dan membuat berantakan tarombo, karena banyak raja-raja pada waktu itu tidak datang dan diwakilkan oleh adiknya atau kepercayaannya yang masih satu marga, namun tidak disangka mereka ditawarkan menjadi kepala nagari, ada yang tergiur dan ada yang menolak hingga mereka yang dijadikan kepala nagari itu yang merupakan utusan dari raja daerah/abangnya mengaku sebagai abangan karena telah menjadi kepala nagari.<br />
<br />
<br />
<br />
Dolok Paromasan terletak di daerah Pangururan, namun Dolok Paromasan ini adalah miliki Tuan Sorba Dijulu lain dengan kota Pangururan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PINTA HAOMASAN<br />
<br />
Namboru Pinta Haomasan adalah boru sasada Tuan Sorba Dijulu yang tinggal di Dolok Paromasan bersama dengan itonya Simbolon Tua, karena itonya Tamba Tua dan adik-adiknya pergi meninggalkan akibat kejadian hak sulung. Namboru Pinta Haomasan muli ke Raja Silahisabungan dengan anaknya Silalahi Raja, karena pada saat itu pariban Silalahi Raja hanya ada dari boru tulangnya Simbolon Tua, karena ketiga tulangnya telah meninggalkan huta, maka Silalahi Raja mengambil boru Tulangnya dari Simbolon Tua hingga beberapa generasi. Karena mengambil boru tulangnya dari Simbolon, maka sama seperti yang dilakukan oleh Raja Naibaho kepada Simbolon maka dilakukan juga hal tersebut kepada Silalahi Raja, diberikannlah bius boru kepada Silalahi Raja, namun karena Simbolon Tua sadar bahwa tanah leluhurnya Tuan Sorba Dijulu di Dolok Paromasan bukanlah hanya miliknya, maka bius Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua ikut diberikan didalamnya. <br />
<br />
<br />
<br />
Bius disini bius di Dolok Paromasan berbeda dengan bius Pangururan yang diberikan Raja Naibaho, karena diperkirakan Pangururan adalah wilayah kekuasaan Tuan Sorimangaraja. <br />
<br />
<br />
<br />
Marga Parna di Pak-pak dan Aceh<br />
<br />
<br />
<br />
Banyak marga-marga parna yang merantau ke tanah pak-pak dan menjadi besar, mulai dari keturunanya di Pak-pak dari keturunan Simbolon Tuan, Sigalingging dan Munthe. Misalnya Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turuten, Pinayungan, Nahampun, dll, begitu juga marga Saraan, Kombih dan Berampu yang berada di sekitar Aceh (Singkil).<br />
<br />
<br />
<br />
Horong Marga-Marga Parna<br />
<br />
<br />
<br />
SIMBOLON TUA<br />
<br />
1. Simbolon Tuan Nahoda Raja <br />
<br />
2. Tinambunan<br />
<br />
3. Tumanggor<br />
<br />
4. Pasi <br />
<br />
5. Maharaja<br />
<br />
6. Turuten<br />
<br />
7. Pinayungan<br />
<br />
8. Nahampun<br />
<br />
9. Simbolon Altong Nabegu<br />
<br />
10. Simbolon Pande Sahata<br />
<br />
11. Simbolon Juara Bulan<br />
<br />
12. Simbolon Suhut Ni Huta<br />
<br />
13. Simbolon Rimbang<br />
<br />
14. Simbolon Hapotan<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
TAMBA TUA<br />
<br />
1. Tamba <br />
<br />
2. Siallagan <br />
<br />
3. Turnip <br />
<br />
4. Sidabutar <br />
<br />
5. Sijabat <br />
<br />
6. Saragi Dajawak<br />
<br />
7. Siadari <br />
<br />
8. Sidabalok <br />
<br />
9. Rumahorbo <br />
<br />
10. Napitu <br />
<br />
11. Sitio <br />
<br />
12. Sidauruk<br />
<br />
<br />
<br />
SARAGI TUA<br />
<br />
1. Simalango<br />
<br />
2. Saing<br />
<br />
3. Simarmata<br />
<br />
4. Nadeak<br />
<br />
5. Sumbayak<br />
<br />
6. Sidabukke (sudah keluar dari parna)<br />
<br />
<br />
<br />
MUNTHE TUA<br />
<br />
1. Sitanggang bau<br />
<br />
2. Sitanggang gusar<br />
<br />
3. Sitanggang lipan<br />
<br />
4. Sitanggang upar<br />
<br />
5. Sitanggang silo<br />
<br />
6. Manihuruk<br />
<br />
7. Sigalingging<br />
<br />
8. Garingging<br />
<br />
9. Tendang<br />
<br />
10. Banuarea<br />
<br />
11. Boang Manalu<br />
<br />
12. Bancin<br />
<br />
13. Bringin<br />
<br />
14. Gajah<br />
<br />
15. Brasa<br />
<br />
16. Manik Kecupak<br />
<br />
17. Saraan <br />
<br />
18. Kombih<br />
<br />
19. Berampu<br />
<br />
20. Munthe <br />
<br />
21. Haro<br />
<br />
22. Siambaton<br />
<br />
23. Saragi Damunte<br />
<br />
24. Dalimunthe<br />
<br />
25. Ginting Baho,<br />
<br />
26. Ginting Beras,<br />
<br />
27. Ginting Capa,<br />
<br />
28. Ginting Guru Putih,<br />
<br />
29. Ginting Jadibata,<br />
<br />
30. Ginting Jawak,<br />
<br />
31. Ginting Manik,<br />
<br />
32. Ginting Munthe,<br />
<br />
33. Ginting Pase,<br />
<br />
34. Ginting Sinisuka,<br />
<br />
35. Ginting Sugihen,<br />
<br />
36. Ginting Tumangger, <br />
<br />
<br />
<br />
* Namun ini masih membutuhkan penyempurnaan yang lebih lagi <br />
<br />
<br />
<br />
Sumber : File Tarombo Tamba Tua<br />
<br />
Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-57519522397513414992010-12-02T16:05:00.004+07:002012-04-10T12:05:55.579+07:00PENJELASAN POMPARAN SAPALA TUA TAMPUK NABOLON (TAMPUBOLON) TENTANG SIRAJA PARMAHAN SILALAHI<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiW8WE3YTBqPnGfswS-lZ7ZJBXZb81JLRLnCZ3_4RfjcN8QLxjjgSnSA0kmPWwAc212iduUGVuwfvTvQa_Aoc9cuUEdTkFaGL-hrDLvAuhCbs0QVajtpvWkr8eJNf3lZpi-0Qy1YjNIQmdJ/s1600/Cover+majalah+DNT+43.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiW8WE3YTBqPnGfswS-lZ7ZJBXZb81JLRLnCZ3_4RfjcN8QLxjjgSnSA0kmPWwAc212iduUGVuwfvTvQa_Aoc9cuUEdTkFaGL-hrDLvAuhCbs0QVajtpvWkr8eJNf3lZpi-0Qy1YjNIQmdJ/s320/Cover+majalah+DNT+43.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5546013021415172642" /></a><br />Laporan Utama Majalah DALIHAN NA TOLU<br />Thn. IV EDISI 43<br />Terbitan Desember 2010<br /><br />Raja Silahisabungan<br />Siraja Bungabunga Silalahi<br />(Silalahi Raja Parmahan)<br /><br /><br />“SUATU UPAYA PELURUSAN TAROMBO”<br /><br /><br /><br /><br />Dalam rangka mendapatkan kebenaran yang sejati atas tarombo Raja Silahisabungan, Siraja Bungabunga Silalahi (Silalahi Raja Parmahan) telah berlangsung pertemuan antara Pomparan Sapala Tua Tampuk Bolon (Tampubolon) dengan Pomparan Silahi Raja (Silalahi)<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiibIjzjJ0GxdVyU2Dwt74g6_WkiqdzB5xRBHnRZzq5bZ-1dggjVPBA1bEDRjxeLGV6K2EHhHOaGgle5EEGq_iA8gxm4GXz0hXScXaBAILDdoBxYU2UQQqWQZJXFqtF8FfGc2gRWHxPxrID/s1600/isi+dnt.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiibIjzjJ0GxdVyU2Dwt74g6_WkiqdzB5xRBHnRZzq5bZ-1dggjVPBA1bEDRjxeLGV6K2EHhHOaGgle5EEGq_iA8gxm4GXz0hXScXaBAILDdoBxYU2UQQqWQZJXFqtF8FfGc2gRWHxPxrID/s320/isi+dnt.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5546013216000445586" /></a><br /><br /><br />Pertemuan tersebut dilakukan sabtu 13 November 2010, di Tolping, Kabupaten Samosir. Sekitar seratus orang menghadiri acara tersebut yang berlangsung dengan tertib, penuh kekeluargaan dan dinamis.<br />Selain Pomparan Silahi Raja yang ada di Tolping, juga hadir dari Balige, Riau, Jakarta dan Bandung. Disamping itu hadir anggi doli Pomparan Siraja Tambun, dan juga dari kalangan pihak boru.<br />Dari pihak Raja Tampubolon hadir sepuluh orang yang mewakili pomparan Tuan Sihubil, pomparan ni Raja Mata Ni Ari, Pomparan ni Raja Apul, dan Pomparanni Raja Siboro, dalam Rombongan Raja Tampubolon, terlihat hadir Drs Sahala Tampubolon mantan Bupati Toba Samosir pertama.<br />Kelihatannya acara tersebut sudah merupakan suatu kerinduan selama ini . hal ini ditandai dengan suasana sukacita yang penuh dengan senyum, diantara namar hahamaranggi pomparan Silahi Raja (Silalahi) dengan Raja Tampubolon.<br />“Horas di Pomparanni Ompunta” ujar rombongan Raja Tampubolon, begitu tiba menginjakkan kaki diarea tempat pertemuan. Bersalam-salaman yang hangat diantara yang hadir, menjadi awal pertemuan tersebut, dengan sambutan Horas yang menggema.<br />Acara dimulai dengan penyerahan “ Pogu ni sipanganon” dari pihak Silalahi kepada hahadoli Tampubolon. Dilanjutkan dengan makan siang bersama dan pembagian parjambaron sesuai tatanan adat budaya Batak.<br />Pertemuan tersebut merupakan yang ketiga, diantara keturunan Silahi Raja (Silalahi) meliputi Siraja Tolping, Bursok Raja, dan Siraja Bungabunga. Dan kedatangan Siraja Bungabunga dalam dua pertemuan sebelumnnya, mengandung banyak arti, karena sekaligus melakukan kunjungan Ziarah ke Tambak Raja Silahisabungan.<br />Dikatakannya, pertemuan ketiga itu menjadi mengandung banyak arti bagi keturunan Silahi Raja (Silalahi), berkat kedatangan haha doli Raja Tampubolon. Pertemuan yang sangat bermakna ini, harus ada tanda dan dimateraikan.<br /><br />SELALU BERSATU<br /><br />Setelah itu masing-masing perwakilan dari Siraja Tolping, Bursok Raja dan Siraja Bungabunga memberikan kata sambutan. Mereka semua menyatakan “Nunga jumpa na jinalahan, mulak tondi tu ruma”. Untuk itu berdasarkan pertemuan tersebut, pomparan Raja Silahisabungan supaya selalu bersatu sisada tortor, sisada tahi tu dolok tu toruan dalam setiap kegiatan.<br />Dari pihak Siraja Tolping menyatakan, pertemuan tersebut menjadi bernilai, karena sebelumnya telah dilakukan Ziarah ke Tambak Silahisabungan . diharapkan agar pertemuan tersebut bukan sampai disitu, harus diteruskan. Sehingga dapat ditemukan tanda atau wujud dari kegalauan hati, tentang pelurusan tarombo Raja Silahisabungan yakni keberadaan Siraja Bungabunga Silalahi.<br />Pihak Bursok Raja mengatakan sangat terharu dengan perjuangan Pomparan Siraja Bungabunga dalam menyatukan asal usul yang sebenarnya.<br />Mereka berharap Tuhan mendengar, Sahala ni ompu mendengar, agar tercapai yang di inginkan. Sehingga Tuhan menunjukkan kesatuan diantara pomparan Raja Silahisabungan.<br />Menurutnya , kehadiran Raja Tampubolon merupakan tanda dari sahala ni ompu, tanda dari Tuhan, sehingga terwujud kelak yang terbaik bagi keturunan Raja Silahisabungan. Sukacita dalam pertemuan itu akan menjadi tonggak kebaikan bagi keturunan Raja Silahisabungan, khususnya Silahi Raja (Silalahi).<br />Sedangkan dari pihak Siraja Bungabunga dalam sambutannya menyatakan, rasa terima kasih kepada Siraja Tolping dan Bursok Raja yang mempertemukan Silalahi dengan Tampubolon. Selama ini mereka selalu bertanya-tanya kenapa ditugu Paropo tidak ada tercantum Siraja Bungabunga.<br />Dia berharap agar Tuhan menunjukkan jalan bagi mereka, sehingga apa yang dicari selama ini dapat ditemukan demi lurusnya permasalahan tarombo tersebut.<br />Mereka dari tiga Ompu sudah sepakat agar haha doli Raja Tampubolon membuka hati dan menjelaskan keberadaan Siraja Bungabunga.<br />Perwakilan anggi doli Siraja Tambun menyatakan, agar Pomparan Silahi Raja (Silalahi) selalu bersatu. Dia berharap roh nenek moyang (sahala ni ompu) mendengar, sehingga seluruh keturunannya bersatu dimanapun berada.<br /><br />DONGAN SAPADAN<br /><br />Dari pihak Raja Tampubolon menyatakan, menyambut baik keinginan Siraja Bungabunga, agar dijelaskan bahwa mereka adalah satu dengan Siraja Tolping dan Bursok Raja. Sehingga jelas kedudukan dari saat ini hingga masa mendatang, jadi kalau ada pergumulan, selalu satu hati dan satu pendapat. “Tampakna do rantosna, rim ni tahi do gogona,” ujarnya mengungkapkan salah satu filosofi orang Batak.<br />Mereka menyatakan apa yang diungkapkan itu, berdasarkan apa yang mereka dengar dari nenek moyang secara turun-temurun. Biasanya setelah panen, ada kegiatan yang dilakukan nenek moyang masa dulu yakni “Patasimangot” seperti istilah Partangiangan saat ini. Hal tersebut bertujuan agar apa yang dipelihara dapat berkembang dan apa yang dikerjakan dapat berjalan baik.<br />Selanjutnya pada kesempatan ini seorang tua-tua Tampubolon memaparkan hal-hal sebagai berikut : suatu ketika setelah panen, berencana Sibagot ni Pohan bersama adiknya Sipaet Tua, Raja Silahisabungan dan Raja Oloan . Adiknya yang satu lagi Raja Hutalima tidak ikut serta, karena sudah tidak ketahuan rimbanya.<br />Sibagot ni Pohan menyuruh adiknya yang tiga orang untuk mencari tiang borotan dan sanggul borotan ke hutan. Sipaet tua berjalan kearah Timur, sedangkan Raja Silahisabungan dan Raja Oloan berjalan kearah Barat.<br />Setelah ditemukan yang dicari, ditetapkan waktu untuk melaksanakan “Patasimangot”. Anehnya mereka berencana akan tiba ditempat, kalau acara sudah berakhir. Karena sampai hari yang ditetapkan, dimana raja adat dan undangan sudah hadir , ketiga adinya belum tiba. Akhirnya Sibagot ni Pohan menyelenggarakan sendiri acara tersebut.<br />Setelah acara selesai, ketiga adiknya dating. Mereka rebut dengan argumentasi masing-masing, karena Sibagot ni Pohan menyelenggarakan sendiri acara tersebut. Akhirnya mereka berpisah, dan ketiga adinya meminta harta pembagian. Berangkatlah Sipaet Tua kearah Timur sedangkan Raja Silahisabungan dan Raja Oloan kea rah Barat.<br />Ketika terjadi kemarau (haleon) di Balige raja, dimana semua tumbuhan mati, maka mereka meminta petunjuk kepada datu panuturi. Dimintakan bahwa Sibagot ni Pohan harus bertemu dengan ketiga adiknya. Hal ini mustahil dapat dilakukan, karena mereka sudah berpisah dengan perbedaan pendapat.<br />Akhirnya ditemuilah pomparan Silahi Raja (Silalahi) di Samosir untuk dating bersama-sama ke balige. Berangkatlah Siraja Tolping, Bursok Raja dan Siraja Bungabunga dengan menaiki perahu.<br />Dalam perjalanan ditengah laut Siraja Tolping dan Bursok Raja melompat dari perahu. Sehingga yang tinggal Siraja Bungabunga dan langsung di rangkul. Karena memang dia lebih kecil diantara ketiganya. Dibawalah siampudan ini untuk sebuah bukti. Setelah berada di suatu tempat, langit menghitam, hingga mereka tiba di Sonak Malela Balige.<br />Begitu banyak orang yang menantikan kedatagannya . diturunkanlah Siraja bungabunga dari perahu yang disambut dengan antusias banyak orang dengan ucapan oras…Horas…Horas….walau mereka sendiri di guyur hujan. Dibawalah Siraja Bungabunga ke kampong(huta) dan diberkati karena dia pembawa berkat. Berhentilah kemarau di Balige Raja.<br />Sampai tiba waktunya Siraja Bungabunga harus dikembalikan. Tetapi anak Sibagot ni Pohan keberatan. Karena awalnya mereka membawa tiga orang, sedangkan yang tinggal hanya satu orang. Mereka berikir bahwa Siraja Tolping dan Bursok Raja sudah meninggal di tonga tao.<br />Ketika itu Tuan Sihubil belum memiliki anak, padahal adiknya sudah memiliki cucu. Akhirnya Siraja Bungabunga diserahkan kepadanya untuk dijadikan menjadi anaknya . setelah Siraja Bungabunga diain menjadi anaknya, Tuan Sihubil ternyata menjadi memiliki anak. Diapun berkata “bah, nunga apala “tua” ahu hape tubu ma hape tampukni pusu-pusu urat ni ate-ate”, atas dasar inilah dibuat nama anaknya Apala Tua Tampuk Bolon.<br />Setelah Siraja Bungabunga dewasa dia dinikahkan ke boru Pasaribu yang merupakan maen Tuan Sihubil. Diapun membuka kampong (manjae) ditanah Silalahi yang ada di Hinalang.<br />Jadi datanglah Tuan Sihubil, dibawa anaknya Apala Tua Tampuk Bolon dan Siraja Bungabunga, sehingga dibuatkanlah Padan (kesepakatan) Ingkon sisada bulung di anak dohot boru, sisada odung-odung , sisada partinaonan. Imapadantu tu hamu. “Marpadan ma Tampubolon dohot Silalahi,” itulah perjalanan Siraja Bungabunga, hingga dia bisa sampai ke balige.<br />Maka atas dasar ini, kalau ada Tampubolon yang berpesta selalu diberi jambar kepada dongan sapadan Silalahi dan boru Silalahi. Hal ini tidak pernah tidak dipanggil, dalam setiap pelaksanaan pesta adapt Tampubolon.<br /><br />HARUS DI JANGKON<br /><br />Ada sebuah kisah yang terungkap dalam pertemuan tersebut, dulu ompu sumedang menaiki perahu ke Pangururan . Dalam perjalanan mereka berhadapan dengan si tolu butuha (angin kencang, hujan lebat,dan ombak besar) perahu bergoyang-goyang hampir menenggelamkan penumpangnya. Mereka menyatakan, “bah namboru nauli basa, paso hutur-huturmi, mardalan hami saonari,” angin, hujan dan ombak lantas langsung berhenti saat itu.<br />Titah(tona) nenek moyang Tampubolon kepada pomparannya, bahwa mereka harus mendahulukan boru Silalahi dari pada boru Tampubolon. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sisada boru. Sehingga membuat mengingatkan generasi penerus, agar mereka mengetahui tarombo yang sebenarnya antara Tuan Sihubil dengan Siraja Bungabunga Silalahi. Mereka berikrar akan mengingat padan dan berbuat yang terbaik khususnya sesama keturunan Silahi Raja (Silalahi) kepada Tampubolon.<br />Hal ini yang membuat Tampubolon ingat terus. Dan selalu lebih dekat kepada boru Silalahi dari pada boru Tampubolon. Karena sampai korban namborunya siboru Deang Namora Nauli Basa.<br />Diingatkan bahwa padan Tampubolon tidak hanya kepada Siraja Bungabunga, tetapi kepada seluruh marga Silalahi, karena padan ni anggina, nadohot do i padan ni hahana.<br />Pada akhir acara Marudin Silalahi menyampaikan, bahwa pengrusakan tarombo ini semakin nyata sejak terjadi tahun 1968. sekarang pomparan Siraja Bungabunga sudah kembali bertemu, maka Siraja Tolping dan Bursok Raja harus manjangkon(menerima). “jangan hanya bernyanyi Saimulak Sai mulak…tetapi tidak diterima,” Ujarnya.<br />Dikatakannya selama ini Siraja Bungabunga sudah pulang, tetapi selalu di halau ditengah jalan (terkesan dihilangkan) akhirnya harus dicari.<br />Dia juga terlihat semangat berbicara, seperti memiliki energi setelah menerima penjelasan dari Raja Tampubolon. Padahal usianya sudah mencapai 70 tahun. Hal ini timbul, karena dia melihat tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka pomparan Silahi Raja (Silalahi) “diboto hamu do umbahen na semangat ahu, ai hamu do ahu, ahu do hamu,” katanya sambil bercanda.<br />Acarapun berakhir setelah ditutup dengan doa oleh haha doli Tampubolon.<br />DNTPartogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-74448111283397207952010-11-25T11:28:00.005+07:002010-12-02T16:26:37.459+07:00PENJELASAN SIRAJA PARMAHAN SILALAHI TENTANG SIAPA DIRINYA.<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYIpy4zwIWQYgopGWGls7Q_0TfqFkoKGb1c7KMauCC6c766CdsED85sYFjZwTt8UcZZaxK_O_nHW9NiN8enRQO0SipbxNWBYk3d8QVG7PlDnzYN_endAAx6mADe0v8-rhbOc1LMLbxQSzN/s1600/majalah+DNT.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYIpy4zwIWQYgopGWGls7Q_0TfqFkoKGb1c7KMauCC6c766CdsED85sYFjZwTt8UcZZaxK_O_nHW9NiN8enRQO0SipbxNWBYk3d8QVG7PlDnzYN_endAAx6mADe0v8-rhbOc1LMLbxQSzN/s320/majalah+DNT.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5543339868478804514" /></a><br /><br /><br /><br />Laporan Utama Majalah DALIHAN NA TOLU<br />EDISI 42<br />Terbitan November 2010<br /><br />Raja Silahisabungan<br />Siraja Bungabunga Silalahi<br />(Silalahi Raja Parmahan)<br /><br /><br />“SUATU UPAYA PELURUSAN TAROMBO”<br /><br />Setiap manusia selalu berusaha menemukan asal usulnya melalui pengurutan silsilah atau tarombo dari nenek moyang. Ada kalanya sisilah tersebut salah dalam pengurutannya ,sehingga perlu diluruskan demi mencari kebenaran sejati.<br />Hati setiap manusia khususnya etnis Batak yang memiliki marga akan selalu galau, tatkala dia tidak menemukan silsilah yang merupakan garis keturunan yang sebenarnya. Untuk itu diapun rela menelusuri ke Bona Pasogit dengan mencari berbagai sumber dari para orangtua yang sudah berusia lanjut dan dari berbagai pertanda lainnya.<br />Hal inilah yang terjadi pada keturunan Siraja Bungabunga dalam marga Silalahi. Keturunan ini sebenarnya bukan hilang, tetapi terkesan “dihilangkan” dari silsilah Raja Silahisabungan.<br />Silahisabungan mempunyai 3 (tiga) istri. Istri pertama bernama Pinta Haomasan boru Baso Nabolon yang mempunyai anak bernama Silahiraja (Silalahi). Silahiraja (Silalahi) menikah dengan boru tulangnya Simbolon dan mempunyai 3 (tiga) anak yaitu Siraja Tolping Silalahi, Sibursok Raja Silalahi Dan Siraja Bungabunga Silalahi.<br />Istri kedua bernama Pinggan Matio boru Padang Batanghari mempunyai 7(tujuh) anak bernama Sihaloho, Situngkir, Sondiraja, Sidabutar, Sidabariba, Sidebang, dan Pintu Batu.<br />Istri ketiga bernama Si Miligiling boru Raja Mangarerak mempunyai seorang anak bernama Siraja Tambun.<br />Pada pertemuan dengan Parningotan Silalahi dan Zubaidah boru Silalahi yang berasal dari Silalahi Dolok, Balige, dijelaskan bahwa ada kekuatan atau upaya untuk merubah silsilah, sehingga Siraja Bungabunga yang dikenal sebagai Silalahi Raja Parmahan menjadi Ruma Bungabunga.<br />Menurut Parningotan Silalahi dan Zubaidah boru Silalahi, sebutan Raja Parmahan adalah gelar yang diberikan kepada Siraja Bungabunga , karena riwayatnya dimana dia diculik dari parmahanan di Tolping oleh Tuan Sihubil, yang selanjutnya diangkat oleh Tuan Sihubil menjadi anaknya dan di “ikrar” kan (marpadan dengan Sapala Tua Tampuk Nabolon) dimana Raja Bungabunga Silalahi menjadi adik dari Tampubolon. Padan Siraja Bungabunga dengan Tampubolon adalah menjadi padan juga bagi kedua abangnya Siraja Tolping dan Bursok Raja.<br />Silahisabungan juga mempunyai tujuh keturunan dari istri kedua yaitu Pingganmatio boru Padang batanghari bernama Sihaloho, Situngkir, Sondi Raja, Sidabutar, Sidabariba, Sidebang, dan Pintu batu. Dalam kehidupan keseharian ketujuh marga ini banyak yang mengaku marga Silalahi.<br />Satu hal yang diungkapkannya, bahwa Tuan Sorbadijulu mempunyai putri Pinta Haomasan (Boru Baso Nabolon) merupakan istri Raja Silahisabungan yang melahirkan Silahiraja . Pinta Haomasan sendiri memiliki 4 (empat) saudara laki-laki yakni Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Sehingga Silalahi sudah dijunjung baringin na dalam arti jelas Tulangnya dan asal usulnya.<br /><br />KEHILANGAN JATIDIRI<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDEFSqiwcaVYo8JP-yqt1Z8-OGcuFcIwEWwuMzEixUQYi9QIqGD_lRIpPkcO3eHFOGIrOvQd2637qgk93oGJV5MlUblV2L6zlDQ9386dsZON0SDx9_3XdiIcHGbe7OV3eBNRciyIoW88qi/s1600/Cover+Majalah+DNT.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 234px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDEFSqiwcaVYo8JP-yqt1Z8-OGcuFcIwEWwuMzEixUQYi9QIqGD_lRIpPkcO3eHFOGIrOvQd2637qgk93oGJV5MlUblV2L6zlDQ9386dsZON0SDx9_3XdiIcHGbe7OV3eBNRciyIoW88qi/s320/Cover+Majalah+DNT.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5543339874544821026" /></a><br /><br /><br />Menurut Parningotan Silalahi eksistensi Silalahi adalah sangat jelas. Hal ini terlihat dari pernyataan marga Simbolon yang menyatakan bahwa Silahiraja (Silalahi) adalah boru Sihabolonan bagi mereka.<br />Demikian juga Siraja Tambun yang adalah anggi doli Silahiraja yang sapanarusan, sehingga dalam keseharian berlaku ungkapan “Haha doli Silalahi, anggi doli Siraja Tambun”<br />Begitu juga Tampubolon selalu teguh menyatakan bahwa Silalahi adalah “anggi doli” nya yang dinyatakan melalui suatu ikrar (padan). Sehingga sampai saat ini tidak ada (tabu) marga Silalahi yang menikah dengan Tampubolon dan sebaliknya.<br />Parningotan Silalahi menyatakan dengan tegas bahwa Siraja Bungabunga adalah anak dari Silahiraja (Silalahi). Pernyataan ini sekaligus menekankan bahwa sesungguhnya Siraja Bungabunga di Silalahi Dolok, Balige bukanlah anak Sondi Raja, tetapi anak dari Silahiraja atau Silalahi.<br />Parningotan Silalahi merasa aneh karena melihat kenyataan, bahwa sebagian keturunan Siraja Bungabunga yang sudah terlanjur percaya kalau mereka adalah anak Sondi Raja yang selanjutnya menyebut dirinya sebagai Ruma Bungabunga.<br />Setelah ditanyakan apa kira kira penyebabnya yang membuat Siraja Bungabunga yang menjadi kehilangan jati diri bagi keturunannya, Zubaidah boru Silalahi bercerita panjang lebar.<br />Dikatakan pada awalnya keturunan Siraja Bungabunga tidak setuju kalau mereka keturunan Sondi Raja. Hal ini terkait dengan kondisi masyarakat pada waktu itu. Dimana ada orang yang pintar dan tidak pintar. Orang yang pintar dikatakannya , pandai merekayasa karena saat itu ada yang menjadi politikus.<br />Tarombo keturunan Siraja Bungabunga di Silalahi Dolok di perkarakan di Pengadilan Negeri Balige, karena ada keturunan yang masuk ke Silalahi Dolok. Maka nenek moyangnya di Lumban Tonga-tonga diberikan satu tempat yang dinamai “Bagas Huta” <br />Ketika dating ke Silalahi Dolok dan menjadi Pegawai Kantor Pengadilan, keturunan Ompu Runggu tersebut tinggal di Kampung Silalahi Dolok. Pada saat itu hubungan kekeluargaan masih seputar sebutan b erkisar antara abang, anggi atau ompung.<br />Kepintarannya mampu merekayasa suatu permasalahan kepada abangnya par Silalahi Dolok, melalui mekanisme peradilan yang diperkarakan dipengadilan Negeri Balige sekitar thn 1943. pada saat itu orang yang sudah lanjut usia dan buta huruf dipanggil sebagai saksi di pengadilan . dan pada waktu Hakim menanyakan pada mereka, “Apakah ada anak dari Silahisabungan yang bermarga Sihaloho?” dijawab bahwa benar ada.<br />Tetapi yang dimaksudkan dalam hal ini, bahwa Sihaloho tidak masuk dalam tarombo Siraja Bungabunga. Setelah perkara itu dibuat oleh Kopral Silalahi, maka semua keturunan Siraja Bungabunga menjadi gelisah . mereka para keturunannya dibuat menjadi seolah-olah dari Sondi Raja.<br />Namun sejujurnya hati nurani para orangtua dan keturunan Siraja Bungabunga lainnya menjadi gusar dan tidak dapat menerima. Dan hingga saat ini , mereka tetap merasakan sakit hati. Mereka mengaku lemah dan tidak mampu menantang, serta merasa prihatin tidak ada pihak yang membelanya.<br />Siraja Bungabunga dibuat menjadi keturunan si pitu turpuk yaitu dari Sondi Raja. Sedangkan anak dari Sondi Raja adalah Rumasondi dan Rumasingap. Sehingga dengan demikian mereka membuat Raja Bungabunga menjadi keturunan Ruma Sondi.<br />“Inilah yang membuat secara turun temurun seolah Siraja Bungabunga anak Sondi raja, padahal sejatinya Siraja Bungabunga adalah anak Silahiraja atau Silalahi. Sehingga perlu diluruskan, supaya generasi mendatang tidak semakin salah dalam permasalahan tarombo atau silsilah ini”. Seru Zubaidah boru Silalahi.<br /><br />ARGUMENTASI KEYAKINAN<br />Siraja Bungabunga yang sebenarnya merupakan anak dari Silahiraja atau Silalahi memiliki 2(dua) orang abang yakni Siraja Tolping dan Bursok Raja.<br />Ketika ditanyakan hal apa yang dapat meyakinkan keturunan Raja Silahisabungan bahwa Siraja Bungabunga merupakan anak Silahi Raja atau Silalahi, Parningotan Silalahi memberikan beberapa argumentasi.<br />Dikatakannya dirinya marga Silalahi, sedangkan keturunan Sondi raja itu harusnya memakai marga Sondi Raja bukan Silalahi, karena nama ompunglah yang harus menjadi marga keturunannya . “Misalnya Silalahi menjadi marga keturunan Silalahi, bukan Sihaloho menjadi marga Silalahi,” seru Parningotan Silalahi.<br />Menurut si pitu turpuk, Silalahi Raja bukanlah keturunan Raja Silahisabungan. Pertanyaan, “ Kenapa ada marga Silalahi?” Marga Silalahi adalah marga yang disandang oleh anak Silahisabungan yang bernama Silahiraja dan keturunannya.<br />Argumentasi berikut dikatakannya apa yang tertera di Tambak Raja Silahisabungan di Dolok Paromasan, Pangururan Kabupaten Samosir, dengan jelas tertera Silahiraja merupakan anak dari Raja Silahisabungan.<br />Untuk itulah keturunan Siraja Bungabunga mempercayai dan meyakini cerita nenek moyang, karena pada Tambak Raja Silahisabungan tertera bahwa Silahiraja adalah keturunannya dan Silahiraja (Silalahi) mempunyai tiga orang anak yaitu Siraja Tolping, Bursok Raja dan Siraja Bungabunga.<br /><br />HIMBAUAN<br />Dengan suara yang sedkit merendah dan penuh haru, Parningotan Silalahi pada kesempatan itu menghimbau , agar keturunan Raja Silahisabungan dapat meluruskan silsilah tersebut dengan menerima berbagai argumentasi yang disampaikannya.<br />Kami berharap agar keturunan Raja Silahisabungan dimanapun berada dapat menerima kami keturunan Siraja Bungabunga. Bahwa kami adalah keturunan Silahiraja dengan marga Silalahi, dan bukan keturunan Sondi Raja, ujarnya dengan sedikit linangan air mata.<br />Dia juga menghimbau keturunan Siraja Bungabunga yang ada di Balige dan dimanapun dibelahan bumi ini, agar membuka hati nurani dengan meyakini bahwa mereka adalah keturunan Silahiraja yang memiliki dua abang Siraja Tolping dan Bursok Raja.<br /><br />Mari saudara-saudaraku, supaya kembali kepada Silsilah yang sebenarnya. Biarlah kita yang selama ini terkesan sebagai anak hilang , sudah kembali ke jati diri dengan silsilah yang sebenarnya. Yakinilah bukti-bukti ini, bahwa Siraja Bungabunga merupakan keturunan Silahiraja bukan Sondi Raja, ajak Parningotan Silalahi kepada seluruh keturunan Siraja Bungabunga.<br />Berulang-ulang dia mengatakan dengan sikap memohon, agar keturunan ompu-ompu lain dalam marga Silalahi dapat menerima keberadaan mereka. Sembari dia memanjatkan doanya, agar seluruh keturunan Raja Silahisabungan selalu di lindungi dan diberkati Tuhan dengan berbagai limpahan demi kenajuan dalam hidup.<br /><br />DNT.Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com74tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-22585751470920346542010-10-15T11:55:00.014+07:002010-11-25T11:38:32.689+07:00Kumpulan Samosir Jaman Dulu<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4mUPc82NjyCaMG5z_-2gQUO1BMyKVt0d1r5a2ejKCStWFsrVmC18YfcXQJF9IMlDdqmNfxj75tIQskj7z92ilMQ8f3WpoCF99au4pcmzbOcOnFc_UkXpP2PuZeLdGUvbQRsFvoNcwxgoC/s1600/tanoponggol.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 226px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4mUPc82NjyCaMG5z_-2gQUO1BMyKVt0d1r5a2ejKCStWFsrVmC18YfcXQJF9IMlDdqmNfxj75tIQskj7z92ilMQ8f3WpoCF99au4pcmzbOcOnFc_UkXpP2PuZeLdGUvbQRsFvoNcwxgoC/s320/tanoponggol.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528145088844408450" /></a><br />Tano Ponggol Pangururan<br />DescriptionBrug over een kanaal bij Pangoeroeran}1900-1926 <br /><br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiESmfTSZh7CI0qImWs6tiB6_yBPxUkz2H_vuAE1CulRpx95gIsRKrqYB7S7aEOib6zvlTphikPQGrN_YE7yCvwvtiMrHUcH7YQcBuTYmm98BsdFPCFPvkhwbu2L7SSWPS06IPqgDWcahG/s1600/jadul+Batak.bmp"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 223px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiESmfTSZh7CI0qImWs6tiB6_yBPxUkz2H_vuAE1CulRpx95gIsRKrqYB7S7aEOib6zvlTphikPQGrN_YE7yCvwvtiMrHUcH7YQcBuTYmm98BsdFPCFPvkhwbu2L7SSWPS06IPqgDWcahG/s320/jadul+Batak.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528144646778434306" /></a><br />Hari Ratu<br />description Koninginnedagviering door kinderen van het zendingsstation te Parmonangan, Samosir, Sumatra.}} |date=1937 <br />Perayaan hari ratu 31 Agustus waktu itu oleh anak2 dari pos zending di Parmonangan, Samosir, Sumatra. 1937<br /><br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk91qGm9UQrUlE1IWizzdx7Et9B7CmFux7jz71HvfnHo91fKeG21I9F_J2OHCV57wJ7jZu0dI2k84Gf48ZrcNWGgOSMRlWyNl5UIa3J1KLcha_nAo3xKdI8rs4IjVrKk1s3LMpE-2swTqG/s1600/Parbaringin.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 249px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk91qGm9UQrUlE1IWizzdx7Et9B7CmFux7jz71HvfnHo91fKeG21I9F_J2OHCV57wJ7jZu0dI2k84Gf48ZrcNWGgOSMRlWyNl5UIa3J1KLcha_nAo3xKdI8rs4IjVrKk1s3LMpE-2swTqG/s320/Parbaringin.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528144044214307778" /></a><br />Description <br />COLLECTIE TROPENMUSEUM Rauwe rijst wordt verdeeld door Barbaringins die de gunstigste dag vaststellen voor de sawahbewerking Samosir <br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnhpuSou4AQ_7SkH9BJ-xnJUFABG85OeBhxHsMTwxHupwti2WWbRqLCJxOrnTAFkKEAItgZE4qNrALnTqGqWNq-6g5ntw8Nts7dbLxqkpqcQGofodXu-k85yalImKnaIuFryIYhgNhHex9/s1600/nainggolan+Samosir.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 242px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnhpuSou4AQ_7SkH9BJ-xnJUFABG85OeBhxHsMTwxHupwti2WWbRqLCJxOrnTAFkKEAItgZE4qNrALnTqGqWNq-6g5ntw8Nts7dbLxqkpqcQGofodXu-k85yalImKnaIuFryIYhgNhHex9/s320/Nainggolan+Samosir.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528143508413790914" /></a><br />Onan di Nainggolan<br />Description <br />COLLECTIE TROPENMUSEUM Kleine dagelijkse ochtendmarkt op het strand van Nainggolan Samosir Sumatra <br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRxaKHWwrRc2DD26GIrRX9HIXIWjQIEVWrAXZuP0VpSjcwGy5GWusAnS2-0RRAO17ZJZMs-DP-d2zcwLZCEUXQmeDHyVJI0BU3P5pMCGtFok5ykJK4Yg_S4hoQul09_VzPUY_a8UJk3LNd/s1600/martulak-tulak.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRxaKHWwrRc2DD26GIrRX9HIXIWjQIEVWrAXZuP0VpSjcwGy5GWusAnS2-0RRAO17ZJZMs-DP-d2zcwLZCEUXQmeDHyVJI0BU3P5pMCGtFok5ykJK4Yg_S4hoQul09_VzPUY_a8UJk3LNd/s320/martulak-tulak.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528143013347573522" /></a><br />Description <br />COLLECTIE TROPENMUSEUM 'Martulaktulak' een plechtigheid na beëndiging van de sawahbewerking Samosir.<br />Bahasa Indonesia: Negatif. 'Martulaktulak, suatu upacara wajib setelah penggarapan sawah, Samosir<br /><br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiN3xzmOM-ycPS5LtF3GL8oj6cMr8OnQINJvT2Py68f7tkg_Ee54e6YzsgoUkjjYgNXfLuQOAtcsxgMLsiZKfcm2hGXc72XWVxb_DigWbRe_i5xvp8IbDyJOlK0J7Jw4tDC6Nul2fFcuJQp/s1600/jadul+3.bmp"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 253px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiN3xzmOM-ycPS5LtF3GL8oj6cMr8OnQINJvT2Py68f7tkg_Ee54e6YzsgoUkjjYgNXfLuQOAtcsxgMLsiZKfcm2hGXc72XWVxb_DigWbRe_i5xvp8IbDyJOlK0J7Jw4tDC6Nul2fFcuJQp/s320/jadul+3.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528142302785591362" /></a><br />Mangaliat Horbo<br />Description <br />COLLECTIE TROPENMUSEUM Groep mannen vecht om een koe TMnr 10004806.jpg<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNtKqdeSsdYkbTa-49ohJ3093leBmfD_vG7LugBbIJfH2vuP94PRrvAunrGEx42CdtBxALJeRrPa-fluCpfKzfmNZUwkx7sXsmt3qtm35O-XeY9m89Onuw9tX7MU9vjFlRb7GQgmJBsWlt/s1600/jadul+batak+2.bmp"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 242px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNtKqdeSsdYkbTa-49ohJ3093leBmfD_vG7LugBbIJfH2vuP94PRrvAunrGEx42CdtBxALJeRrPa-fluCpfKzfmNZUwkx7sXsmt3qtm35O-XeY9m89Onuw9tX7MU9vjFlRb7GQgmJBsWlt/s320/jadul+batak+2.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528141162498026066" /></a><br />Gondang Mula-mula<br />Description <br />COLLECTIE TROPENMUSEUM Vrouwen dansen onder begeleiding van een orkest op een dorpsplein.<br /><br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiAAGGu_8TRGqtRElO9DiKhmybtw11QaKjDD-zCqXvbg6A1FgRH-BR7JsPyz9i9xmZ60P0Rb4pbtcVq-d6_qTkAkS5rvU4Vh5OcjLVbZ3euHQ5dfjjcFszx55AqDe3liNlk3Gtkcwpl6Tjj/s1600/Huta+Tinggi.bmp+1.bmp"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 246px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiAAGGu_8TRGqtRElO9DiKhmybtw11QaKjDD-zCqXvbg6A1FgRH-BR7JsPyz9i9xmZ60P0Rb4pbtcVq-d6_qTkAkS5rvU4Vh5OcjLVbZ3euHQ5dfjjcFszx55AqDe3liNlk3Gtkcwpl6Tjj/s320/Huta+Tinggi.bmp+1.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528140533792764226" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVqfa-xVYgad2skFx01p42MhkuF7NAqScN33oXMPHEPuxMY8rS8RpAsvHL52_abu-RyfOnn-lRlXFbZCDswx_-QbCbMXWnr4KmOSJ6faN4S0lfoGVm3JU0pdCjQdhoRWuHqpW4L8oR3QF1/s1600/Huta+Tinggi.bmp"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 243px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVqfa-xVYgad2skFx01p42MhkuF7NAqScN33oXMPHEPuxMY8rS8RpAsvHL52_abu-RyfOnn-lRlXFbZCDswx_-QbCbMXWnr4KmOSJ6faN4S0lfoGVm3JU0pdCjQdhoRWuHqpW4L8oR3QF1/s320/Huta+Tinggi.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528139475609072578" /></a>Membuat hudon<br />Description <br />COLLECTIE TROPENMUSEUM Klei kneden en vormen van potten Kampong Tinggi (Huta Tinggi) Samosir Pangoeroeran TMnr 10014159.jpg<br />English: Moulding caly for Pottery making by Batak women from Tinggi near Panguruan, Samosir<br />1900-1925<br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVP3NKTjJ62WAQxi45AVPtnj6heSS9fpbNZFgxtPUsCOlRE-7bPmh8FZF4g2ChikDNnFrQ_ElOMEXa220aCsxiPlwRpZC-mIGY4pSFLnznE0V21jkJM044X_HijxkaO51ariutd5QPqWzs/s1600/Huta+Raja+lbn+Suhi-suhi.bmp"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 230px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVP3NKTjJ62WAQxi45AVPtnj6heSS9fpbNZFgxtPUsCOlRE-7bPmh8FZF4g2ChikDNnFrQ_ElOMEXa220aCsxiPlwRpZC-mIGY4pSFLnznE0V21jkJM044X_HijxkaO51ariutd5QPqWzs/s320/Huta+Raja+lbn+Suhi-suhi.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528137820488114402" /></a><br /><br /><br /><br />Huta Raja Lbn Suhi-suhi<br />Description <br />COLLECTIE TROPENMUSEUM Toba Batak dorpsgezicht met sarcofaag Hoetaradja.<br />English: Toba Batak village view with sarcophagus, Hutaraja<br />Date 1910-1925<br /><br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge6gYUvTb9oEhvJmPcV7V5M4aLUSnKDZCs4rZxGMTLpPwejcR5g1tHWU-C-B1bryOBKHGdPbQayDZREdF_siL7xJ2vmkow_sJFrumeQFb_dq8awoBYYmhzflo4IcOZEyj7yLs9ToZH2EVu/s1600/kepala+nagari.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 239px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge6gYUvTb9oEhvJmPcV7V5M4aLUSnKDZCs4rZxGMTLpPwejcR5g1tHWU-C-B1bryOBKHGdPbQayDZREdF_siL7xJ2vmkow_sJFrumeQFb_dq8awoBYYmhzflo4IcOZEyj7yLs9ToZH2EVu/s320/kepala+nagari.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528136665815665042" /></a><br />Description <br />COLLECTIE TROPENMUSEUM Kepala Negri (dorpshoofd) van Radja in oud-Batakse kleding West-Samosir Noord-Sumatra.<br />English: A kepala negri (a local headsman) from Samosir, Toba-Batak Sumatra.<br />Date 1915-1920<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgndedONGpdkuXfG2WbMayaHCfy1Oouu3TcIksvvd8DCmmoKzfKzjBZFATqJM7lHBdLM5j8Qd7_pcF1Ph6HWRmvrApK3I1mw5XgQyjEaQgvoO_XJRVpbdLzUCAZJP2wZmCa-XX0cW6S-Yts/s1600/pantai+samosir.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 247px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgndedONGpdkuXfG2WbMayaHCfy1Oouu3TcIksvvd8DCmmoKzfKzjBZFATqJM7lHBdLM5j8Qd7_pcF1Ph6HWRmvrApK3I1mw5XgQyjEaQgvoO_XJRVpbdLzUCAZJP2wZmCa-XX0cW6S-Yts/s320/pantai+samosir.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5528135670755815554" /></a><br />Pantai Samosir<br />Description <br />COLLECTIE TROPENMUSEUM Soekean man aangehouden door een controleur tot onderzoek op het smokkelen van rijst.Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-10123505499839427612009-12-01T11:31:00.002+07:002009-12-01T11:41:54.348+07:00FILE KEBERADAAN TAMBAK RAJA SILAHISABUNGANTONA NI ANGKA OMPUNTA NA PARJOLO I, <br />SITONGKA HALUPAHONONTON.-<br />-------------------------------------------------------------------------------------------------------<br /><br />Parhorasan ma dihita sude !<br />Hamu sude akka napinarsangapan pinompar ni ompunta Raja Silahisabungan disandok ingananna be.-<br />Dison pinatorang taringot tu inganan “ Tambak” ni Ompunta Raja Silahisabungan, na pinatolhas ni angka amanta dohot ompungta naung parjolo i, songoni muse sian angka surat parningotan catatan sian notes ni ompunta na jadi fakta (bukti2). Jadi sude na tarsurat on, ndada na ni karang-karang, manang asal sesuai tu maksud ni roha sambing. Sitongka do situbuan na so adong, jadihonon na so adong. Nasintong do tona honon.<br />Husurat hami hatorangan on , ima mangoloi/manggohi pangidoan ni pomparan ni ompunta na di Jakarta, ima di “parpunguanni angka anggota presidium ni Pomparan ni Raja Silahisabungan”, na di patupa tanggal 14 Agustus 1978, di bagas ni amanta Brigadir Jenderal ARIFIN TAMBUNAN SH. Jalan Kwitang Timur No. 2 Jakarta.<br />Di pertemuan i rodo sungkun-sungkun ni donganta na di Jakarta songon on : “ Beha tahe bapa, bolus do paboaon muna tu hami fakta2 na di dolok Parmasan do tambak ni Ompunta Raja Silahisabungan”?<br />Ni alusan ma : “Mauliate ma hudok tu hamu, ala di sungkun hamu faktana, taringot tu Tambak ni Ompunta Raja Silahisabungan; jadi hata honon ma tu hamu di loloan on, nabinoto sian angka tona ni natua-tua na parjolo i, dohot sian angka catatan di notes nasida naung sahat tu iba”. Ninna St. Richard Tambunan gelar ompu Tumpal, mangalusi.-<br />Jadi di bagasan roha natoruk, hata honon ma tu hamu na dapot iba fakta paboa na di Dolok Parmasan Pangururan Samosir do tambak ni Ompunta Raja Silahisabungan.-<br />Di taon 1896, karejo do Raja Frederik Tambunan di kantor ni Controleur Van Samosir di Pangururan, jala ia ompungon, ima sian huta Parbagasan Lumban Pea. Natoras ni Patuan Sada Tambunan na hinan. Di taon 1917 monang verkising do ompungon di Lumban Pea, gabe Kepala Kampung di Huta Parbagasan.-<br />Di Pangururan, godang do Raja Frederik on marhubungan dohot angka Raja2 Ihutan, Raja Padua dohot panungganei ni Pulo Samosir, sian Silalahi nabolak, Paropo d.n.a. Ala sai ro do angka Raja2 i tu kantor ni Controleur, partoru mai sahali saminggu di ari onan na i toho.-<br />Apala ale-ale ni Raja Frederik on, na intiem i ma Raja Ihutan Ompu Raja Hennes, na sian Silalahi nabolak, dohot Raja II Salomo. Alana Tarombo ni si Tuan Silahisabungan na pi natorang ni Raja Ihutan on, tar catat do di notes ni Raja Frederik na tartanggal 16-12-1896.-<br />Di taon 1898, Borhat ma 3 (tolu) solu bolon sian angka tunggane pinompar ni Tambun Holing, ima sian pinompar ni Datu Gontam, Parsingate, Puraja Baruara, Patuan Pagaraji, Puraja Ujung Sunge . Borhat tu Pangururan, lao tu Dolok Parmasan, ziarah / mangebati tambak ni Ompunta Raja Silahisabungan, ima dung tangkas diboto nasida disi tambak ni ompunta na sangap parsadaan ompu pamopar di hita,-<br />Di taon 1908, rodo pinomparni Tambun Marbun laho mamereng natorasna di hutagalom (tidak terbaca), gabe habornginan di Lumpan Pea. Jadi marborngin ma tu jabu rura na umbalga di Lumban Tonga2, di jabu ni Ompu si Gansi (tulisan nama agak kabur).<br />Di dok tamuena ima tu ompu Si Gansi: Hahang-doli! Bolas do hami di jabumuna on marborngin? Na ha bornginan do hami lao tu hutagalom(tidak terbaca), marnida inanta disi”!<br />Alus ni O. si Gansi : “Ba hea do so bolas”! Jala diigil roha do asa patorangon muna jolo, boasa pintor hahangdolimuna ahu”?<br />Di patorang tamuena I ma : “ Hami na pinompar ni Tambun Marbun, anggini Tambun Mulia, na bungkas sian tano Sibisa borngin-borngin. Marsipaboa tu anakhonna be do barita nami, ima barita ni Tambun Marbun na lintun sian tano Sibisa.-<br /><br />Ditingki marsahit Ompunta Siraja Tambun, di jou ma angka anakna, ima: Tambun Mulia, Tambun Saribu dohot Tambun Marbun. Di dokma tu angka ankna i : molo mate ahu alani sahit hon, ba ingkon peakhononmuna do bangkengku tu Dolok Parmasan tu lambung ni damang Silahisabungan. Jala ingkon janjihonon muna do i begeonhu asa sonang rohangku”.-<br />Jadi sude nasida manguarihon(sulit terbaca) jala mangundukhon, molo tung so tarbaen disi matua amanta-nasida i di bandahon tu Dolok Parmasan, ba ianggo saring-saring na ingkon boanon nasida do tu lambung ni Ompungnasida di Dolok Parmasan.-<br />Matema Siraja Tambun, jala dibandahon di tano Sibisa, Alana dang tarpatupa nasida biaya mamboan tu Samosir (Dolok Parmasan).-<br />Dung manang piga2 taon, sai dipangido Tambun Marbun ma tu hahana i asa diboan nasida saring-saring ni amanasida i tu lambung ni ompung nasida di Dolok Parmasan, alai didok angka hahana i ma mangalusi: dang bolas da anggia songon na mangkali hirik mangongkal holi-holi ni natua-tua, ingkon pantomon do horbo, jouon raja2 ni bius, paluon ogung sabangunan. Jadi jolo martumburma dabu-dabunta asa bolas ta patupa tona ni amanta i”.-<br />Manang piga-piga hali didok Tambun Marbun asa dipasaut nasida tona ni natoras nasida i, naung di uarion di tingki ngolu ni Siraja Tambun, alai sai songoni do alusni hahana i . pola didok mangalusi angka hahana i : “ ba tumagon do bius jouon sian hata ni amaniba oloan? Ba tadok hian ma nian tu amanta tingki di ngoluna, jolo mamora ma hami, asa huoloi hami hatami “! Hape so adong hatanta mandok songoni. Ia tung matua tano on do so adong horbo, so adong ogung, ba dang saut be tona ni ama niba naung diundukhon i patupaon?.-<br />Dang adong be hasonangan di rohani Tambun Marbun,. Putus ma dirohana ingkon gabe lao ma ibana sian Sibisa, jala angka turunanna laho ma deba tu dolok sanggul gabe marmargahon “Marbun” manang na gabe marsada marga dohot marga Marbun, asa bolas martano disi. Alai nahira sude do pinompar ni Tambun Marbun umboto tarombona naturunan ni Raja Silahisabungan nasian Siraja Tambun , denggan ma mulak manuk tu nunutna (tulisan samar).-<br />on ma di baritahon pinomparni Tambun Marbun naung mar-margahon Marbun sian bakkara.-<br />Laos borngin panghataion nasida i , tiur haroan ni inanta boru Sibarani ni alap ni ompu si Gansi parjabu i, na sorang i baoa.-<br /><br />Didok tamuenaima tu Ompu ni si gansi : Boha hahang! Ala nunga asi rohani Debata Mulajadi di hita toho ro iba anggi dolim tu jabu mon, tubu anakta si ussok, sai simbur-simbur magodang ma ibana tu jolo on,………………..(tidak terbaca) . adong pangidoanhu tu ho hahang dohot tu angkang boru! Asa nai ingotonmu adong anggi-dolim na lilu, ima hami pinompar ni Tambun Marbun, ba bahen ma goar ni anakta na baru sorang on si “Marbun” . Molo di jou hamu goarna i, nai ingot hamu ma hami pinomparni Tambun Marbun ba bahen ma goar ni anakta na baru sorang on, si “Marbun”.-<br />Alus ni ompungni si Gansi! “ Ba denggan anggia, asa gabe parningotan tutu di hami hahamuna, si Marbun ma goarni anakta i. sai horas ma ibana mamboan goarna i”. Ianggo na hinan, sai di bahen natorasna do margoar marsarat gellengna, molo toho adong na porlu ingoton ditingki parsorang ni na sorang i.-<br />Jadi saut ma si Marbun goar ni anak ni ompu si Gansi, jala dina tardidi di tambai ma goarna tardidi : “ Marbun Samuel”<br />Gabe halak na sangap jala marhuaso do muse amanta on, Si Marbun Samuel Tambunan on ma na gabe KETUA DEWAN ni sude Nagari Tambunan Tapanuli Utara. Jala sahat tu tingki on (9 November 1978) mangolu dope amanta on. Amanta Marbun Samuel Tambunan on do ketua Panitia Besar Panjaloon di haroro ni hahadoli di taon 1964. Sai anggiat ma saur matua jala hipas2 amanta Marbun Samuel Tambunan on tu joloan on. Si torop ginompar angka na burju roha, na ingot di tona, adapt dohot uhum.<br /><br />Haroro ni anggi doli sian pinompar ni Tambun Marbun tu jabu ni Ompu si Gansi sai di paboa do i tu angka natua-tua dongan na mangkatai, jala borat do di pingkiri natua-tua i, beha dalan laho paandarhon (sulit terbaca) jala paulakhon (parasmihon mulak) dongan tubunta on, ia so marhite sian na papestahon tambak ni ompunta di dolok Parmasan.-<br /><br />Marudut ma muse disiala i di taon 1928, lao do angka panungganei ni Lumpan Pea tu Dolok Parmasan, masihol naeng ma mereng Tambak ni Ompuntai, alai dang pola sian rapot halalao nasida i, jala dang pola, mambahen acara nabalga, holan martangiang sambing do nasida di Tambak i (upacara na met-met).<br /><br />Di taon 1936, jolo marrapot ma muse sude panungganei di ginompar ni Siraja Tambun na ni ketua-an ni Raja ALEXANDER TAMBUNAN asa lao angka panungganei ni donganan ni musik sarune, ………..(Tidak terbaca) Tambunan, laho mangirihit Tambak ni Ompunta Raja Silahisabungan di Dolok Parmasan. Di toho i do borhat manogot ni ari Minggu, asa jolo marminggu di Pangururan. Jadi tung songon Pesta Bolon do di Pangururan di ari i, Alana di luluhon musik do sude parminggu i, dohot angka na ro mar minggu hian, laos marnatampak do mangihuthon rombongan i tu dolok Parmasan. Sian tot ni dolok Parmasan i sude mamboan sada be batuna tarboansa be, dohot rihit sian sunge na metmet na di toru ni dolok i . musiki na ni uluhon ni Guru Adian Silalahi, di tingki i guru di Tambunan. Parpudi pindah tu Jakarta do amanta on.<br />Sude ma rombongan i, mangirihit, paiashon tambak ni Ompunta Raja Silahisabungan, jala di panpeakkon be ma batu hu maliang tambak i, ipe asa di mulai acara mangirihiti tambak..-<br />Mandok hata parjolo sian Tambunan ima Raja Alexander Tambunan, paboahon maksud apala parjolo dohot tujuan haroro nasida lao mangirihit tambak ni Ompunta Raja Silahisabungan, dungi mandok hata sian mar ompu-ompu jala mar-marga2 pomparan ni Raja Silahisabungan, mandok hata boru, i ma guru Henderik Siagian sian Lumban Gaol, raja no ro di tingki i. Jala paampuhon ma hula-hula ginompar ni Raja Naiambaton, paampuhon tu Tambunan. Mulak ma sude rombongan i, tu huta Silalahi di Pangururan marsipanganon. Mardalan do angka jambar na margoar di tingki i.-<br /><br />Di taon 1947, tingki martiga-tiga Abdul Malik Tambunan (amanta on margoar do Ompu si Anjur) tu Pangururan dohot tu Panomboan. Marsihohot do rohana, jala masihol situtu do ibana naeng ma mereng tambak ni Raja i Silahisabungan di Dolok Parmasan. Ala so dohot ibana na di taon 1936 tu dolok Parmasan mangirihiti. Didokhon ma hahadoli Silalahi sian huta Silalahi Pangururan patudu hon Tambak i : “ Tung patuduhon jolo hahang doli Tambak ni ompuntai asa sian tala na di lambungna i ahu mambuat air sombahyang, jala ingin au sembahyang……….(tdk terbaca) di tambak i.-<br /><br />Nunga diboto Ompu si Anjur hian na adong tala di lambung ni tambak i (mangihuthon pinaboa ni na dohot di taon 1936 mangirihiti). Jala tondong do idaon Tambak i tu Pusuk Buhit, jala tatapon tu Paropo- Silalahi Nabolak, dompak Sibisa dohot tu Tolping, songonima di hatahon naung mamereng.-<br />Saut ma nasida laho tu dolok parmasan, jala sembahyang.-<br /><br />Dung sidung sembahyang, di berengima panasapan di lambung ni tambak i, ba di sungkun manang ise manasapi i, jala ujungna di boto ma marga Sitanggang sian huta sitangko babi, na jonok tu dolok Parmasan i .-<br /><br />Di minggu berikutna, laho ma muse Abdul Malik Tambunan (ompu si Anjur) dohot donganna 2 halak nari sian Tambunan Lumban Pea, ima si Domitian Tambunan dohot Manarak Tambunan, mangaluhon Sitanggang na manasapi Tambak i, tu Tentera ni si Bejo (di tahun 1947) di Pangururan, jala torus ditangkup Sitanggang i, huhut di paresoma na sinasapanna i.-<br /><br />Dungi dung tartangkap Sitanggang i, roma tangis-tangis inang ni Sitanggang on, borunta boru Silalahi na ma nubuhonsa.-<br />“Among! Asima roham di ahu , dohot dib ere muna i, tung hamu ma among manguhum bere mu i, borat bahen hamuna, asalma unang tentera i pamatehon” ninna borunta i ma tu Abd. Malik Tambunan, Domitian dohot Manarak.-<br /><br />Ujungna di putushon tentera ima asa di padame di huta, gabe di putushon raja2 ma di huta Silalahi, napurananna sude raja-raja bius na disi, jala sude di huta i keluarga turunan Silalahi raja dohot ginompar ni Siraja Tambun, laos songoni sude marga2 gomparan ni Silahisabungan na di huta i. Jala garar on na hepeng Rp. 30.000,- huhut ingkon ibana ma manjaga tambak i unang hona gosi-gosi. Laos di suan Abd. Malik ma sada hau pangkuala di lambung tambak i.-<br />Laos di taon 1947 i do marrapot pangituai ni Tambunan sian Lumban Pea, Lbn Gaol, Baruara, Tuan Pagaraji, Sunge dohot sian boru di ampuan, marsada ni roha laho mambangun tambak i . dipillit ma panitia tambak ni Raja Silahisabungan di Dolok Parmasan, asa hatop so hariboriboan tambak i, Alana dang sai tarula parkara songon na salpu i.-<br />Susunan ni panitia Tambak ni Raja Silahisabungan di Dolok Parmasan di taon 1947, i ma :<br />Ketua : Abdul Malik – Omp.Si Anjur Tambunan Sian Lumban Pea<br />S. Usaha : Raja Epharaen sian Baruara Aek Raja<br />Bendahara : Gr. Frederik Lbn. Gaol sian Buntu Raja<br />Komisari2 : Sada halak sian ganup horja pinompar ni Raja Silahisabungan,Songon i sada be di ganup inganan pangarantoan.<br />Jadi dung mulai mangula panitia on di baen angka rapot di sude inganan ni pinompar ni Raja Silahisabungan , dapot ma keputusan taringot tu guguan tu tambak i, i ma :<br />I. Nasa batu dohot rihit tu tambak i , sian pomparan ni Raja Silahisabungan na di Pulo Samosir dohot na humalian.-<br />II. Nasa boras na ringkot tu pesta , nasian pomparan ni Raja Silahisabungan na di Toba Holbung.-<br />III. Nasa simin naporlu tu tambak i , sian gomparan ni Raja Silahisabungan na di Tapanuli Selatan sahat tu Sumatera Barat.-<br />IV. Nasa hepeng upah tukang , horbo dohot sude biaya2 tu pestana , asing ni naung rade diginjang i sian gombaran ni Raja Silahisabungan na di Sumatera Timur dohot na di Jawa ma.- <br />Torop dope sian angka amanta na ginoaran di ginjang i mangolu nuaeng, jala molo pe naung ….. matua, hira sude do gomparanna (anakna/pahompuna umboto na hinatahon di ginjang i.-<br />Alai marisuang do ulaon ni panitia i, Alana dung di taon 1948 masuk ma tentera Belanda dohot Sekutu tu Tapanuli/Samosir/Toba, mambaen putus hubungan, jala margurilla ma sahat tu taon 1950. mardomu muse tu tingki na mangihut na terjadi peristiwa2 di Lbn Pea sandiri na gabe urusan ni Abd. Malik sahat tu tingkat Propinsi , ima parbadaan ni angka naposo. Marudut pembrontakan/porang saudara.-<br />Sinuratho sude angka nadi ginjang i napinapungu-pungu hatorangan ni angka natua-tua na mangolu dope nuaeng , ima angka ni ulahon nasida dohot jinalona tona sian angka ompu angka naparjolo i.<br />Lumobi mai sian tona ni angka natua-tua pomparan ni Siraja Tambun.-<br />Marondolan di ginjang ima gabe manghajongjonghon na di dolok Parmasan do tambak ni Ompunta Raja Silahisabungan.<br />Horas jala gabe.-<br /><br />DITOLOPI HASINTONGAN NI HATA<br />NA TARSURAT DI GINJANG I<br /><br />pelindung Ketua Sekretaris<br /><br />(Abd. Malik Tambunan) (st. R. Tambunan) (st. W. Silalahi)<br /><br /><br />Catatan :<br /><br />-Diketik ulang sesui dgn asli<br />-Ada beberapa tulisan (tidak terbaca) karena file sudah lapuk alias tdk terawat.<br />-Jika ada yang mau diterjemahkan ke bahasa Indonesia silahkan buat permintaan kepada penulis.<br /><br />Jakarta 25 November 2009<br /><br />Diketik ulang oleh :<br /><br />Biarjo Joseph Silalahi<br />ParPintusona/SamosirPartogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-11501020342126713292009-12-01T11:25:00.001+07:002009-12-01T11:29:33.422+07:00CUPLIKAN DATA DARI BUKU PARNABAB IX<br />PARSADAAN RAJA NAIAMBATON<br />“P A R N A”<br /><br />Naiambaton adalah nama seorang ibu, yaitu nama istri pertama Tuan Sorimangaraja, nama itu melekat padanya adalah karena nama anaknya Siambaton. Nama untuk Siambaton ini setelah dewasa disebut juga Tuan Sorbadijulu. Ada juga yang menyebutnya Suliraja dan setelah tua disebut juga namanya Ompu Bolon.<br /><br />Nama untuk ibu yang melhirkan Siambaton ini ketika belum diperistri Tuan Sorimangaraja ialah Siboru Anting-anting Sabungan (Siboru Paromas). Dia adalah saudara perempuan dari Tuan Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja atau puteri dari Guru Tatea Bulan.<br /><br />Nama Naiambaton inilah yang menjadi nama untuk keturunan Siambaton atau Tuan Sorbadijulu. Lebih popular nama itu diakronimkan Parna (Parsadaan Naiambaton). Menurut cerita ibu Naiambaton inilah yang berpesan kepada anaknya Siambaton agar keturunannya bersatu , sisada lulu anak sisada lulu boru. Artinya tetap merasa satu keluarga dan tidak saling mengawinkan anak antara sesame mereka di kemudian hari . karena itu sampai sekarang ini antara sesame marga yang tumbuh dari Siambaton atau Tuan Sorbadijulu terasa pantang untuk saling kawin.<br /><br />Tuan Sorbadijulu ini mempunyai 4 orang anak laki-laki : Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munte Tua dan seorang anak Perempuan. Anak perempuan bernama Pinta Haomasan (Boru Baso Nabolon) ini adalah menjadi isteri Silahisabungan yang melahirkan Silahi Raja.<br /><br />Tuan Sorbadijulu memiliki anak :<br />1. Simbolon Tua<br />2. Tamba Tua<br />3. Saragi Tua<br />4. Munte Tua<br /><br />Ad. 4. Munte Tua memiliki anak:<br />1. Raja Sitempang (Op. Raja Pangururan)<br />2. O. Jalak Maribur<br />3. Ompu. Jalak Karo<br />Ad. 4.1. Raja Sitempang (Op. Raja Pangururan) memiliki anak:<br />1. Tanja bau<br />2. Sigalingging<br /><br />MARGA SIMBOLON<br /><br />Marga Simbolon adalah marga yang tetap digunakan untuk keturunan Simbolon Tua, kecuali keturunan Nahodaraja (Simbolon Tuan) yang sudah menggunakan marga baru seperti: Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Maharaja, Pinayungan, Nahampun (Keturunan Tuan Pusuk atau lajim disebut : Sionom Hudon) Anak laki-laki Simbolon Tua ada dua orang yaitu: Tunggul Sibisa (Tuan Suri Raja) dan Martua Raja. Seorang perempuan yang menjadi isteri Silahi Raja atau yang melahirkan: Tolping Raja, Bursok Raja, Raja Bunga-bunga. Cucu Simbolon Tua dari dua anaknya laki-laki itu ada 7 orang.<br /><br />Putri Simbolon Tuan (Nahodaraja) bernama Bintang Maria adalah isteri Datu Parulas. Isteri Datu Parulas bernama Boru Sumange adalah isteri Raja Tunggal (leluhur marga Hasugian). Dari perkawinan Datu Parulas dengan Bintang Maria (putri Nahodaraja) inilah lahir marga : Nahulae, Pusuk dan Sibuaton.<br /><br />SIMBOLON TUA memiliki anak:<br />1. Tuan Suri Raja (Tunggul Sibisa)<br />2. Martua Raja<br /><br />Ad. 1 Tuan Suri Raja memiliki anak: <br />1. Tuan Nahodaraja<br />2. Altong nabegu<br />3. Pande Sahata<br />4. Juara Bulan<br />Ad 1.1 Tuan Nahodaraja memiliki anak : <br />1. Tinambunan<br />2. Tumanggor<br />3. Maharaja<br />4. Turutan<br />5. Pinayungan<br />6. Nahampun<br /><br />Ad. 2. Martua Raja memiliki anak :<br />1. Suhut Nihuta<br />2. Raja Sirimbang<br />3. Raja Hapotan<br /><br /><br /><br />Data dan fakta ini di tulis dari buku PARSADAAN RAJA NAIAMBATON (PARNA) sesuai dengan aslinya. Isi sepenuhnya tanggung jawab Pomparan Raja Naiambaton.<br /><br />Horas.<br /><br /><br />Diketik kembali oleh:<br /><br />Biarjo Joseph Silalahi<br />ParPintusona/ PangururanPartogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-47719933653829924932009-11-18T13:58:00.002+07:002009-11-18T14:01:23.145+07:00SILALAHISILALAHI (SILAHI RAJA) adalah generasi ke VI dari SIRAJA BATAK yang adalah anak sulung dari SILAHISABUNGAN dari Istri Pintahaomasan Boru basobolon putri dari TUAN SORBADIJULU (NAIAMBATON)<br /><br />SILALAHI menikah dengan boru Simbolon putri dari SIMBOLON TUA dan bertempat tinggal di huta Tolping Ambarita dan mempunyai anak:<br />1. Tolping Raja Silalahi (bermukim di huta Tolping)<br />2. Bursok Raja Silalahi (bermukim di Pangururan)<br />3. Raja Bungabunga Silalahi (bermukim di balige)<br /><br />Ke tiga anaknya ini memakai nama ayahnya menjadi marga turun temurun hingga saat ini.<br />Adapun Raja bungabunga Silalahi telah diculik Tuan Sihubil dari dolok Parmahanan untuk memaksa SILAHISABUNGAN datang ke Balige untuk berdamai dgn abangnya SIBAGOTNIPOHAN agar kemarau panjang berakhir di Balige, hal itupun terlaksana dengan sempurna kemaraupun berakhir.<br />Untuk merayakan hari yang berbahagia itu diadakanlah pesta besar dan Raja Bungabunga Silalahi akhirnya diangkat Tuan Sihubil menjadi anaknya dan di padankan dgn anaknya yg bernama Tampubolon, sehingga sampai saat ini Pomparan marga Silalahi dan Tampubolon adalah kakak beradik yang tidak bisa saling mengawini satu sama lain.<br /><br />Raja Bungabunga Silalahi, telah menjadi anak dari Tuan Sihubil, untuk mengenang sejarah penculikannya dari dolok Parmahanan maka Tuan Sihubil membuat namanya menjadi RAJA BUNGABUNGA SILALAHI PARMAHAN, bukan RAJA BUNGABUNGA dgn gelar SIRAJA PARMAHAN SILALAHI, karena Raja bungabunga bukan bergelar Silalahi tapi bermarga SILALAHI sesuai dgn nama ayahnya SILALAHI, hal ini perlu diperhatikan karena sangat berbeda jauh, BERGELAR dgn BERMARGA. Karena gelar bisa dibuat-buat tapi marga sudah turunan dari ayahnya.<br />JADI <br />Jika ada RAJA BUNGABUNGA BERGELAR RAJA PARMAHAN SILALAHI itu mungkin bukan anak dari SILALAHI, atau mungkin mereka adalah korban pemutar balikan sejarah dan Tarombo.<br /><br />Agar lebih akurat mari belajar adat istiadat bangso Batak dan silsilahnya dari generasi ke generasi.<br /><br />Horas<br /><br />Biarjo Joseph Silalahi<br />Par PintusonaPartogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-68263593550754677722009-11-04T15:35:00.000+07:002009-11-04T15:39:34.889+07:00TERJADINYA PADAN SILALAHI DENGAN TAMPUBOLONKemarau panjang di huta Balige Raja sudah diambang batas hingga membuat rumput dan tumbuh-tumbuhan menjadi kering dan ternakpun banyak yang mati, hal itu sangat meresahkan Sibagot nipohan yang menjadi pewaris tahta dari Tuan Sorbadibanua.<br />Mengingat sepanjang pemerintahan ayahnya Tuan Sorbanibanua, hal ini belum pernah terjadi hingga membuatnya cemas dan bertanya kepada orang pintar.<br />Singkat cerita setelah di lakukan ritual kepada Mulajadi Nabolon, tirai misteripun terungkap bahwa semua itu terjadi karena ulah Sibagot nipohan yang membuat kesalahan hingga adek-adeknya Sipaettua , Silahisabungan dan Sirajaoloan sakit hati hingga pergi meninggalkan huta Balige Raja.<br />Adapun satu-satunya syarat agar kemarau panjang bisa berakhir menurut petunjuk orang pintar tersebut, Sibagot nipohan harus mengumpulkan adek-adeknya untuk minta maaf dan berdamai.<br />Hal itupun tidak disia-siakan Sibagotnipohan dan segera menyuruh anaknya Tuan Sihubil dan ditemani pengawalnya.<br />Huta Laguboti menjadi persinggahan pertama mereka utk menemui Sipaettua, setelah Tuan sihubil menceritakan keadaan di Balige Raja Sipaettuapun bersedih dan menyanggupi untuk datang segera. Selanjutnya Tuan Sihubil berangkat ke Bakkara menemui Sirajaoloan dan menceritakan kejadian yang menyedihkan itu hingga Siraja oloanpun siap untuk datang sesuai dengan hari yang ditetapkan.<br />Perjalanan jauhpun terbentang dihadapan Tuan Sihubil untuk menuju Huta Tolping Samosir tempat tinggal Silahisabungan yang belum tentu juga ada disitu, karena Silahisabungan sering mardua huta ke Paropo tempat istri ke duanya dan ke huta lain untuk mengobati.<br />Namun hari yang baik juga yang menyertai Tuan Sihubil hingga mereka bertemu di Tolping dan menyampaikan pesan ayahnya untuk datang ke huta Balige Raja serta menceritakan seluruh kejadian yang terjadi Huta Balige Raja, mendengar penjelasan keponakannya yakni Tuan Sihubil hatinyapun miris, namun karena janjinya “Tidak akan mau melihat asap dapur dari abangnya Sibagotnipohan” diapun dengan berat hati menolak ajakan Tuan Sihubil.<br />Berbagai cara dilakukan Tuan Sihubil untuk mengajak bapa udanya Silahisabungan, namun sedikit pun hati Silahisabungan tidak tergerak membuat Tuan Suhubil merasa putus asa dan ingin pulang dengan tangan hampa.<br />Namun kembali terbayang derita yang dialami seluruh penghuni kampungnya dan wajah ayahnya Sibagotnipohan yang sudah mulai tua hingga dia tetap bertahan di Tolping dan berusaha membujuk Silahisabungan.<br />Sebagai seorang panglima yg ditugaskan yang tentu sudah berpengalaman, Tuan Sihubilpun tidak habis akal, dia berpikir kekerasan hati Silahisabungan sepertinya tidak dapat diluluhkan dengan cara bujukan, berarti harus dilakukan dengan paksa yakni dengan cara menculik cucunya anak dari Silalahi Raja yang kebetulan sedang marmahan (mengembala).<br />Missipun segera dilakukan dan menangkap ke tiga anak dari Silalahi Raja yakni Raja Tolping, Bursok Raja dan Raja bunga-bunga yg paling kecil.<br />Si Raja Tolping yg paling besar meronta dan berhasil melarikan diri, begitu juga Si Bursok Raja terus meronta disepanjang perjalanan hingga membuat solu yang dikendarai Tuan Sihubil tidak stabil hingga diputuskan untuk dilepas saat melewati Tano Ponggol Pangururan.<br />Tinggal Rajabunga-bunga yg paling kecil akhirnya dibawa Tuan Sihubil hingga ke Balige Raja.<br />Mendengar cucunya diculik oleh Tuan Sihubil, Silahisabunganpun geram dan segera mengajak anaknya Silalahi Raja untuk mengayuh solunya mengejar Tuan Sihubil<br />Namun selang waktu yang begitu jauh membuat Tuan Sihubil lebih dulu tiba di Balige Raja dan membawa Raja Bunga-bunga ke hadapan ayahnya Sibagotnipohan.<br />Sibagotnipohanpun heran melihat anak tersebut dan menanyakan anak siapa ini,<br />Tuan Sihubil segera menceritakan semuanya dan tentang penolakan Silahisabungan untuk datang ke Balige Raja hingga berinisiatif menculik cucunya untuk memancing kedatangannya.<br />Belum sempat memberikan sanggahan tiba-tiba langit mendung dan guruh menggelegar serta halilintar sambar-menyambar dan hujanpun segera turun dengan lebat, melihat situasi itu Sibagotnipohan sudah tau bahwa Silahisabungan sudah tiba di Balige Raja<br /><br />Singkat cerita Silahisabunganpun meminta pertanggung jawaban atas ulah Tuan Sihubil yang menculik cucunya yang tidak tau asal muasal pertentangan diantara mereka, namun dengan permohonan maaf dari Sibagotnipohan dan bujukan dari Sipaettua dan Siraja oloan hatinyapun terobati.<br />Dengan kehadiran adek-adeknya hingga hujanpun turun di Balige Raja Sibagotnipohanpun mengadakan pesta besar dan mengundang seluruh penghuni kampung untuk merayakan kejadian itu.<br />Mengingat suasana yg berbahagia itu dan untuk mengikat tali persaudaraan diantara mereka Tuan Sihubil yang sudah menculik Raja Bunga-bunga mengusulkan untuk mengangkatnya jadi anak dan menjadi adik dari Tampubolon anaknya, yang memang kalau dirunut dari silsilah mereka satu generasi.<br />Hal itupun disetujui kedua belah pihak dan dibuatlah padan diantara Raja Bunga-bunga Silalahi dengan Tampubolon yakni sisada lulu anak sisada lulu boru, Tampubolonlah Dahahang doli, Silalahilah Anggi doli kelak sampai selama-lamanya.<br />Tuan Sihubilpun memeluk Silalahi Raja dengan berkata anakmu sudah menjadi anakku yang berarti anakku juga menjadi anakmu hal itu juga menjadikan seluruh anak Silalahi Raja menjadi terikat padan oleh karena adiknya Si raja bunga-bunga.<br />Oleh karena Siraja Bunga-bunga silalahi sudah menjadi anak Tuan Sihubil dan mengingat sejarahnya diculik dari parmahanan maka Tuan Sihubil menyebutnya Raja bunga-bunga Silalahi Parmahan yang sekarang keturunannya berbonapasogit di Balige dan diberikan tanah warisan yang disebut Huta Silalahi sampai sekarang.<br /><br />Demikianlah sampai saat ini Silalahi maupun Tampubolon mematuhi padan itu dan tidak pernah saling mengawini.<br /><br />By : Biarjo Joseph Silalahi<br />Parpintusona<br /><br />Sumber : Sejarah turun-temurun dari ompung di SamosirPartogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com81tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-69237901830695713722009-11-04T15:30:00.003+07:002015-07-10T12:01:59.784+07:00TERJADINYA BEBERAPA VERSI TAROMBO DI SILAHISABUNGAN<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiypYAjBqB-3JBr87repbgJsAK2z3MuHzv9pL4dfixW5mqv0KtKWTFiTcLyI-LE5hhmDGFpMGUH5pLip5gCrO1TswctQPcUDhp74qmYor3Mcl8XKy925PkCPrSaduWe7EHfHVXX-dpiij59/s1600-h/laklak.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 208px; height: 298px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiypYAjBqB-3JBr87repbgJsAK2z3MuHzv9pL4dfixW5mqv0KtKWTFiTcLyI-LE5hhmDGFpMGUH5pLip5gCrO1TswctQPcUDhp74qmYor3Mcl8XKy925PkCPrSaduWe7EHfHVXX-dpiij59/s320/laklak.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5400163389482252658" /></a><br /><br /><br />salam.<br />Dalam mempelajari dan untuk memberikan masukan dalam hal kesembrautan sejarah maupun tarombo Pomparan Silahisabungan ini jika kita tidak mengetahui kronologis secara keseluruhan terjadinya masalah ini memang akan banyak timbul kebingungan dan pertanyaan, dan bagi dongan tubu yang tidak perduli dan yang kurang mengetahui cerita ini akan gampang terkecoh dan hanya diam atau mengikut suara mayoritas saja.<br /><br />Sebenarnya saya tidak mau untuk mengajari para dongan tubu sekalian, tapi sudah menjadi kewajibanku sebagai marga Silalahi untuk menceriterakan kejadian yang berlangsung selama ini dan bisa menjawab seluruh kejanggalan-kejanggalan yang ada.<br /><br />Sebelum meninggal dunia Silahisabungan telah berpesan kepada anaknya Silalahi sebagai anak tertua bahwa jika dia meninggal nanti akan dikuburkan dekat dengan hula-hulanya Tuan Sorbadijulu (Naiambaton) dan pesan (tona) itupun dilaksanakan Silalahi tentu dengan sepengetahuan ke 8 (delapan) saudara-saudaranya, oleh karena itu semua keturunan Silahisabungan mengetahui di Dolok Paromasan Pangururanlah kuburan/makam Raja Silahisabungan (catatan Raja Frederik Tambunan thn 1896-1898 waktu menjabat Controleur Van Samosir di Pangururan).<br />Dan begitu juga pemakaian nama yang akhirnya menjadi marga keturunan masing-masing sangat teratur dan saling menghargai walau mungkin ada sebagian yang sakit hati dipacu dengan pembagian dan penamaan harta warisan.<br />Saat itu hal itu belum kelihatan dan berlangsung biasa-biasa saja terlihat dari keakraban sesama yang bersaudara sesuai dengan parhundul masing-masing.<br />Namun dalam waktu yang panjang dengan tuntutan situasi dan alam dan tuntutan kehidupan banyak terjadi perpindahan penduduk dari daerah yang satu ke daerah yang lain.<br /><br />Didalam era yang begitu keras itu tentu banyak persaingan antar etnis yang menimbulkan banyak terjadi penolakan, hal itupun disiasati para pendatang dengan mengganti marganya sesuai dengan marga para penguasa tempat itu, misalnya di Simalungun banyak marga dari Batak Toba merobah marganya menjadi marga Sinaga karena marga itu cukup diterima di Simalungun begitu juga di Karo banyak yang membaur dengan marga setempat.<br />Begitu juga marga yang tidak begitu dikenal di tempat lain misalnya dari keturunan Silahisabungan marga Sidebang maupun Situkkir dan lainnya dari turunan si 7 turpuk tidak begitu di kenal di Balige tapi Silalahi sangat terkenal dan punya huta di Balige, jadi untuk memudahkan penerimaan dan perkenalan mereka mengatakan bahwa mereka sama dengan marga Silalahi yang artinya sama-sama turunan Silahisabungan, namun seterusnya untuk mendapat akses yang lebih jauh para pendatang ini membuat marga anaknya menjadi marga Silalahi yang akhirnya terjadi marga bapak Sihaloho tapi anaknya bermarga Silalahi, yang kronisnya sejarah itupun tidak di ceritakan kepada generasi selanjutnya hingga banyak yang kehilangan identitas tidak mengetahui marga dan tarombo dia yang sebenarnya. <br /><br />Penduduk yang masih bertahan di kampung asalnya masih tetap memegang teguh adat istiadat dan menjalankan marga dan partuturan yang sesungguhnya, namun dengan arus dari para perantau yang kebetulan menjadi mampu tidak lagi mengerti dan tidak mengindahkan adat dan partuturan yang sesungguhnya dan pelan-pelan meracuni pikiran penduduk asal hingga terjadi gab diantara keturunan yang sama.<br /><br />Hal inipun sangat diantisipasi para sesepuh yang tinggal dibonapasogit hingga timbul ide untuk mempersatukan seluruh keturunan Silahisabungan dengan membuat Tugu Peringatan thn 1968. Hal itupun disetujui para keturunannya yang dari perantauan dan kesepakatan terjadi dibuat di Silalahi nabolak mengingat di Silalahi nabolak juga menjadi huta kedua Silahi sabungan setelah huta Tolping.<br /><br />Ditengah rapat-rapat pembangunan tugu tersebut timbul beberapa masalah yang sangat kronis dimana Silahi Raja (Silalahi) tidak dimasukkan sebagai anak dari Silahi Sabungan begitu juga Istri Silahi Sabungan di buat menjadi hanya 2 (dua) orang yang sebelumnnya ada 3 (tiga) orang, serta keberadaan marga istri kedua Pinggan matio yang tidak jelas Padang batanghari atau Matanari, dari situ mulai tercium adanya unsur-unsur kepentingan dan rasa ingin menyingkirkan yang lain .<br />Hal itupun sangat kontroversi hingga tidak ada kesepakatan yang membuat turunan Silahi Raja (Silalahi) dan Turunan Raja Tambun/Tambunan memutuskan untuk tidak mengikuti dalam pembuatan tugu tersebut.<br />Namun dengan kekuasaan yang ada serta dana yang cukup para perantau ini terus melaksanakan pembangunan itu dan berencana untuk memindahkan tulang belulang Silahisabungan yang selama ini ada di dolok Parmasan Pangururan, namun karena tidak disetujui Silalahi dan Pomparan Si raja Tambun hal itupun dilakukan secara simbolis dan Tugu Diresmikan pada thn 1981<br />Dengan mencantumkan silsilah sbb:<br /><br />Silahi sabungan dgn istri 2 yakni<br />1. Pinggan matio boru Padang batang hari<br />2. Milingiling boru raja mangarerak<br /><br />Dengan 8 anak dan 1 boru<br /><br />1. Loho Raja (Sihaloho)<br />2. Tukkir RaJa ( Situkkir)<br />3. Sondi Raja (Rumasondi)<br />4. Butar Raja (Sinabutar)<br />5. Bariba Raja (Sinabariba)<br />6. Debang Raja (Sidebang)<br />7. Batu Raja (Pintubatu)<br />8. Tambun Raja (Tambunan)<br />9. Deang na mora<br /><br />Sejak dari peresmian tugu tersebut resmi sudah tidak tercatat adanya marga Silalahi sebagai turunan dari Silahi Sabungan, tapi mereka menyebutkan bahwa Silalahi itu adalah marga parsadaan/persatuan, namun menjadi aneh kalau parsadaan kenapa tidak dicatatkan atau di ukir dalam tugu tersebut.<br /><br />Akibat dari pembangunan tugu tersebut banyak keturunan Silahisabungan yang kebingungan tentang tarombonya baik di intern antar marga itu sendiri karena sebagian ada yang mengakui dan memang selama ini dijalankan dengan baik namun akibat rasa solidaritas sesama marga hal itupun didiamkan bagai gunung es dilautan lepas.<br />Semenjak dari peresmian tugu itu, semua marga dari si 7 turpuk disarankan untuk memakai marga Silalahi di depan marganya begitu juga papan nama di depan rumah masing-masing, walau masih ada yang tetap bertahan membuat marganya yang sebenarnya.<br /><br />Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak di inginkan dan menjaga Tarombo yang sesungguhnya dari Silahisabungan Turunan Silahi raja (Silalahi) dan Turunan Raja Tambun berinisiatif untuk memugar kembali kuburan (Tambak) Silahisabungan yang ada di Dolok Parmasan lengkap dengan patung ke 3 istrinya dan relief ke 9 anaknya yakni :<br /><br />Silahi sabungan dengan ke 3 istrinya :<br />1. Pintahaomasa boru basonabolon<br />2. Pinggan Matio boru padangbatanghari<br />3. Similing-iling boru mangarerak<br /><br />Dengan ke 9 anaknya yakni:<br />1. Silahi Raja (Silalahi)<br />2. Loho Raja ( Sihaloho)<br />3. Tukkir RaJa ( Situkkir)<br />4. Sondi Raja (Rumasondi)<br />5. Butar Raja (Sinabutar)<br />6. Bariba Raja (Sinabariba)<br />7. Debang Raja (Sidebang)<br />8. Batu Raja (Pintubatu)<br />9. Raja Tambun<br /><br />Dengan berjalannya waktu Silalahi tetap eksis mempertahankan tarombonya tanpa menghilangkan siapapun dari keturunan Silahisabungan yang di kuatkan oleh Turunan Si Raja Tambun, begitu juga perjalanan hidup si Raja Tambun hingga harus disusui Pintahaomasan boru basonabolon dan perjalanan Raja bunga-bunga hingga tiba di Balige dan menjadi Raja Bunga-bunga Silalahi Parmahan.<br /><br />Melihat kegigihan Pomparan Silalahi mempertahankan marganya, pihak-pihak yang bersebranganpun mulai bermanuver dengan mengakui adanya marga Silalahi tapi membuat tarombo yang baru yakni dari cucu dan cicit Silahi sabungan dari anaknya Sihaloho dan Rumasondi namun kembali menjadi aneh, marga Cucu/cicit menjadi marga persatuan yang hanya terjadi di keturunan Silahisabungan versi si 7 turpuk. Begitu juga sejarah Raja Tambun yang sebenarnya, diadopsi menjadi versi yang lain dan perjalanan Si raja-bunga-bunga hingga tiba di Balige raja dan menjadi anak dari Tuan Sihubil berganti dengan versi yang janggal dan dipaksakan.<br /><br />Turunan Silalahi yang ada di Tolping dan yang ada di Pangururan tidak terpengaruh dengan manuver tersebut, namun hal itu jadi membingungkan keturunan Silalahi Parmahan yang ada di Balige, hingga terpecah menjadi 2 kubu, ada yang mengakui turunan dari Silahi Raja, ada yang mengakui turunan dari Rumasondi, hingga tugu Silalahi Parmahan yang ada di Balige terbengkalai lama, namun setelah para ompung-ompung dan raja adat yg mengetahui sejarah itu meninggal semua, baru akhir-akhir ini thn 2008 tugu itu di resmikan secara sepihak oleh yang punya kuasa, begitu juga Turunan Raja Tambun menjadi terpengaruh, banyak yang eksis mempertahankan dan banyak juga yang kebingungan hingga membuat mereka tidak terlalu ikut campur tangan hingga tugu Si raja Tambunpun sampai sekarang terbengkalai.<br /><br />Hal ini sangat memprihatinkan seluruh keturunan Silahisabungan generasi berikutnya yang entah kapan hal ini bisa di selesaikan secara damai dan kekeluargaan dalam porsi yang sesungguhnya yang tentu dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Dalihan na tolu.<br /><br />Demikianlah secara singkat perguliran sejarah turun-temurun yang menjadi sarana pengetahuan kepada seluruh Pomparan ni Omputta Silahisabungan di seluruh penjuru desa naualu.<br /><br />Horas<br /><br />Biarjo Joseph Silalahi<br />Par PintusonaPartogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com34tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-25500851619584571242009-07-13T12:34:00.000+07:002009-07-13T12:36:52.025+07:00MANFAAT ADATAdat adalah perekat dan pemersatu marga-marga.<br /><br />Suku batak sudah dilahirkan sebagai makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan orang banyak, hal ini disadari atau tidak disadari membentuk pribadi suku batak itu menjadi manusia yang toleran dan perduli kepada sesama dan sangat menghargai satu sama lain.<br /><br />Hal ini sangat tercermin dan terlihat jelas di dalam acara adat yang dilangsungkan suku batak setiap saat, dimana akan kelihatan kekerabatan antara marga yang satu dengan yang lain yang terikat dalam Dalihan Na Tolu (DNT) hal ini sudah berlangsung dari zaman nenek moyang sampai era komputerisasi sekarang ini.<br />Di dalam acara adat itu akan terlihat jelas setiap marga yang masih bertalian berada di posisi masing-masing sesuai dengan keduduknnya di dalam ruhut-ruhut ni paradatan.<br /><br />Misalnya dalam acara pernikahan, disana akan terlihat proses yang sangat tertata rapi dan akan terlihat marga apa Suhut, marga apa hula-hula dan marga apa Tulang, Bona Tulang, Tulang Rorobot, Bona ni ari, begitu juga pemberian ulos dan pembagian jambar semuanya tertata rapi sampai acara selesai.<br />Hal ini juga akan menjadi pengetahuan tersendiri bagi siapapun yang hadir di acara tersebut, marga apa hula-hula, Tulang, bona tulang orang yang melakukan Adat tersebut.<br /><br />Diacara tidak formal atau di kehidupan sehari-hari tidak aneh jika setiap orang batak berkenalan selalu menanyakan marganya agar dia tau dimana posisinya, apakah sebagai dongan tubu, tulang, bere atau boru untuk mempermudah pemangilan.<br /><br />Kalau kita telusuri di zaman peradaban orang batak, tulisan-tulisan atau manusikrip tentang tata acara seperti ini tidak ada terdokumentasi melalui tulisan-tulisan pada era itu namun sangat luar biasa bisa terpelihara dengan baik sampai saat ini.<br />Tentu akan timbul sebuah pertanyaan kenapa bisa terwariskan dan terpelihara sampai sekarang?<br />Jawabnya hanyalah karena sudah mendarah daging dan dihidupkan serta dilakukan setiap saat, karena sesuatu yang sudah menjadi tabiat itu tidak akan pernah hilang atau lupa.<br /><br />Acara-acara Adat sangat berperan penting dalam mengingatkan seseorang dalam partuturan hal inilah yang dilakukan setiap marga untuk saling koreksi dan pelurusan.<br />Begitu juga dalam hal ini Ompu Raja Silahisabungan yang sangat menjunjung tinggi paradatan sehingga takkan mungkin lupa/salah siapa Hula-hulanya, siapa tulangnya dan siapa bonatulangnya, hal ini juga di hidupkan Silalahi Raja sangat mengenal Hula-hulanya Simbolon, mengenal Tulangnya Pomparan nai ambaton (Parna) begitu juga Pomparan Naiambaton (Parna) sangat mengenal siapa boru si habolonannya yakni Silalahi Raja.<br />Begitu juga Raja Tambun sangat mengenal Hula-hulanya Manurung dan Tulangnya pomparan raja Mangarerak dan juga Manurung sangat mengenal siapa borunya yakni Raja Tambun.<br />Namun yang menjadi PR bagi seluruh keturunan Silahisabungan khususnya keturunan si 7 turpuk ( Sihaloho, Situkkir, Rumasondi,Sinabutar, Sinabariba, Sidebang, Pintubatu) marga apa hula-hulanya dan marga apa tulangnya masih kontroversi dan masih dalam pencarian apakah Padang batanghari atau Matanari.<br /><br />Hanya dengan penelusuran melalui paradatan yang berlangsung turun-temurun yang bisa memberikan pencerahan disamping bukti-bukti yang memang sangat minim untuk di teliti.<br /><br />Semoga dengan majunya tehnologi masa depan dan menghilangkan rasa Hosom, Late bisa menyelesaikan segala perbedaan yang ada.<br /><br />Horas<br /><br />Biarjo Joseph Silalahi SE.Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-34187430936892325162009-06-25T11:37:00.001+07:002009-06-25T11:37:36.857+07:00Sejarah Tanah BatakBudaya Batak - Sejarah Batak<br /><br />Tersebutlah dalam kitab-kitab suci bangsa Timur Tengah bahwa Adam, yang dianggap sebagai manusia pertama dan Nabi pertama, mulai mengembangkan generasinya bersama Siti Hawa, Nenek Moyang Manusia yang ditemukan kembali setelah didamparkan di daerah India dari Surga<br />Generasi berikutnya mulai melahirkan beberapa kelompok Bangsa. Bangsa Semetik kemudian menurunkan Bangsa Arab dan Israel yang selalu berperang. Khabarnya perpecahan kedua bangsa ini dimulai sejak Nabi Ibrahim. Bangsa Syam yang kemudian dikenal sebagai ras Aryan, menurunkan Bangsa Yunani dan Roma yang menjadi cikal bakal Eropa (Hitler merupakan tokoh ras ini yang ingin memurnikan bangsa Aryan di samping Bangsa Braminik yang chauvinistik dan menjadi penguasa kasta tinggi di agama Hindu), Nordik, Patan, Kaukasian, Slavia, Persia (Iran) dan India Utara (semisal Punjabi, Kashmir dan Gujarat) berkulit putih serta bule-bule lain sebangsanya.<br />Bangsa Negroid menurunkan bangsa Afrika dan beberapa bangsa berkulit hitam lainnya di dunia seperti Bangsa Dravidian (India berkulit Hitam), Papua, Samoa, Aborigin di Autralia, Asmat dan bangsa lain yang hidup di kepulauan Polinesia, Samudera Pasifik.<br />Bangsa Tatar menurunkan Ras Mongoloid yang terdiri dari bangsa Mongol; Cina, Korea, Uzbek, Tazik, Kazakh, Kazan di Rusia, bangsa Nomad penghuni Kutub Utara dan Selatan bermata cipit, Hokkian yang menjadi Konglomerat dan Mafia di Indonesia serta Bangsa Maya, Suku Indian dan lain sebagainya yang menjadi penduduk asli benua Amerika dan yang kedua; Ras Austronesia, yang menyebar di Madagaskar, Afrika, Batak; Proto Malayan dan Neo Malayan; Melayu, Jawa dan lain-lain.<br />Penyebaran populasi manusia terjadi paska “Tsunami” pertama atau dikenal sebagai Banjir Bah di jaman Nabi Nuh AS. Di jaman ini pula ada sebuah komunitas manusia yang konon mempunyai tinggi badan 15-30 meter punah ditelan banjir karena kesombongannya. Peneliti antropologi Amerika di awal abad 20 menemukan kembali bangsa ini di pedalaman Afrika, namun lokasinya dirahasiakan oleh pihak militer yang tertarik untuk mengambil sampel komunitas ini untuk rekayasa gen tentara AS. Penelitian juga diarahkan untuk menghidupkan kembali Bangsa Dinosaurus, sejenis binatang purba, yang juga mati tenggelam karena tidak sempat dan tidak ‘muat’ dimasukkan di kapal Nabi Nuh.<br />3000-1000 SM (Sebelum masehi)<br />Bangsa Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok Bangsa Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur, Mizoram. Tiga yang terakhir ini sekarang berwarga negara India. Adat istiadat mereka dan aksesoris pakaian yang dimiliki sampai sekarang masih mirp dengan pakaian Batak, misalnya pernik dan warna ulos.<br />Sifat dominan dari ras ini adalah kebiasaan hidup dalam Splendid Isolation di lembah lembah sungai dan di puncak-puncak pegunungan. Mereka sangat jarang membuat kontak bersifat permanen dengan pendatang yang berasal dari komunitas lainnya misalnya komunitas yang berada di tepi pantai, pesisir, yang saat itu banyak dipengaruhi oleh ideologi yang berbeda dengan mereka, misalnya Hinduisme (Yang disinyalir sebagai ajaran turunan dari agama Nabi Nuh AS), Zoroaster, Animisme gaya Yunani dan Romawi dan juga paham-paham baru seperti Buddha, Tao dan Shintoisme<br />Sifat tersebut masih membekas dan terus dipertahankan oleh orang-orang Batak hingga abad 19. Sampai saat ini, diperkirakan suku bangsa yang berasal dari ras ini masih mempertahankan kebiasaan ini, terutama Bangsa Tayal, bangsa pribumi di Taiwan, Orang-orang Bontoc dan batak Palawan penghuni pertama daerah Filipina.<br />1000 SM<br />Bangsa Mongol yang dikenal bengis dan mempunyai kemajuan teknologi yang lebih tinggi berkat hubungan mereka yang konsisten dengan berbagai bangsa mulai bergerak ke arah selatan. Di sana, keturunan mereka menyebut dirinya Bangsa Syan dan kemudian menciptakan komunitas Burma, Siam (Thai) dan Kamboja yang kemudian menjadi cikal-bakal negara.<br />Ras Proto Malayan mulai terdesak. Ketertutupan mereka menjadi bumerang karena teknologi mereka tidak up to date. Sebagian dari mereka kemudian mulai meninggalkan daerah-daerah tersebut, menempuh perjalanan untuk mencari daerah baru bahkan ke seberang lautan, di mana mereka akan menikmati hidup dalam ‘splendid isolation’ kembali.<br />Bangsa Bontoc bergerak ke daerah Filipina, Bangsa Toraja ke selatannya, Sulawesi. Di Filipina, Batak Palawan merupakan sebuah suku yang sampai sekarang menggunaka istilah Batak. Saudara mereka bangsa Tayal membuka daerah di kepulauan Formosa, yang kemudian, beberapa abad setelah itu, daerah mereka diserobot dan kedamaian hidup mereka terusak oleh orang-orang Cina nasionalis yang kemudian menamakannya Taiwan.<br />Yang lain, Bangsa Ranau terdampar di Lampung. Bangsa Karen tidak sempat mempersiapkan diri untuk migrasi, mereka tertinggal di hutan belantara Burma/Myanmar dan sampai sekarang masih melakukan pemberontakan atas dominasi Suku Burma atau Myamar yang memerintah.<br />Selebihnya, Bangsa Meo berhasil mempertahankan eksistensinya di Thailand. Bangsa Naga, Manipur, Mizo, Assamese mendirikan negara-negara bagian di India dan setiap tahun mereka harus berjuang dan berperang untuk mempertahankan identitas mereka dari supremasi bangsa Arya-Dravidian, yakni Bangsa India, yang mulai menduduki daerah tersebut karena over populasi.<br />Bangsa Batak sendiri, selain terdampar di Filipina, sebagian terdampat di kepulauan Andaman (sekarang merupakan bagian dari India) dan Andalas dalam tiga gelombang.<br />Yang pertama mendarat di Nias, Mentawai, Siberut dan sampai ke Pulau Enggano. Gelombang kedua terdampar di muara Sungai Simpang. Mereka kemudian bergerak memasuki pedalaman Pulau Andalas menyusuri sungai Simpang Kiri dan mulai mendirikan tempat di Kotacane. Komunitas ini berkembang dan membuat identitas sendiri yang bernama Batak Gayo. Mereka yang menyusuri Sungai Simpang Kanan membentuk Komunitas Batak Alas dan Pakpak. Batak Gayo dan Alas kemudian dimasukkan Belanda ke peta Aceh.<br />Mainstream dari Suku bangsa Batak mendarat di Muara Sungai Sorkam. Mereka kemudian bergerak ke pedalaman, perbukitan. Melewati Pakkat, Dolok Sanggul, dan dataran tinggi Tele mencapai Pantai Barat Danau Toba. Mereka kemudian mendirikan perkampungan pertama di Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong Mulana di seberang kota Pangururan yang sekarang. Mitos Pusuk Buhit pun tercipta.<br />Masih dalam budaya ‘splendid isolation’, di sini, Bangsa Batak dapat berkembang dengan damai sesuai dengan kodratnya. Komunitas ini kemudian terbagi dalam dua kubu. Pertama Tatea Bulan yang dianggap secara adat sebagai kubu tertua dan yang kedua; Kubu Isumbaon yang di dalam adat dianggap yang bungsu.<br />Sementara itu komunitas awal Bangsa Batak, jumlahnya sangat kecil, yang hijrah dan migrasi jauh sebelumnya, mulai menyadari kelemahan budayanya dan mengolah hasil-hasil hutan dan melakukan kontak dagang dengan Bangsa Arab, Yunani dan Romawi kuno melalui pelabuhan Barus. Di Mesir hasil produksi mereka, kapur Barus, digunakan sebagai bahan dasar pengawetan mumi, Raja-raja tuhan Fir’aun yang sudah meninggal. Tentunya di masa inilah hidup seorang pembawa agama yang dikenal sebagai Nabi Musa AS.<br />1000 SM – 1510 M<br />Komunitas Batak berkembang dan struktur masyarakat berfungsi. Persaingan dan Kerjasama menciptakan sebuah pemerintahan yang berkuasa mengatur dan menetapkan sistem adat.<br />Ratusan tahun sebelum lahirnya Nabi Isa Al Masih, Nabi Bangsa Israel di Tanah Palestina, Dinasti Sori Mangaraja telah berkuasa dan menciptakan tatanan bangsa yang maju selama 90 generasi di Sianjur Sagala Limbong Mulana.<br />Dinasti tersebut bersama menteri-menterinya yang sebagian besar adalah Datu, Magician, mengatur pemerintahan atas seluruh Bangsa Batak, di daerah tersebut, dalam sebuah pemerintahan berbentuk Teokrasi.<br />Dinasti Sorimangaraja terdiri dari orang-orang bermarga Sagala cabang Tatea Bulan. Mereka sangat disegani oleh Bangsa Batak di bagian selatan yang keturunan dari Tatea Bulan.<br />Dengan bertambahnya penduduk, maka berkurang pula lahan yang digunakan untuk pertanian, yang menjadi sumber makanan untuk mempertahankan regenerasi. Maka perpindahan terpaksa dilakukan untuk mencari lokasi baru. Alasan lain dari perpindahan tersebut adalah karena para tenaga medis kerajaan gagal membasmi penyakit menular yang sudah menjangkiti penduduk sampai menjadi epidemik yang parah.<br />Perpindahan diarahkan ke segala arah, sebagain membuka pemukiman baru di daerah hutan belukar di arah selatan yang kemudian bernama Rao, sekarang di Sumatera Barat. Beberapa kelompok di antaranya turun ke arah timur, menetap dan membuka tanah, sekarang dikenal sebagai Tanjung Morawa, daerah di pinggir Kota Medan.<br />450 M<br />Daerah Toba telah diolah dan dikelola secara luas oleh rakyat kerajaan tersebut. Mereka yang dominan terutama dari kubu Isumbaon, kelompok marga Si Bagot Ni Pohan, leluhur Annisa Pohan, menantu SBY, Presiden pilihan langsung pertama RI. Di daerah ini bermukim juga kaum Tatea Bulan yang membentuk kelompok minoritas terutama dari marga Lubis.<br />Sebagian dari Lubis terdesak ke luar Toba dan merantau ke selatan. Sebagain lagi menetap di Toba dan Uluan hingga kini. Keturunannya di Medan mendirikan banyak lembaga sosial terutama Pesantren Modern Darul Arafah di Pinggiran Kota Medan.<br />Di daerah Selatan kelompok marga Lubis harus bertarung melawan orang-orang Minang. Kalah. Perantauan berhenti dan mendirikan tanah Pekantan Dolok di Mandailing yang dikelilingi benteng pertahanan.<br />Mereka kemudian berhadapan dengan bangsa Lubu, Bangsa berkulit Hitam ras Dravidian yang terusir dari India, melalui Kepulauan Andaman berkelana sampai daerah muara Sungai Batang Toru. Bangsa Lobu tersingkir dan kemudian menetap di hutan-hutan sekitar Muara Sipongi. Bila di India Bangsa Arya meletakkan mereka sebagai bangsa terhina, ‘untouchable’; haram dilihat dan disentuh, maka nasib sama hampir menimpa mereka di sini. Saudara Bangsa Lubu, Bangsa Tamil migrasi beberapa abad kemudian, dari India Selatan, membonceng perusahaan-perusahaan Eropa dan membentuk Kampung Keling di Kerajaan Melayu Deli, Medan.<br />600 - 1200 M<br />Komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari Dinasti Batak, Dinasti Sori Mangaraja di pusat. Mereka mendirikan kerajaan Nagur. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur di tangan orang Batak Gayo mendirikan kerajaan Islam Aceh.<br />Simalungun merupsakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan marga tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak; Pohon Karet.<br />Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi bajak laut di Lautan Cina Selatan.<br />Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.<br />Di daerah pesisir Barat, Barus, kota maritim yang bertambah pesat yang sekarang masuk di Kerajaan Batak mulai didatangi pelaut-pelaut baru, terutama Cina, Pedagang Gujarat, Persia dan Arab. Pelaut-pelaut Romawi Kuno dan Yunani Kuno sudah digantikan oleh keturunan mereka pelaut-pelaut Eropa yang lebih canggih, dididikan Arab Spanyol. Islam mulai diterima sebagai kepercayaan resmi oleh sebagian elemen pedagang Bangsa Batak yang mengimpor bahan perhiasan dan alat-alat teknologi lainnya serta mengekpor ‘Kemenyan’ komoditas satu-satunya tanah Batak yang sangat diminati dunia.<br />Islam mulai dikenal dan diterima sebagai agama resmi orang-orang Batak di pesisir; khusunya Singkil dan Barus.<br />850 M<br />Kelompok Marga Harahap dari Kubu Tatea Bulan, bekas populasi Habinsaran bermigrasi massal ke arah Timur. Menetap di aliran sungai Kualu dan Barumun di Padang Lawas. Kelompok ini sangat hobbi berkuda sebagai kendaraan bermigrasi.<br />Karena ini, dalam jangka waktu yang singkat, sekitar dua tahun, mereka sudah menguasai hampir leuruh daerah Padang Lawas antara sungai Asahan dan Rokan. Sebuah daerah padang rumput yang justru sangat baik untuk mengembangbiakkan kuda-kuda mereka.<br />Sebagain dari kelompok marga ini, melalui Sipirok, menduduki daerah Angkola dan di sini tradisi mengembala dan menunggang kuda hilang, mereka kembali menjadi komunitas agraris. Sementara di Padang Lawas mereka menjadi penguasa feodalistik dan mulai emmeprkenalkan perdagangan budak ke Tanah Batak Selatan.<br />900 M<br />Marga Nasution mulai tebentuk di Mandailing. Beberapa ratus tahun sebelumnya, sejak tahun-tahun pertama masyarakat Batak di sini, disinyalir saat itu zaman Nabi Sulaiman di Timur Tengah (Buku Ompu Parlindungan), perbauran penduduk dengan pendatang sudah menjadi tradisi di beberapa tempat, khusunya yang di tepi pantai.<br />Penduduk dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu (dikenal dengan sebutan Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan terutama elemen-elemen bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah sebelum berlayar berdagang menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan penuh toleransi dengan bangsa Batak.<br />Para pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat Dalihan Natolu agar dapat mempersunting wanita-wanita setempat setelah puluhan tahun di tengah laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba, seorang yang disegani saat itu, menyatukan mereka; campuran penduduk peribumi dan pendatang tersebut, membentuk marga Nasution.<br />Sementara itu perebutan kekuasaan terjadi di Pusat Pemerintahan Kerajaan batak, martua Raja Doli dari Siangjur Sagala Limbong Mulana dengan pasukannya merebut wilayah Lottung di Samosir Timur. Percampuran keduanya membentuk kelompok Marga Lottung Si Sia Marina, yang terdiri atas; Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang, Aritonang dan Siregar.<br />1050 M<br />Karena minimnya peralatan medis, epidemik melanda daerah Lottung kembali. Masyarakat Lottung Si Sia Marina berhamburan ke luar dari wilayah tersebut menuju daerah yang “sehat”. Akibatnya, kelompok Marga Siregar terpecah dua menjadi Siregar Sigumpar dan Siregar Muara, keduanya bermukin di Toba.<br />1293 – 1339 M<br />Penetrasi orang-orang Hindu yang berkolaborasi dengan Bangsa Jawa mendirikan Kerajaan Silo, di Simalungun, dengan Raja Pertama Indra Warman dengan pasukan yang berasal dari Singosari. Pusat Pemerintah Agama ini berkedudukan di Dolok Sinumbah. Kerak direbut oleh orang-orang Batak dan di atasnya menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan Simalungun dengan identitas yang mulai terpisah dengan Batak. Kerajaan Silo ini terdiri dari dua level masyarakat; Para Elit yang terdiri dari kaum Priayi Jawa dan Masyarakat yang terdiri dari kelompok Marga Siregar Silo.<br />1331 – 1364 M<br />Di Nusantara, Kerajaan Majapahit timbul menjadi sebuah Negara Superpower. Sebelumnya, Sebagain Eropa Barat dan Timur sampai ke Kazan Rusia, Asia Tengah dan Afrika Utara dan tentunya Timur Tengah didominasi Kekuatan Arab yang juga menguasasi Samudera India, Atlantik dan sebagain Samudera Pasifik.. Kekuatan Persia-Mongol tampak di India, Pakistan, Banglades dan sebagian China dan Indo-Cina serta beberapa kepulauan Nusantara, mereka tidak kuat di laut. China menguasasi sebagian Samudera Pasifik khususnya laut China Selatan. Sementara itu di pedalaman Eropa manusia masih hidup dalam pengaruh Yunani dan Romawi yang Animis, mereka kemudian menjadi perompak dan pembajak laut. Di daerah nusantara kaum Hokkian menguasasi jaringan ‘garong’ perompak yang terkadang lebih kuat dari kerajaan-kerajaan kecil melayu. Para pembajak laut Eropa sesekali diboncengi kaum Fundamentalis Yahudi dan pendatang baru; kaum trinitas Gereja barat yang berseberangan dengan Gereja timur yang unitarian dan menaruh dendam kesumat atas kejayaan Arab.<br />1339 M<br />Pasukan ampibi Kerajaan Majapahit melakukan penetrasi di muara Sungai Asahan. Dimulailah upaya invasi terhadap Kerajaan Silo. Raja Indrawarman tewas dalam penyerbuan tersebut. Kerajaan Silo berantakan, keturunan raja bersembunyi di Haranggaol.<br />Pasukan Mojopahit di bawah komando Perdana Menteri Gajah Mada, mengamuk dan menghancurkan beberapa kerajaan lain; Kerajaan Haru/Wampu serta Kesahbandaran Tamiang (sekarang Aceh Tamiang) yang saat itu merupakan wilayah kedulatan Samudra Pasai.<br />Pasukan Samudra Pasai, di bawah komando Panglima Mula Setia, turun ke lokasi dan berhasil menyergap tentara Majapahit di rawa-rawa sungai Tamiang. Gajah Mada bersma pengawal pribadinya melarikan diri ke Jawa meninggalkan tentaranya terkepung oleh pasukan musuh.<br />Para Keturunan Indrawarman kembali ke kerajaan dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Dolok Siolo dan Kerajaan Raya Kahean.<br />1339 - 1947 M<br />Kerajaan Dolok Silo dan Raya Kahean berakulturasi menjadi kerajaan Batak/Simalungun, namun tetap berciri khas Hindu/Jawa absolut. Konon kerajaan ini mampu berdiri selama 600 tahun. Menjadi dinasti tertua di Kepulauan Indonesia di abad 20. Sekitar 250 tahun lebih tua dari Dinasti Mataram di Pulau Jawa.<br />Pada saat yang sama dua kerajaan lain muncul kepermukaan; Kerajaan Siantar dan Tanah Jawa. Raja di Kerajaan Siantar merupakan keturunan Indrawarman, sementara Pulau Jawa, dipimpin oleh Raja Marga Sinaga dari Samosir. Penamaan tanah Jawa untuk mengenang Indrawarman.<br />1350 M<br />Kelompok Marga Siregar bermigrasi ke Sipirok di Tanah Batak Selatan.<br />1416 – 1513 M<br />Pasukan Cina dibawah komando Laksamana Haji Sam Po Bo, Ceng Ho, dalam armada kapal induk mendarat di Muara Labuh di muara Sungai Batang Gadis. Salah satu misi mereka; mengejar para bandit Hokkian tercapai. Sebelum berangkat, pasukan Cengho yang berjumlah ribuah itu mendirikan industri pengolahan kayu dan sekaligus membuka pelabuhan Sing Kwang (Singkuang=Tanah Baru).<br />1416 - 1513 M<br />Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam mulai berdatangan ke Sing Kwang dan berasimilasi dengan penduduk khususnya kelompok marga Nasution. Para Tionghoa tersebut membeli Kayu Meranti dari pengusaha setempat dan mengirimkannya ke Cina daratan untuk bahan baku tiang istana, kuil dan tempat ibadah lainnya.<br />1450 - 1500 M<br />Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khsuusnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dab Sungai Karang.<br />Perubahan terjadi di konstalasi politik dunia. Para bajak laut Eropa mulai mencari target operasi baru di kepulauan Nusantara yang hilir mudik dilalui para pedagang-pedagang Internasional; Arab, Afrika, India, Gujarat, Punjabi, Yunnan dan tentunya kelompok bajak laut lokal; Hokkian.<br />1450 - 1818 M<br />Kelompok Marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas garam ke Tanah Batak di pantai timur. ‘Splendidi Isolation’ Bangsa batak mulai terkuak. Yang positif bisa masuk namun tidak yang negatif.<br />Mesjid pribumi pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap beberap kilometer sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan. Siapapun berhak membeli, tidak ada diskriminasi agama. Toleransi antara Islam dan Agama S.M.Raja berlangsung begitu erat dan hangat.<br />1508 M<br />Kerajaan Haru/Wampu yang berpopulasi orang-orang Batak Karo diinvasi oleh Kesultanan Aceh. Dalam perkembangan politik berikutnya para keturunan Raja Haru/Wampu mendirikan kerajaan baru yang menjadi cikal bakal Kesultanan Langkat.<br />1508 - 1523 M<br />Kesultanan Haru/Delitua tetap eksis di daerah pengairan sungai Deli namun kedulatannya berada dalam otoritas Kesultanan Aceh. Penduduknya merupakan Batak Karo yang sudah memeluk agama Islam. Setelah melemahnya dominasi Kesultanan Aceh, Kesultanan ini bertransformasi menjadi Kesultanan Deli.<br />Kelompok bajak laut Eropa setelah beberapa lama dikucilkan karena perangai ‘garongnya’ mulai memperkenalkan diri kepada kerajaan-kerajaan nusantara sebagai ‘pedagang damai’. Taktik ini diambil agar mereka dapat melakukan penetrasi ke wilayah kerajaan untuk pemetaan dan penentuan titik-titik serangan untuk ‘devide et impera’.<br />1510 M<br />Dinasti Sori Mangaraja, yang berpusat di Sianjur Limbong Mulana, dikudeta oleh Kelompok Marga Manullang. Kejayaan dinasti ini, setelah 90 generasi berturut-turut memerintah, lenyap. Dinasti ini sendiri terdiri dari Kelompok Marga Sagala dari kubu Tatea Bulan.<br />1516 - 1816 M<br />Di Daerah Batak Selatan, dengan populasi Tatea Bulan, Dinasti Sori Mangaraja meneruskan pengaruhnya di Si Pirok. Secara de jure diakui oleh masyarakat Marga Siregar, Harahap dan Lubis. Secara mayoritas masyarakat marga Nasution juga memberikan pengakuan sehingga Dinasti Sisingamagaraja yang memerintah tanah Batak seterusnya, berpusat di Bakkara, tidak mendapat pengakuan yang menyeluruh.<br />1513 M<br />Kesultanan Aceh merebut pelabuhan-pelaburan pantai barat Pulau Andalas, untuk dijadikan jalur baru perdagangan internasional ke Maluku via selat Sunda. Bajak laut Portugis menutup dan melakukan aksi bajing loncat di Selat Malaka. Portugis mulai membawa kebencian agama ke Nusantara; diskriminasi agama diterapkan dengan melarang pedagang Islam melalui Malaka. Cina Islam, Arab dan penduduk nusantara menjadi korban pelecehan gaya Eropa.<br />Pengaruh internasionalisasi pelabuhan di Andalas, penduduk lokal Batak di lokasi tersebut; Singkil, Pansur, Barus, Sorkam, Teluk Sibolga, Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen sudah menganutnya.<br />Kelompok Marga Tanjung di Pansur, marga Pohan di barus, Batu Bara di Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah.<br />1513 - 1818<br />Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Marga Hutagalung di Silindung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung.<br />Di Jerman, Kaum Protestan melepaskan diri dari hegemoni Gereja Katolik Roma.<br />1523 M<br />Orang-orang Eropa tidak sabar untuk menjarah Nusantara. Kesultanan Karo Muslim di Haru/Delitua dimusnahkan oleh kaum Portugis. Ratu Putri Hijau, yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan raja-raja Aceh, tewas. Sambil berzikir sang ratu diikat di mulut meriam lalu diledakkan. Kebrutalan perang diperkenalkan oleh bangsa Eropa<br />1550 - 1884 M<br />Dinasti Sisingamagaraja (SM Raja) tampil sebagai otoritas tertinggi di Tanah Batak, menggantikan Dinasti Sori Mangaraja.<br />1581 M<br />Marga Rangkuti terbentuk. Terdiri dari orang-orang Jawa/Minang yang mengambil suaka politik di Mandailing akibat perubahan politik di Kerajaan Pagarruyung di Minagkabau.<br />1593 - 1601 M<br />Intelektual lokal mulai tampil ke permukaan. Abdulrauf Fansuri terkenal sebagai ulama dan intelektual di dalam ilmu fiqih, politik dan ilmu sosial lainnya.<br />Beberapa teorinya antara lain; Penghapusan perbedaan antara Kepala Negara dan Agama. Raja merupakan otoritas kerajaan dan juga agama. Dia mensyaratkan bahwa Raja yang akan memangku jabatan ini bukan turun temurun melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Teori ini kemudian diterima oleh Kesultanan Aceh dan jawa.<br />Aceh, dalam ekspansinya, menguasai Fansur dan menghancurkan kejayaan pelabuhan ini. Duaratus tahun setelah itu Dinasti Sori Mangaraja membangunnya kembali dan memberikan nama baru; Pelabuhan ‘Gosong’.<br />Eropa mulai bangkit melewati masa kegelapan. Ibarat bangsa kelaparan mereka berhamburan ke penjuru dunia untuk membangun negara-negaranya. Bangsa Inggris mulai membuat pertapakan pertama di Pelabuhan Tapian Na Uli di tepi teluk Sibolga. Titik ini sangat mendukung untuk pemenuhan logistik mereka untuk menjarah bagian-bagian lain di Nusantara. Ambisi jahat yang tidak bisa ditebak oleh penduduk lokal.<br />Budaya perbudakan mendapat eksploitasi yang parah oleh hadirnya pihak Eropa. Keramahan bangsa Batak di Batang Toru, Puli, Situmandi serta Sigeaon dimanipulasi, mereka kemudian diperdagangkan sebagai Budak.<br />Beberapa wilayah di Nusantara mulai ditundukkan dengan tipu muslihat Eropa. Perang antar kerajaan menjadi sangat intens; akibat Devide Et Impera. Belanda mulai memetakan target operasi mereka di tanah Batak setelah menguasai Jawa dan beberapa kerajaan kecil di Nusantara.<br />1790 M<br />Haji Hassan Nasution dengan Gelar Qadhi Malikul Adil menjadi orang Batak pertama yang naik haji di Mekkah.<br />1812 M<br />Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, menjadi orang pertama dari lingkungan kerajaan Dinasti Sisingamangaraja yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Informasi ini didapat dari sebuah catatan keluarga, bertuliskan Arab, komunitas Marga Sinambela keturunan Sisingamangaraja di Singkil. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)<br />1816 M<br />Elemen mata-mata Belanda mulai menyusup ke Tanah batak dengan misi; memetakan daerah serta kekuatan dan menentukan titik-titik penembakan artileri di pusat-pusat kekuasaan tanah Batak.<br />Jenderal Muhammad Fakih Amiruddin Sinambela, Gelar Tuanku Rao, panglima Paderi, meluaskan pengaruhnya di Tanah Batak Selatan.<br />1816 - 1833 M<br />Islam berkembang pesat di Mandailing dengan pembangunan universitas, pusat-pusat perdagangan dan kebudayaan Islam.<br />1818 M<br />Panglima Fakih Sinambela berseteru dengan pamannya Sisingamangaraja X, Raja Dinasti Sisingamangaraja di daerah Batak Utara.<br />Elemen Eropa berhasil memetakan kekuatan Dinasti Sisingamaragaja. Salah satunya; Modigliani berhasil mencari info mengenai privasi Guru Somalaing, salah satu intelektual agama Parmalim, agama Batak saat itu.<br />Orang-orang Batak yang miskin dan putus asa dengan penyakit kolera dimanipulasi Belanda sebagai kekuatan anti-otoritas SM Raja. Beberapa kerajaan-kerajaan huta dihadiahi dengan pengakuan sehingga mejadi raja-raja boneka yang membangkang. Kredibilitas kedaulatan Sisingamangaraja di akar rumput menipis, dikempesi orang-orang Eropa.<br />Untuk kesekian kalianya epidemik penyakit menular menjangkiti penduduk. Elemen Eropa dan Belanda di pantai timur Sumatera memanfaatkan situasi.<br />1818 - 1820 M<br />Perseteruan Sisingamagaraja X dan Fakih Sinambela memuncak. Pasukan Fakih Sinambela dengan komando Jatengger Siregar berhadapan dengan pasukan Sisingamangaraja X di Bakkara setelah buntu dalam perundingan.<br />Markas Pusat di Siborong-borong dengan komando Panglima Fakih Sinambela memerintahkan pasukannya di Bakkara untuk menguburkan pamannya Sisingamangaraja X di pemakaman kerajaan dengan pasukan kehormatan dan melindungi keturunannya.<br />Fakih Sinambela menolak tawaran pamannya menjadi Sultan di Tanah batak. Mereka mundur ke Selatan. Yang Mulia Sisingamangaraja XI naik tahta.<br />1820 M<br />Pembantu Fakih Sinambela, Tuanku Mansur Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan di pantai timur Sumatera.<br />1821 M<br />Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir Sumatera Barat seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Fakih Sinambela(Tuanku Rao) dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Fakih Sinambela gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasu kan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.<br />1823 M<br />Thomas Raffles, Jenderal Inggris, tertarik untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan di Sumatera. Idenya; Aceh yang Islam dan Minagkabau dipisah dengan Komunitas Batak Kristen. Tanah Batak harus, menurut istilah Ompu Parlindungan, “dikristenkan”; diterima atau tidak.<br />Kebijakan ini ditiru oleh Raffles dari Lord Moira, Gubernur Jenderal Inggris di Kalkutta yang berhasil melemahkan Kerajaan “Dehli” Islam di India; Burma yang Budda serta Thailand yang Buddha harus dipisah dengan bangsa Karen yang Kristen.<br />Untuk itu, pihak Inggris mengirimkan tim-tim pendeta kerajaan ke lokasi tersebut. Di Tapanuli saja ada diutus beberapa orang, sbb;<br />• Pendeta Burton yang bertugas menguasasi bahasa Batak dan menerjemahkan Bibel ke Bahasa Batak, bertindak sebagai pemimpin misi.<br />• Pendeta Ward, seorang dokter yang meneliti pengaruh penuakit menular, epidemik yang menjangkiti penduduk Batak.<br />• Pendeta Evans, bertugas mendirikan sekolah-sekolah pro-Eropa.<br />Ketiganya merupakan tim ekspedisi dalam infiltrasi pasukan Inggris di Tanah batak yang akan berprofesi sebagai pendeta agar tidak terlalu mendapat penolakan di sebagian besar mayarakat Batak yang telah menganut agama Parmalim, agama S.M. Raja, di pusat-pusat kerajaan Batak.<br />1823 - 1824 M<br />Pertahanan benteng SM Raja di Humbang, yang ‘splendid isolation’ dan tertutup untuk pihak-pihak tidak resmi, sangat kuat dan tidak dapat disusupi, pelabuhan Barus bebas dari penyusup.. Tim tersebut hanya berhasil masuk melalui pantai Sibolga dan daerah Angkola yang mayoritas penduduknya muslim dan terbuka. Burton dan Ward berhasil memasuki Tanah Batak, melalui pelabuhan Sibolga tempat beberapa komunitas Inggris menetap berdagang, menyisir hutan belantara dan mencapai Lembah Silindung. Misi berhasil. Namun ketika akan menyusup ke Toba, pusat kehidupan sosial masyarakat batak, Ward memberikan instruksi untuk mundur. Epidemik Kolera masih mengganas di Toba dan Humbang. Burton dan Ward mundur ke Sibolga. Dari sini ‘character assasination’ terhadap panglima-panglima Padri dilancarkan.<br />Perseteruan antar penjajah untuk menguasai Tanah Batak muncul. Belanda menggantikan posisi Inggris di Tapanuli, sesuai ‘Traktat London’. Pendeta-pendeta Inggris diusir. Mereka yang sudah berhasil memasuki wilayah privasi para Panglima tersebut dituduh bersekongkol dengan Padri.<br />1830 - 1867 M<br />S.M Raja XI, setelah naik tahta mulai menata kehidupan rakyatnya. Di beberapa wilayah dilakukan pembangunan. Hubungan diplomasi luar negeri dengan Kesultanan Aceh dijalin kembali. Sang Raja mulai menyadari kehadiran elemen-elemn penyusup yang bermaksud untuk menguasai dan dan meniadakan Kedaulatan Bangsa Batak. Belanda yang meneruskan kebijakan Raffles tidak bisa menerima; Bangsa Batak malah melakukan kerjasama militer dengan Aceh.<br />Perkembangan pembangunan di bidang sosial dan pendidikan meningkat. Kerajaan mulai mengerjakan penulisan sejarah Batak dalam ‘Arsip Bakkar’ setebal 23 jilid. Total Satu setengah meter tebalnya. Sebagain besar mengenai undang-undang, tradisi dan kehidupan kerajaan. Sebuah usaha yang memberikan dampat baik terhadap kredibilitas otoritas raja dan kehidupan masyarakat namun sudah terlanjur terlambat. Elemen-elemen rakyat yang putus asa dengan epidemik kolera sudah banyak yang pro-Belanda.<br />1833 M<br />Tentara Belanda mulai mendaratkan pasukan ekspedisi dibawah Komando Mayor Eiler, di daerah Natal dan mengangkat rajanya menjadi raja boneka dengan gelar; Regent van Mandailing. Elemen-elemen padri Minang dibasmi.<br />1833-1834 M<br />Pasukan Kolonel Elout menguasai Angkola dan Sipirok. Sipirok menjadi batu loncatan untuk menggempur Toba. Peta-peta sasaran tembak sudah dikumpulkan sebelumnya oleh tim penyusup dan orang-oramg Eropa yang bergerak bebas di Tanah Batak<br />Kolonel Elout memerintahkan pendeta-pendeta tentara Belanda, yang menjadi bawahannya di pasukan tersebut, antara lain; Pendeta Verhoeven untuk mempersiapkan diri untuk meng-kristenkan penduduk asli Tanah Batak Utara. Verhoeven diwajibkan untuk bergaul dengan penduduk asli dan belajar Bahasa Batak.<br />Eliot melalui kakaknya, saudara perempuannya, di Boston, AS, meminta tambahan tim misi dari American Baptist Mission (ABM). Permintaan ini mendapat dukungan dana oleh Clipper Millionairs yang berpusat di Boston dengan kompensasi mereka dapat menguasai kegiatan ekspor dan impor di Tanah Batak yang sangat potensial saat itu.<br />Seperempat abad kemudian, Hamburg Millionairs mendanai pendeta-pendeta dari Barmen untuk mengkristenkan Tanah Batak, hasilnya sejak tahun 1880-1940, di belakangan “Reinische Missions Gesselschaft”, seluruh arus perdagangan ekspor dan impor di Tanah batak dimonopoli oleh “Hennemann Aktions Gessellschaft”. Diperkirakan, paska PD II total pengusaha-pengusaha nasionalpun tidak sanggup mendekati 10 persen dari volume perdagangan “Hennemen & Co,” dulu di Tanah Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)<br />1833 - 1930 M<br />Masyarakat Mandailing menderita dengan pendudukan Belanda setelah beberapa usaha mempertahankan diri, gagal. Eksodus ke Malaysia dimulai. Komunitas-komunitas diaspora batak di luar negeri terbentuk. Di Malaysia, Mekkah, Jeddah dan lain sebagainya.<br />1834 M<br />ABM mengirimkan tiga orang pendeta ke Tanah Batak. Yakni; Pendeta Lyman, Munson, Ellys. Kolonel Elout menempatkan Ellys di Mandailing untuk mengkristenkan masyarakat muslim di sana. Lyman dan Munson melanjutkan jejak Burton dan Ward.<br />Lyman dan Munson memasuki toba dengan seorang penerjemah, Jamal Pasaribu. Di sana mereka disambut baik. Namun setelah insiden penembakan mati seorang wanita tua oleh Lyman, raja setempat, Raja Panggulamau menolak kehadiran mereka.<br />Penembakan wanita tua, yang kebetulan, namboru sang raja tidak dapat diterima oleh raja. Lyman dan Munson mendapat hukuman mati oleh pengadilan lokal.<br />1834 - 1838 M<br />Pemerintahan Militer Belanda di Tanah Batak Selatan didirikan secara permanen. Komplek markas Besar Belanda didirikan berikut taman perumahan para pemimpin militer.<br />1838 - 1884 M<br />Kekuatan militer Belanda bertambah kuat. Sumatera Barat dapat dikuasai. Mandailing, Angkola dan Sipirok menjadi “Direct Bestuurd Gebied”, Raja Gadumbang tidak jadi dijadikan Sultan oleh Pemerintah Penjajahan Belanda, akan tetapi dibohongi dan hanya diberikan gelar “Regent Voor Her Leven”.<br />Pemimpin-pemimpin masyarakat Batak Islam yang tidak mau tunduk dengan Belanda di berbagai daerah, dibasmi. Silindung masuk ke dalam “Residente Air Bangis tahun 1973 dan Toba, yang belum takluk, dimasukkan pada tahun 1881. Kerajaan-kerajaan lain yang berhubungan dengan Kerajaan Toba tidak dapat berbuat banyak untuk membantu. Hegemoni Eropa tidak dapat terbendung. Manusia di nusantara hanya menunggu waktu untuk menjadi mangsa Eropa. Kerajaan Batak terisolir dan melemah. Rakyat sudah banyak yang pro Belanda.<br />1843 - 1845 M<br />Perbatasan Tanah Batak yang aman hanya pelabuhan Singkil dan Barus serta perbatasan darat dengan Aceh. Sisingamangaraja XI mengikuti Pendidikan Militer di Indrapuri, Kesultanan Aceh.<br />1845 - 1847 M<br />Aceh mengirimkan satu balayon tentara di bawah komando Teuku Nangsa Sati ke Toba. Bersama Yang Mulia Sisingamangaraja XI, Teuku menyiapkan perencanaan strategi gerilya. Pasukan komando gerilya dibentuk. Pertahanan dengan menggelar pasukan sudah tidak memungkinkan. Siasat ini pada tahun 1873-1907 sangat membingungkan pihak imperialis Belanda.<br />1848 M<br />Putra Mahkota, Pangeran Parobatu, sata-satunya anak laki-laki Sisingamangaraja XI lahir.<br />1857 - 1861 M<br />Zending Calvinist Belanda dari “Gereja Petani Ermeloo/Holland” (GPE) dengan gencar melakukan misi di Tanah Batak Selatan. Mereka antara lain; Pendeta Van Asselt di Parausorat, Sipirok, pendeta Dammerboer di Hutarimbaru, Angkola, Pendeta Van Danen di Pangarutan, Angkola dan Pendeta Betz di Bungabondar, Sipirok.<br />Misi; gagal. Masyarakat Muslim Batak yang sudah tidak berdaya dalam penguasaan Belanda menolak untuk dikristenkan. Belanda, tidak habis akal, mempercayakan misi pengkristenan Batak Selatan dan Utara kepada pendeta-pendeta Jerman, “Reinische Missions Gesselschaft” (RMG), yang menganggunr di Batavia, sejak diusir keluar dari Kalimantan Selatan oelh Pangeran Hidayat.<br />Belanda menghubungkan pendeta Fabri, pemimpin RMG di Jerman dengan pendeta Witteveen, pemimpin dari GPE. GPE mengalah, mundur dari Tanah Batak Selatan, karena kahabisan dana. Dengan banjir dana dari perusahaan Hennemann & Co, RMG memulai upaya misi kembali agar secepatnya Belanda dapat menguasai Tanah Batak dan menghancurkan Aceh di ujung sana.<br />1861 M<br />Pada tanggal 7 Oktober 1861, di dalam rumah pendeta van Asselt diadakan rapat bersama oleh pendeta-pendeta Belanda yang sudah aktif di tanah Batak bersamam pendeta-pendeta Jerman yang baru datang. Rapat ditutup oleh pendeta Klammer hasilnya; Pimpinan pengkristenan tanah Batak sudah berpindah dari tangan Pendeta Belanda ke tangan Pendeta Jerman. Pendeta Belanda Dammerboer serta van Dalen tidak menyukai posisinya menjadi bawahan seorang “Moffen”, Jerman. Mereka berhenti menjadi pendeta.<br />1861 - 1907 M<br />Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak yang masih dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara frontal Belanda belum mampu karena dipihak lain dan di dalam negeri mereka banyak menghabiskan tenaga unutuk menumpas pemberontakan-pemberontakan, sementara itu, kerajaan-kerajaan pribumi tidak menyadari keunggulan mereka.<br />Belanda kemudian menerapkan Devide et Impera dari pantai timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya swapraja. Tanah Batak dipecah menjadi:<br />1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja.<br />2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja.<br />3. Daerah Batak, Singkil, gayo, dan Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam Aceh.<br /> <br />Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:<br /> <br />1. Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di tanah Karo, Dusun<br />2. Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.<br />3. Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.<br />4. Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.<br />5. Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung diberi pengakuan secara hukum.<br />6. Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim didirikan dengan<br />7. Kepemimpinan Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku Kota Pinang.<br />8. Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan, misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila dan lain sebagainya dengan tujuan untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama, wilayah dan kepentingan ekonomi.<br />9. Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga.<br />10. Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.<br />Pihak Gayo yang dimasukkan ke Aceh dan orang-orang Batak Karo serta Simalungun tidak dapat lagi membela perjuangan Dinasti Sisingamangaraja karena mereka menganggap dirinya masing-masing sudah berbeda kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check point, untuk mengisolir rakyat setiap kerajaan dan membatasi pelintas batas. Kekuatan ekonomi, praktis, dikuasi Belanda. Kekuatan Tanah Batak mencapai titik paling lemah.<br />1863 M<br />Pendeta Nomensen dari Sipirok memasuki Silindung. Pengkristenan Tanah Batak Utara dimulai dan dikerjakan dengan sangat sistematis. Target ke selatan Batak, daerah Batak Muslim, dikurangi. Dengan beking seorang raja, pontas Lumban Tobing, yang sudah pro Belanda, sebuah gereja pertama didirikan di Hutadaman, Silindung. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)<br />1864 - 1866 M<br />Pangeran Parobatu, selama dua tahun, mengikuti Pendidikan Militer di XXV/Mukim, di Kesultanan Aceh. Setelah wisuda, pangeran juga membahwa oleh-oleh; Bantuan Pasukan Penempur dari Aceh, ke Bakkara.<br />1867 M<br />Penyakit Kolera menjangkiti lagi. Para tenaga medis Kerajaan gagal membendung epidemik ini. Yang Mulia Sisingamangaraja XI wafat karena kolera. Pangeran Parobatu naik tahta menjadi Sisingamangaraja XII dengan gelar Patuan Bosar.<br />Akibat epidemik ini, intensitas misi pengkristenan bertambah tinggi. Rakyat yang frustasi berduyun-duyun mendatangi Christian Community di Hutadame.<br />1867 - 1884 M<br />Sisingamangaraja XII selama 17 tahun memerintah di Bakkara. Menurut penulis sejarah pro Belanda, Sisingamangaraja memerintah dengan tangan besi, untuk mempertahankan “Singgasana Batak Pagan Priest Kings” yang sudah memerintah selama 12 generasi paska Dinasti Sori Mangaraja. Informasi ini tentunya untuk pengalihan perhatian orang-orang Batak di masa mendatang yang akan merasa kehilangan penguasa Batak yang mereka cintai.<br />Selanjutnya, para penulis itu menuduh Sisingamangaraja XII secara totaliter menentang Pemerintah Belanda, serta menentang infiltrasi dari Agama Kristen yang dibawa oleh pendeta-pendeta Jerman. Mereka menambahkan bahwa karena itulah orang-orang Batak yang sudah Kristen (dan lebih2 lagi yang sudah Islam) tentulah tidak mau mengakui seorang Batak Pagan Priest King.<br />Belanda, dengan dendam kesumat atas kewibawaan Sisingamangaraja XII, sengaja menanam bibit perpecahan dan pertikaian di masyarakat untuk dipanen oleh generasi Batak di masa mendatang. Paska Kemerdekaaan Indonesia, bibit itu melapuk dan tidak membuahkan hasil. Orang Batak hidup damai dalam toleransi beragama.<br />Raja Huta, Pontas Lumbantobing di Saitnihuta, Silindung, menjadi antipode dari Sisingamangaraja XII, maharaja di wilayah huta-huta Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).<br />Di tanah Batak Utara didirikan sekolah-sekolah dengan jumlah besar; Sekolah Dzending. Namun, demi misi imperialis, diskriminasi diterapkan. Anak-anak dari Sintua, tetua Gereja, mendapat prioritas masuk sekolah Zending. Untuk menjadi Sintua, seseorang harus membuktikan diri patuh terhadap Kristen. Orang-oranng tanah Batak Utara belomba-lomba menjadi Sintua. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).<br />Posisi Sisingamangaraja XII kehilangan legitimasi dan dukungan dari rakyatnya yang sudah Kristen karena sudah berlomba-lomba menjadi Sintua (idem).<br />Penduduk Dairi, Pakpak dan Simsim masih menjadi pengikut setia Sisingamangaraja XII. Dalam pertempuran dengan Belanda, Ibukota kerajaan yang sudah ditandai oleh tim penyusup sebelumnya menjadi sasaran empuk pasukan Belanda. Serangan-serangan artileri memaksa Sisingamangaraja XII, dengan pengawalan khusus dari rakyatnya orang-orang Gayo yang menjadi pasukan komando dari Aceh, pasukan yang diberikan Kesultanan Aceh, mengungsi di Dairi dan melancarkan serangan dari hutan belantara sana. (1884-1907). Sementara itu panglima-panglimanya yang masih setia, melakukan upaya defensif untuk menahan laju tentara Belanda.<br />1869 M<br />Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pendeta Ellys di Mandailing menemukan beberapa hambatan-hambatan, serta penyebabnya, dalam misi pengkristenan. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)<br />Aliran Baptist, merupakan kelompok yang sangat sedikit di dunia. Baptist melepaskan diri dari Gereja Roma Katolik, lebih dahulu daripada Protestan dengan Martin Luther-nya pada tahun 1517. Baptis mengkristenkan orang-orang dewasa dengan cara menyemplungkan diri, seluruh badan, di dalam sungai. Seperti halnya oleh Johannes Pembaptis sebelum Jesus.<br />Amerina Baptist Misson dan British Baptish Mission tidak mau lagi mendanai Pendeta di Mandailing yang berpenduduk Muslim dan taat beragama.<br />Menurut Parlindungan, Dinasti Romanov, di Rusia beragama. Kristen Ortodoks Katolik. Akan tetapi di Ukraina terdapat sedikit aliran Baptist keturunan Belanda yang disebut; Mennoniets, karena mereka adalah keturunan dari Menno Simons. Baptist, Doopsgezinden, di Negeri Belanda habis dibasmi oleh Protestan, di dalam periode 1568-1648.<br />Orang-orang Baptist Belanda melarikan diri ke Ukarina. Di sana, mereka dilindungi oleh Dinasti Romanov, karena kepandaian mereka di bidang pertanian dan peternakan.<br />Dinasti Romanov saat itu sedang asyik menanam pengaruh di Seluruh Asia, mulai dari Selat Dardanella, sampai ke Vladiwostok. Romanov kemudian mengatur kepergian Pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina ke Mandailing 1869-1918.<br />Gereja yang di Mandailing didirikan pada tahun 1838 dirombak dan diganti dengan Gereja model Basilyk Rusia, lengkap dengan atas yang berbentuk “bawang” , 1869. Misi pendeta Mennoniet inipun berakhir karena jatuhnya Tsar Rusia yang dibantai oleh kaum Komunis. Pendeta Iwan Tissanov, pendeta yang teakhir dari aliran ini kemudian pindah ke Bandung.<br />Keturunan pasukan Padri bermarga Lubis, Kalirancak Lubis dan Jamandatar Lubis, yang pernah merebut Toba dan menguasai Ibukota Bakkara, di bawah pimpinan Panglima Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, kemenakan S. M. Raja X, menjadi Kristen Protestan Luteran di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Salah satunya adalah Martinus Lubis pahlawan Medan 1947.<br />1870 M<br />Peta politik populasi Tanah Batak:<br />Di Tanah Batak Selatan; 90% Beragama Islam, 10% lagi terdiri dari Muslim Syiah, Kristen Protestan dan Baptist.<br />Di Tanah Batak Utara; 90% Beragama Monoteis Adat Sisingamangaraja (Parmalim atau Sipelebegu) dengan Sisingamangaraja sebagai Raja dan Pemimpin Agama dan Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan, Maha Pencipta serta Maha Agung) sebagai Tuhan.<br />Sementara 10 persen lagi; Muslim dan Protestan di Silindung.<br />1873 M<br />Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.<br />Kesabaran Sisingamagaraja XII sudah menipis, tindakan ofensif ditingkatkan. Pertempuran Tangga Batu II meletus. Sisingamangaraja XII terluka, kena tembak dan berdarah. Belanda mengumumkannya ke seluruh penjuru. Tujuannya, agar hormat dan kepercayaan orang-orang Batak terhadap raja mereka, SM Raja XII, goyang.<br />Di periode yang sama, dengan bala tentara yang lebih banyak, kebanyakan terdiri dari pasukan paksaan dari daerah-daerah jajahan lainnya; Halmahera, Madura dan Jawa, Belanda melumpuhkan kekuatan tempur SM Raja. Sisa-sia kekuatan hanya untuk defensif. Dari dataran tinggi Humbang (sekarang di Kab. Humbang Hasundutan) Bakkara dibombardir dengan senjata Artileri Berat, namun Belanda masih takut untuk melakukan serangan infanteri.<br />1881 M<br />Toba resmi diduduki Belanda. Di Balige ditempatkan Controleur B.B. Di Laguboti ditempatkan Detasement Tentara Belanda. Pendeta Pilgram di Balige dan Pendeta Bonn di Muara mulai mengkristenkan penduduk yang sudah menyerah dan tak berdaya. Sementara itu, tentara Belanda diperkuat dan Laguboti menjadi Garnizon Tetap.<br />Pasukan SM Raja mulai kehilangan pasokan senjata dan amunisi dari dua pabrik senjata di kedua tempat tersebut, yang dibagun atas alih teknologi dari Kesultanan Aceh.<br />1882 - 1884 M<br />Sisingamangaraja XII di ibukota Bakkara meningkatkan kewaspadaan mereka dalam sebuah upaya ofensif dan melakukan usaha mendeportasi elemen-elemen Belanda, yang menyusup jauh dan membeberkan kelemahan kerajaan, dan Pendeta-pendeta Jerman keluar dari wilayah kedaulatan Tanah Batak.<br />Yang Mulia, Patuan Bosar, menjanjikan uang sebanyak 300 ringgit burung untuk setiap orang yang memancung seorang pendeta Jerman dengan membawa bukti berupa kepala yang dipancung (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan). Terutama Pendeta Bonn di Muara, yang lalu lalang dan mengintai di daerah antara Bakkara dan Balige yang sudah terlalu dekat dengan pusat kekuasaan Patuan Bosar.<br />1883 M<br />Destor Nasution, putera dari Jarumahot Nasution alias Hussni bin Tuanku Lelo, menjadi pendeta. Tuanku Lelo merupakan salah satu panglima tentara Islam Padri yang merebut Bakkara di era S. M. Raja X.<br />Destor merupakan orang Batak pertama yang ditahbiskan menjadi pendeta dari Marga Nasution. Ayah Tuanku Lelo merupakan Qadi Malikul Adil, Menteri Kehakiman di pemerintahan Padri, dan orang Batak pertama yang naik haji ke Mekkah, 1790.<br />Pasukan Sisingamangaraja XII dengan sisa-sisa kekuatannya melancarkan serangan frontal ke Muara. Tujuannya. Merebut kembali tanah Toba, dan mengusir Belanda di Laguboti. Pendeta Bonn dan Istrinya berhasil melarikan diri.<br />Belanda membalas, Bakkara dikepung dengan bombardir artileri dan serang infanteri. Ibu kota Bakkara, hancur lebur.<br />S. M Raja hijrah ke Tamba dan mengatur serangan dari sana. Pasukan khusus dari Aceh masih setia melindungi ‘Sri Maharaja’ Patuan Bosar.<br />Dukungan rakyat muncul kembali tatkala mendengar patriotisme Putri Lopian Boru Sinambela yang sejak usia 11 tahun selalu mendampingi ayahnya, S. M. Raja XII, Pahlawan Nasional Indonesia. Secara khusus sang putri selalu melakukan ritual untuk memintakan pertolongan dari Debata Mulajadi Na Bolon.<br />Melihat opini rakyat yang mulai menentang, Belanda tidak terima. Karisma sang Putri di bendung dengan tangan besi. Pembicaraan mengenai S. M Raja dan putrinya akan mendapat hukuman penjara. Akibatnya lambat laun rakyat lupa kembali, apakah rajanya masih berjuang atau tidak. Rakyat terintimidasi untuk berbicara mengenai rajanya. Perang Ideologi.<br />1884 - 1905 M<br />Padangsidempuan menjadi ibukota keresidenan Air Bangis.<br />1884 - 1907 M<br />Sisingamangaraja XII, Pahlawan Nasional Indonesia dengan heroik meneruskan perang melawan penjajah dari Dairi. Tanpa sedikitpun bantuan dari orang-orang Toba di Silindung yang menyibukkan diri untuk menjadi Sintua agar anaknya diterima sekolah di Zending.<br />1905 M<br />Ibukota Keresidenan Tapanuli dipindahkan ke Sibolga.<br />1907 M<br />Pasukan Sisingamangaraja XII bersama panglima dan pengawal pribadinya dari Aceh terkepung di hutan belantara Dairi. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Dalam upaya menolong putrinya yang terluka, Sisingamangaraja XII, gelar Patuan Bosar, Ompu Raja Pulo Batu, tewas diberondong Belanda. Jenazahnya dicincang dan dibuang begitu saja di hutan agar tidak dilihat oleh warga Batak yang pasti akan menimbulkan kemarahan besar. Menurut sumber lain, Jenazahnya dikuburkan di Balige atau Parlilitan. Masih perlu didebatkan. Keturunan S.M. Raja yang masih hidup ditawan dan dijauhkan dari masyarakat untuk tidak memancing pertalian emosi dengan warga Batak. Mereka di tawan dan dibuang ke sebuah Biara terpencil. Di sana mereka mati satu per satu. Menurut cerita lain, sebelum mati mereka sudah dibaptis.<br />1912 M<br />Perkembangan Islam, yang tidak diperbolehkan Belanda untuk mengecap pendidikan, walau paska kebijakan balas budi, kemudian bangkit mendirikan Perguruan Mustofawiyah. Disinyalir sebagai sekolah pribumi pertama di tanah Batak yang sudah modern dan sistematis.<br />Haji Mustofa Husein Purba Baru, dari marga Nasution, merupakan penggagas perguruan ini. Dia, yang dikenal sebagai Tuan Guru, merupakan murid dari Syeikh Muhammad Abduh, seorang reformis dan rektor Universitas Al Azhar.<br />Lulusan perguruan Musthofawiyah ini kemudian menyebar dan mendirikan perguruan-perguruan lain di berbagai daerah di Tanah Batak. Di Humbang Hasundutan di tanah Toba, alumnusnya yang dari Toba Isumbaon mendirikan Perguruan Al Kaustar Al Akbar pada tahun 1990-an setelah mendirikan perguruan lain di Medan tahun 1987. Daerah Tatea Bulan di Batak Selatan merupakan pusat pengembangan Islam di Sumut.<br />HKBP sendiri pernah menjadi gereja protestan terbesar di Asia. Para turunannya mendirikan gereja Angkola, Karo dan Dairi di berbagai tempat di Indonesia. Demikian pula di Kesultanan Langkat, para keturunan Jatengger Siregar gelar Tuanku Ali Sakti mendirikan ‘Lilbanaad College’.<br />1923 M<br />Arsip Bakkara diamankan pendeta Pilgram<br />1928 M<br />Jong Batak merupakan elemen sumpah pemuda. Orang-orang Batak tanpa beda wilayah, marga dan agama bersatu mengusir Belanda.<br />1945 M<br />Tanah Batak merupakan bagian dari Indonesia merdeka.Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-24286488643609837362009-06-25T11:28:00.000+07:002009-06-25T11:29:35.291+07:00IS THERE A BATAK HISTORY?By: Anthony Reid<br /><br />Working Papers Series No. 78, Asia Research Institute, National University of Singapore<br /><br />The 8-10 million Bataks of northern Sumatra are one of Indonesia’s most important and intriguing groups. They have clearly been in Sumatra for thousands of years. They have attracted a large number of studies of religion and missiology, and a few good ethnological and language studies. Yet they remain a people without history. It seems a classic case of Eric Wolf’s argument, in Europe and the People Without history, that the neglect of the history of such stateless people was not just an absence but a distortion.2 Ethnographers and colonial officials of the nineteenth and twentieth centuries created such categories as highlanders, primitives, proto-Malays, and indeed Bataks as ethnic categories, and assumed their unchanging isolation from the currents of world history. But the Bataks, who were forcibly brought into the scholarly world’s consciousness at that stage were, to follow Wolf’s argument, already wholly transformed by international influences – their ‘isolation’ was itself an historical process.<br />Ashis Nandy makes the more specific charge that it is the statelessness of pre-modern non- Europeans that has denied them a history. In his view, my profession — modern secular history as practised in the academies — is inextricably linked as a mode of analysis with the modern nation state and its rise. History traces the lineage and legitimacy of modern states, and distorts our understanding of the past by doing so. Highland Sumatra does appear to support his case. Until the twentieth century, the great majority of Sumatra’s people, and its complex, irrigated-rice, literate societies, were in the highlands. Yet these are never mentioned in the historical record. Virtually the only way in which Sumatra appears in histories of either Indonesia or the wider world before 1500 (except as a visiting-point of travellers like Marco Polo) is through Sriwijaya, thought to have ruled a large area from its seat in Palembang between the 7th and the 10th centuries. Concrete evidence on the ground about this state and its people is as scarce as what we know about highland societies in a similar period. Yet because Sriwijaya appeared as a state in Chinese and Arab records, it alone is celebrated in the history books. Of course I could not resist testing the coupling of “Batak” with “History” in a Google search.<br />Sure enough, the popular items at the top of the Googling process revealed no books or articles on the subject, but rather items such as a new keep-fit training apparatus called a Batak (and which seems already to have a history), as well as a village in Bulgaria, “forever associated with the April Uprising of 1876, one of the most heroic events in Bulgarian history”. The Batak of Bulgaria have a history, it appears, but not those of Sumatra.<br />HISTORIOGRAPHY<br />The curious absence of Batak history does indeed apply chiefly to the history as written by academics, as Ashis Nandy might have expected. To my knowledge only three professional historians have written dissertations in English on Batak history. All wrote exclusively about the twentieth century, and all regrettably remain unpublished in the original English.4 In French there was a unique attempt by Daniel Perret at a more comprehensive history, albeit of the North Sumatra region rather than Bataks per se. Fortunately church or mission history is better served, especially in German. The publications here include one extremely detailed history of the early Karo mission written by anthropologist Rita Kipp.<br />The general dearth of histories of any highland people in Indonesia is reflected in the national histories of Indonesia and regional histories of Southeast Asia. The more detailed studies may report the Christianization and incorporation of highlanders into the colonial state at the end of the nineteenth century, but nothing before that and almost nothing after. One of the recent histories, that of Jean Taylor, has no mention whatever of Bataks.<br />Bataks themselves have written history, though to a very limited extent in the professional academy. The favourite topic of popular writers was, as in many other regions, the official link between minority ethnicities and the nationalist narrative—a ‘national hero’ sanctioned by the process inaugurated by Sukarno in 1959. Singamangaraja XII (1845-1907) was surprisingly the first Sumatran to make this list, in 1961, after a campaign throughout the 1950s by some of his descendents and affines to make him the pre-eminent Batak hero. He was well-placed as not only the last major resistance leader against the Dutch, hunted down and killed in 1907, but also the scion of the dynasty to approach nearest to sacred king-like status, albeit most respected by the Sumba group of Toba Batak lineages spread around his western-lake redoubt of Bakkara.<br />The first hagiography was published in 1951 by Adniel Lumban Tobing, who was also the leading figure in a festive reburial of his remains and the erection of a statue in his honour in the Toba Batak heartland, at Tarutung, in 1953.8 Further writing in this genre was stimulated by the success of this campaign in having Singamangaraja XII declared an Indonesian national hero in 1961, and a huge statue erected in his honour in Medan (marking the Toba Bataks’ definitive arrival in the regional capital). Mohammad Said was one of the pioneers to build on Tobing’s slim work by marrying Dutch sources with local legend. Among a plethora of speculative works which followed, the book of Professor Bonar Sidjabat of the Jakarta Theological Seminary sought to establish Singamangaraja’s credentials in the Indonesian academic world.<br />The increasing role of Singamangaraja XII in Toba Batak popular self-identification was based largely on this success on elevating him to the official national pantheon, and therefore into the national textbooks read by all Indonesian school-children. For later generations educated in Indonesian national schools, he became the sole Batak historical figure. His lineage, although historically shadowy before the nineteenth century, could also represent a simulacrum of a state, a key for later Batak intellectuals to try to read the ‘state’ back into their earlier history.<br />In the 1957 reissue of his original 1951 book, Adniel Tobing put a version of this legendary lineage into print, beginning with the miraculous virgin birth of the progenitor of the line. The imaginative engineer Mangaradja Parlindungan took speculation of this kind to new heights in his 1965 book, Tuanku Rao, of which more later. Batara Sangti, a Toba Batak government official (wedana) who had accepted the task in the 1950s of writing an ‘official’ history of Singamangaraja XII, finally produced his book well after Parlindungan’s, in 1977. This was the first book to call itself a ‘Batak History’, and was hailed by its publisher with the words, “until this time it can be said that there was no book of ‘Batak History’ of a general and complete kind, which was on a level with the histories of the kingdoms that formerly existed in the northern Sumatra region and/or Indonesia”. He took the portentous step of providing dates for these shadowy figures, by the simple device of allowing thirty years between the birth dates of each of the twelve. By this means ‘history’ was pushed back to the imagined birth of the first SSM in 1515.<br />The most interesting figures in linking Batak sources with international history-writing are two Batak intellectuals to whom we must return. Mangaradja Parlindungan has puzzled both historians and the Batak identity industry ever since his remarkable book Tuanku Rao was published in 1965. He reconstructed Batak history based on evidence he claimed his father and the Dutch BB-ambtenaar and Batak-kenner C. Poortman had assembled, reconciling oral and written Batak sources, many of them mysteriously lost for any other researchers, with the data available in Acehnese and Dutch writing. Secondly, there was the poet Sitor Situmorang, who began to take an interest in Batak history when in a kind of exile in Holland in the 1970s and ‘80s. His first writings on Singamangaraja XII were compatible with the tradition of Dutch ethnography, and to ensure the association did not sully his credentials, he never mentioned Parlindungan or Poortman in his work. After his return to Indonesia, however, he developed the idea of “the institution of Singamangaradja as the principle of Toba unity”. He sought to qualify Lance Castles’ reading of ‘statelesslessness’ through the notion of the ritual community or bius, 150 of which were individually sovereign throughout the Toba Batak territory, yet formed a kind of federative unity through the Singamangaradja. He made a bold use of Batak mythology to construct what he called “The socio-political history of an institution from the 13th to 20th centuries."<br />‘BATAK’ IN THE HISTORICAL RECORD<br />Historians are anxious to find voices that speak directly from a vanished past rather than through the medium of multiple generations of memory. Inscriptions and archaeological evidence from within, and the information of travellers from without, are their preferred keys to the proto-historic past. There is no doubt that we are at a terrible disadvantage in this respect with highland peoples such as those in Sumatra. Tomé Pires, our most reliable recorder of all manner of states and societies in sixteenth-century Southeast Asia, merely records “There are many heathen kings in the island of Sumatra and many lords in the hinterland, but, as they are not trading people and known, no mention is made of them”.18 As with all shadowy protohistories, the question arises with Batak whether we are on safer ground tracing the history of a place, the domain currently dominated by the six major Batak ethnolinguistic groups of today’s North Sumatra province, or of a people called Batak or identifiable in some other way. And if the latter, what does this concept mean before the period of national self-definition in the twentieth century?<br />In terms of place, physical remains have so far offered us three major urban complexes in the North Sumatran area prior to the Islamization of coastal ports. All must have been important gateways for the trade of the interior highlands, though on the borders of what is thought to be Batak territory today. Starting with the oldest, they are:<br />• The camphor and benzoin port of Barus on the west coast, flourishing from the 8th to 13th centuries, and recently excavated by a French-Indonesian team led by Claude Guillot; <br />• The Buddhist temple complex of Padang Lawas, near the upper Baruman River in the south, which dates from the 11th to 14th centuries. The ruins lie as far from the sea as one can be in North Sumatra, in what is an unproductive grassland in modern times, but is at a low point in the Bukit Barisan mountain range which may have been a transit route for early traders. <br />• The east coast port of Kota Cina, near Medan, which flourished from the 12th to 14th centuries, and must have had a role in the presumably Karo-Batak kingdom of Aru, a major maritime and piratic power from the 13th to 16th centuries. <br />While archaeology remains in its infancy in this area, it is safe to conclude that these would have been sites through which Indian (especially), Chinese, Javanese and other influences entered the Bataklands at this time, if not before. Kota Cina is usually associated with the influx of Hindu elements among the Karo, and Barus among the Toba Batak. But Padang Lawas remains mysterious, and the new work there may prove it to be a more important key to a state-forming ‘path not taken’.22<br />The only element of ‘Batakness’ spectacular enough to be noted in the earliest sources is their cannibalism. Foreign sources note its presence in Sumatra long before the appearance of the term ‘Batak’ or any other feature which could be identified with it. Ptolemy was the first, around 100 CE, to record the presence of cannibalism in what he identified as an island cluster of Barusae, presumably Sumatra. Following him a long series of Arab, Indian and European sources, including Marco Polo, attest to the existence of cannibalism in the island, including on its more accessible north coast. Nicolo da Conti was the first European, in 1430, to use the term Batak (Batech) for this cannibal population in Sumatra.23<br />The term Batak appears even earlier in Chinese sources, but as a polity or place, not a people. Chau Ju-kua (1226) has an obscure reference to Bo-ta as connected with Sriwijaya, while the Yuan (Mongol) dynastic chronicle mentions Ma-da next to Samudra (Pasai), both offering tribute to the Imperial court in 1285-6. Ma-da would be pronounced Ba-ta in Hokkien, the likely language of Chinese trader informants.24<br />This thirteenth-century Bata appears to have survived to the beginning of the sixteenth century, the first great watershed in Batak self-definition because of the confrontation with Islam. About 1515, before the rise of Aceh, Tomé Pires described a loosely Muslim kingdom in the same area.<br />The kingdom of Bata is bordered on one side by the kingdom of Pase and on the other by the kingdom of Aru (Daruu). The king of this country is called Raja Tomjano.25 He is a Moorish knight. He often goes to sea to pillage. He is the son-in-law of the king of Aru. He brought in the ship Frol de la Mar which was wrecked in a storm off the coast of his country, and they say he recovered everything water could not spoil, wherefore they say he is very rich.26<br />Pires’ most specific geographical information is that this Batak possessed the sources of petroleum in the Tamiang-Perlak area, later a precious resource for Aceh. The fact that the king was listed as Muslim and a son-in-law of the Aru king, also in some sense Muslim, indicates that the religious situation was still fluid, the inhabitants of the island recognized themselves by place rather than ethnicity or religion, and that the natural centre for state-like formations for the interior peoples was at their points of connection with maritime trade. But Pinto did not list this presumably hybrid Karo state as cannibalistic; that honour was reserved for the west coast area above Singkil.27<br />For Mendes Pinto writing of 1539, northern Sumatra had been transformed by the expansion of Aceh along the north coast, swallowing whatever kingdoms there were between its Banda Aceh centre and Aru. This militantly Islamic character of this expansionism was vividly described by Pinto, but is also evident in other Portuguese, Turkish and Acehnese sources on the sixteenth century confrontation between an Aceh-led commercial coalition and the Portuguese, with whom were associated both non-Muslims and kingdoms like Aru whose Islam had rested lightly on the ruling court.28 This confrontation seemed already to have turned the term Batak definitively into a description of a people; a people defined by their resistance to Islam in this militant new form. But it was still a people with a king, “the King of the Bataks”, whose capital was at Panaju, now on the west coast, about 8 leagues (50 km) up a river Pinto calls Guateamgim.29 This was presumably one of the west coast rivers to the south of Singkil giving access to the camphor and benzoin land west of Lake Toba. The capital’s name Panaju is reminiscent of the kingdom of Pano (Pão) mentioned in the same area by Pires.30<br />Pinto makes his story of the Bataks a tragic one, with a king first refusing the offer of Islam and determining to fight the Acehnese sultan, then making a treaty and marriage alliance with him, which the sultan treacherously broke by attacking and killing his sons. The Batak king then assembled a major alliance of local chiefs to fight the Acehnese, whose Turkish reinforcements however proved too much for him. He then retreated far up the river.31<br />This appears to mark the last of coastal ‘kingdoms’ associated with Bataks either by name or life-style. The ports were hereafter all Muslim to some degree, and the people of the uplands who resisted the Acehnese jihad were called Batak by them. Thus Barros, writing in midcentury, could report that Sumatra is inhabited by two kinds of people, moros [Muslims] and gentios [heathens]; the latter are natives, while the former were foreigners who came for reasons of commerce and began to settle and populate the maritime region, multiplying so quickly that in less than 150 years they had established themselves as senhores [lords] and began calling themselves kings. The heathens, leaving the coast, took refuge in the interior of the island and live there today. Those who live in the part of the island facing Malaca are called Batas. They are the most savage and warlike people in the whole world; they eat human flesh.32<br />The definition of Bataks as being those who resisted Islam and continued to eat pork was shared by a seventeenth century Aceh text, the Hikayat Aceh. It twice mentions Batak as an ethnic group. In a succession conflict of the 1590s it portrays a rebel prince stopping at Barus on the way to challenge his brother at the capital, and recruiting two upriver Batak datu (healers), “skilled in the arts of sorcery (sihir) and magic (hikmat)”, who successfully caused the king to become sick. 33 A second incident is more surprising, portraying the young Iskandar Muda encountering ‘an old Batak’ on a hunt for a wild buffalo, who tricked the prince into giving him a sword and kris, and then scampered off into the forest.34 This presumably says nothing about ethno-linguistic identity, but means only that there were still villagers unincorporated into the Aceh state and religion very close to Banda Aceh, and that such people were called ‘Batak’. This became in succeeding centuries a definition that many Bataks accepted. Nineteenth-century witnesses assert that when Minahassan missionary teachers, and Chinese traders, penetrated into Batak areas for the first time they were also considered Batak, since they ate pork.35<br />“ISOLATION” OF THE LONG 18TH CENTURY<br />The aggressive expansion of Islamic Aceh in the period 1520-1630, at the expense of all the varied coastal states, ensured a separation not only between Bataks and Islam, but also between Bataks and the port-states of the coast. Batak “statelessness” can be dated from this period, when states came to be associated by Batak with an aggressive ‘other’. This statelessness was however qualified. The Karo and Simalungun on the east coast, and the Toba Batak on the west, each preserved from the earlier period a certain memory of state, often linked through tradition with Aceh. Thus the four Sibayak who had a certain ritual primacy in the Karo area, and the four Raja who held a somewhat stronger position in the Simalungun area, were popularly believed to have been inaugurated during the period of Aceh hegemony over the coast.36 Parlindungan claims Toba sources from Bakkara chastised the Karo and Simalungun for erecting their own states and thereby falling away from the Sori Mangaradja dynasty, but it is very doubtful there was ever such a sense of common identity among the different ethno-linguistic groups.<br />Many Toba Batak traditions also linked a principal of sacred descent with the coastal kingdoms they remembered – Aceh and Barus. The latter was long recognised as a crucial port for Toba Batak, and therefore some ritual tribute was to be expected. Joustra was struck by the surprisingly uniform set of traditions about the Barus link with Bakkara and the Singamangaraja line, though I will present it here in the form of the Barus Hilir chronicle edited by Jane Drakard. This describes the journey of the founder of the Muslim dynasty of Barus Hilir, Sultan Ibrahim, through the Batak territories prior to establishing his kingdom on the coast. First in Silindung, and then at the Singamangaraja’s sacred place of Bakkara, and finally in the Pasaribu territory, the local chiefs pleaded with him to stay and become their king. At Bakkara he urged the Bataks to become Muslim, because then they would be one people (bangsa) with him and he could stay as king. The Bataks responded apologetically, “We do not want to enter Islam. Whatever else you order we will obey”. He therefore moved on, but not before fathering a child by a local woman, who became the first Singamangaraja. In each place agreements were sworn to by both sides, establishing the long-term relationship between upland Batak producers on one hand and coastal Malay traders on the other. These included establishing the ‘four penghulu’ of Silindung as a supra-village institution linked to the Barus trade.<br />Since Barus and other ports on the west coast were themselves frequently under Aceh suzerainty, it is not surprising that Aceh also figured in Batak memory. Its ritual preeminence over the Singamangaraja line was acknowledged in various ways in the betterknown nineteenth century, including the Singamangaraja’s seal and flag, both of which appear modelled on those of the Aceh Sultan (see fig. 1). This link, mythologised in the mysterious Batak progenitor-figure Raja Uti who disappeared to Aceh, may go back to the sixteenth or seventeenth century links.<br />For Parlindungan, however, and the Batak manuscripts of the ‘Arsip Bakkara’ he claims as a source, there was another powerful connection with Aceh in the late 18th century. He claims that these documents reveal a treaty of friendship between the otherwise unknown Singamangaraja IX and Sultan Alauddin Muhammad Syah, known to have ruled Aceh uneasily from 1781 to 1795. The treaty purportedly agreed that Singkil was Acehnese, the Uti Kanan (Simpang Kanan?) area Batak, and Barus a neutral zone. But the Acehnese cannon which sealed the deal caused such havoc among some elephants at Bakkara that Singamangaraja IX was killed by one of them.39<br />As so often with Parlindungan’s fanciful stories, there seems to be something of substance in this. In the 1780s, the Singkil area was developed for pepper-cultivation, and the limits of Acehnese control became an urgent concern. Acehnese raided the British outstation of Tapanuli (Sibolga) in 1786, and the British responded by attacking some Acehnese forts.40 This was indeed a time, in other words, when Acehnese would have sought to lock Batak suppliers and traders into their networks rather than the British ones.<br />Let me throw in a further fanciful vignette, if only to further undermine what remains of the idea of Batak “isolation” during the long 18th century. In 1858 a Frenchman or Eurasian called De Molac told a Pondicherry newspaper that in the last quarter of the 18th century “his family settled in the most savage part of Sumatra, established magnificent agricultural establishments there, acquired great influence among the natives and succeeded in reforming their customs”. The head of the family “had recently been elected chief of the confederation of Bataks, a Malay people whose lands border Dutch possessions and the kingdom of Aceh.” 41 While no doubt largely invented, this story is sufficiently consistent with the supernatural inferences drawn about 19th century visitors to the Batak highlands, including Burton and Ward, Van der Tuuk and Modigliani, that we should not be surprised if such a pattern began earlier.<br />PADRI INCURSIONS<br />The nineteenth century was another time of great upheaval for the Bataklands. The Christianisation of its last three decades is rather well documented by western and Batak writers, but the traumatic Padri invasions remain poorly covered. By far the most detail is provided by Parlindungan, and is therefore highly suspect. Yet this episode is so important that it demands serious attention. Batak sources agree that some of the most militant of the Islamic marauders who brought fires and sword to the Toba area were themselves newlyconverted Bataks. Singamangaraja X was killed by a militant Padri they called Si Pokki, around 1830 according to most authorities. Parlindungan however puts this event in 1819, and traces the source of the hostilities to cleavages within the Singamangaraja lineage itself, with Tuanku Rao presented as an alienated Batak turned militant Muslim. In any case, this event marked the historic emergence of the Singamangaraja dynasty as a symbol of Batak unity against outside threats. It begins a period of upheaval as these unprecedented threats assail the mountain strongholds one after the other. And for these upheavals of the early nineteenth century there are enough traces in the pustaha as well as European sources to create the stuff of real historical debate.<br /> <br />CONCLUSION<br />So, is there a Batak history?<br />Yes, there have been some ingenious attempts by Batak authors to extend the known story back in time to the sixteenth century, even if this has not yet made a significant impact on the received history of the professionals. Yet even these Batak labours remain a somewhat perverse attempt to make Batak history more like every other civilizational story, with a respectable state to give it meaning.<br />Should not the glory of the Bataks be rather their success in managing without states, and the real challenge of the Batak historian be to show how social and economic history could for once be written without the distorting lens of state-imposed hierarchies?<br />It is not an easy task, but I believe that there is much that can be done. Let me end with just three avenues which seem particularly promising, if challenging.<br />The difficult Batak manuscripts, the pustaha. They have so far seemed so difficult and so ahistorical as not to repay sustained effort to master their contents. Yet the claims of Parlindungan/Poortman are so suggestive, those of Sitor Situmorang so ingenious, that somebody ought to follow these tracks systematically, to establish what can be known about the connections with Islam, with Aceh and Barus, and with the east coast; what can be saidabout the Padri incursion and the social upheavals they brought, and what was the dynamic of Batak society in that century before Christianisation.<br />The ‘underside’ of history can be accessed through the slaves who found their way to Melaka, Padang, Batavia, Penang and Singapore. There is an unfortunate avoidance of this feature by nationalist historians, though the documents are richer on slaves than any other non-elite category. It may well be, for example, that the Sumatran slave who accompanied Magellan around the world, Enrique, was as much a Batak as anybody at that time.42 Penang in 1835 counted 561Bataks among its population, and some did enter into court and other records before being assimilated into Malay or Chinese populations.43<br />A fuller examination of material culture, including the textiles which Sandy Niessen used to such effect; the systems of trade and exchange which effectively united the coastal regions and the interior of Sumatra in an efficient four-day market cycle;44 and the ritual systems which helped establish the coherence of Batak society.<br />By these and other means our successors may eventually reveal through Batak history how to truly write a history without states. I wish them well.Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-29638679910632929922009-05-05T15:03:00.000+07:002009-05-05T15:04:12.532+07:00Misteri Prasasti Dolok TolongTidak banyak literatur yang membahas eksistensi prasasti Dolok Tolong di Balige, Kabupaten Toba Samosir ini. Seperti prasasti dan inskripsi lain yang berada di Tanah Batak di Tapanuli, prasasti Dolok Tolong seakan tenggelam dengan eksistensi ribuan prasasti di Indonesia.<br />Walaupun prasasti ini tidak akan berpengaruh besar terhadap sejarah Indonesia secara keseluruhan, namun diyakini keanehan tetap ada karena prasasti ini tepat berada di sekitar jantung Tanah Batak. Bahkan Balige merupakan pusat perdagangan kerajaan Batak sejak dahulu kala dengan istilahnya; ‘Onan Bolon’.<br />Di Onan Bolon inilah berbagai bentuk hukum dan konstitusi diamandemen dengan keterlibatan langsung rakyat dan masyarakat yang juga memanfaatkan onan sebagai pusat transaksi dagang yang memang menjadi tujuan utama.<br />Prasasti Dolok Tolong ini seakan menjelaskan sekali lagi pluralisme masyarakat Tapanuli dan Batak yang menjadi cikal bakal budaya toleransi dan tenggang rasa yang tinggi yang dianut oleh setiap orang Tapanuli sampai sekarang ini. Sikap itu tampak dari bentuk pemikiran yang terbuka atas segala bentuk ide dan konsep. Tentunya, terdapat juga kemungkinan adanya bagian kecil orang Batak yang berpikiran picik seperti halnya di berbagai tempat lainnya di Indonesia. <br />Tapanuli, seperti halnya daerah lain di Indonesia, merupakan daerah yang juga banyak mendapat pengaruh dari dunia luar. Beberapa manuskrip kuno seperti Sejarah Raja-jara Barus, Hikayat Raja Tuktung dan Hikayat Hamparan Perak dan lain sebagainya, banyak menceritakan struktur masyarakat dan sosial Batak di zaman dahulu. Baik itu penjelasan mengenai saat-saat pembentukan sistem hukum dan perundangan-undangan maupun penjelasan mengenai peran orang Batak sebagai penyebar agama Islam di sekitar daerah yang sekarang menjadi bagian dari Sumatera Utara.<br />Dari berbagai manuskrip itu didapat sejarah Kerajaan Balige di tahun 1500-an yang saat itu diperintah oleh putra bungsu dari Si Raja Hita, putera Sisingamangaraja I yang menghilang dari Bakkara. Abang sulung dari Raja Balige tersebut bernama Guru Patimpus, seorang Raja dan Ulama, yang kemudian bermigrasi ke pesisir Timur Sumatera. Dia, yang memiliki anak-anak yang hafizd al-Qur’an, dikenal sebagai pendiri Kota Medan di tahun 1590. <br />Selain bukti sejarah tersebut, eksistensi prasasti Dolok Tolong diyakini merupakan bukti utama atas persinggungan budaya Batak dengan peradaban Hindu dan Buddha di Indonesia. <br />Menurut berbagai literatur yang secara terpecah-pecah menyinggung bukti sejarah ini, prasati ini merupakan prasasti atas eksistensi orang Majapahit di Tanah Batak. Saat itu, pasukan marinir Majapahit mengalami kekalahan pahit di Selat Malaka. Melalui sungai Barumun mereka menyelamatkan diri ke daratan Sumatera sampai ke suatu daerah di Portibi. Di sana, mereka dicegat masyarakat sehingga membuat mereka terpaksa melanjutkan pelarian sampai ke Bukit Dolok Tolong di Balige. Di Gunung inilah mereka meminta suaka politik kepada seorang Raja di tempat dari sub-rumpun marga Sumba (Isumbaon) yang saat itu menguasai wilayah tersebut.<br />Dolok Tolong, yang juga dikenal dengan nama Tombak Longo-longo Sisumbaon, ini merupakan sebuah pegunungan yang lumayan tinggi, dari puncaknya pandangan dapat di arahkan ke tanah Asahan, Labuhan Batu dan Angkola Sipirok dengan pemandangan yang sangat mempesona.<br />Diceritakan, seorang Pangeran yang mempimpin pelarian tersebut akhirnya memerintahkan untuk membuat prasasti tersebut sebagai sebuah hasil penjanjian dengan Raja dari marga Sumba tersebut dimana mereka diijinkan untuk tinggal di wilayah itu.<br />Pendapat lain mengatakan bahwa Pangeran tersebut juga menikahkan seorang putri yang ikut dalam rombongan pelarian kepada seorang raja Batak di tempat. Putri tersebut bernama Si Boru Baso Paet. Ada yang menafsirkan bahwa Si Boru Paso Paet sebenarnya merupakan perusakan kata dari Si Boru Majapahit yang artinya Srikandi Majapahit. <br />Lebih jauh lagi ada pula yang mengatakan bahwa Si Boru Baso Paet itulah yang menjadi nenek moyang orang Batak. Namun keterangan ini menjadi membingungkan karena eksistensi orang Batak di berbagai literatur telah ada berabad-abad sebelumnya dan bahkan ada pada ke-2 M telah berinteraksi dengan pelaut asing seperti yang diceritakan oleh Ptolemeus, tapi dengan nada negatif.<br />Tapi bila dilihat dari nama penamaan tempat itu oleh orang setempat, Tombak Longo-longo Sisumbaon, ada kemungkinan bahwa bukit tersebut merupakan pusat religi kaum animisme dan paganisme Batak dahulu kala. Arti harfiah dari kalimat tersebut adalah Hutan Rimba Yang Menjadi Tempat Persembahan. Eskistensi nama tempat ini sepertinya mirip dengan nama Dolok Partangisan di sebuah daerah antara Dolok Sanggul dan Tele yang merupakan tempat tradisional untuk memberikan sesajen berupa manusia (korban) untuk memuja roh atau dikenal dengan istilah mamele begu.<br />Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya sebuah penelitian yang menyeluruh atas apa isi dan arti sebenarnya dari tulisan atau tanda yang terdapat di prasasti tersebut. Bukan tidak mungkin, selain dari dugaan kedatangan orang Majapahit, sebenarnya terdapat bentuk kebudayaan di Balige yang selama ini tidak dikenal. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.<br />Tentu yang paling disayangkan lagi adalah rendahnya peran pemerintah daerah dalam menghormati eksistensi bukti-bukti sejarah ini. Padahal tidak sedikit dana APBD dikucurkan untuk membangun objek-objek wisata, konvensional maupun rohani, yang tampaknya sangat berlebihan dan terkesan mubazzir serta tidak produktif. Pemerintah seharusnya tidak terjebak dalam sebuah kebijakan yang malah menghilangkan nilai-nilai pluralisme budaya dan adat.<br />Bukan tidak mungkin apabila prasasti ini dapat diungkap lebih mendalam lagi, banyak kearifan lokal yang banyak diambil hikmahnya oleh generasi muda sekarang ini.Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-37281674757373695032009-05-05T15:01:00.000+07:002009-05-05T15:02:24.210+07:00Lobu Tua, Jaringan Niaga InternasionalBarus merupakan kota Batak yang tertua yang dapat ditunjukkan oleh bukti-bukti sejarah yang valid khususnya mengenai daerah Lobu Tua di Barus. Dari peninggalan-peninggalan sejarah di Lobu Tua, dapat diketahui komunitas-komunitas apa saja yang pernah bermukim di Barus dan kemana saja orang-orang Batak pernah melakukan kunjungan di luar negeri. Hal ini juga untuk mengetahui jejak orang Batak di berbagai negara dan benua sejak dahulu kala.<br />Pada tahun 1995 dan 1996, pada ekskavasi di situs Lobu Tua dekat Barus ditemukan lebih dari 600 pecahan tembikar asal Timur Dekat. Jumlah ini dapat dibandingkan dengan jumlah 8.500 pecahan keramik Cina yang dihasilkan pada waktu yang sama.<br />Semua pecahan asal Timur Dekat ini berglasir. Hampir semuanya berbahan warna merah jambu, berhiaskan goresan memotong slip berwarna terang dan berglasir percik-percikan. Di Situs Lobu tua juga terdapat beberapa pecahan kecil asal Timur Dekat yang bahannya seperti kapur putih dan berglasir kusam, warna coklat lembayung atau berbagai jenis warna biru, termasuk warna turkuas.<br />Di antara pecahan yang bahannya berwarna merah jambu, berslip terang, berhiaskan goresan dan berglaisir percik-percikan, hanya pecahan yang berlatar garis, sejajar (arsiran) saja yang akan dibahas di sini. Dari dua kali ekskavasi, pecahan dari Timur Dekat yang jumlahnya paling banyak adalah pecahan jenis ini. <br />Dari pembahasan sementara stratigrafi di Situs Lobu Tua, belum dapat diketahui apakah ada lebih dari satu fase pemukiman di antara akhir abad ke-9 M dan akhir abad ke-11 M atau awal ke-12 M. Penanggalan ini berdasarkan telaah keramik Cina.<br />Beberapa ekskavasi dan survey yang telah dibuat di Timur Dekat, Pakistan, Asia Selatan serta di pesisir Timur Afrika memberikan informasi yang kurang lengkap tentang penyebaran tembikar jenis ini namun dapat membantu untuk membandingkan penanggalannya serta penyebaran orang-orangnya dan hipotesis tentang tempat asalnya.<br /> <br />Iran<br />Atau Persia ditemukan di Siraf (1000-1250 M), Makran (1000-1250M), penanggalan oleh Hobson, yaitu abad ke-9, abad ke-10, sekaligus untuk temuan dari Makran dan dari Siraf yang dianggap mirip. Berdasarkan penanggalan baru ini juga dapat digunakan untuk temuan dari Makran. Kish pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-13.<br />Selian keramik-keramik yang ditemukan di daerah-daerah tersebut di atas, hubungan antara Batak dan Persia sebenarnya sudah terjalin sejak dahulu kala. Baik itu persia di jaman majusi atau zoroaster maupun paska zaman Islam. Pertukaran budaya tersebut sudah sangat mengakar.<br />Sebuah manuskrip kuno berbahasa Armenia, dulu dalam dominasi budaya persia, juga menyebutkan Barus dalam berbagai hal. Lihat R. Avramian, "Suatu Catatan Perjalanan Dalam bahasa Armenia Tentang India pada abad ke-12 M", Bander Matenadarani, Erevan, 4, 1958, hal. 317-328. Barus dikatakan Fansur sebagai sebuah pulau di kepulauan India. <br /> <br />Irak<br />Hira (abad ke-11 sampai dengan abad ke-12). Selain keramik yang ditemukan di Hira, diduga orang-orang Batak atau budaya Batak telah melakukan hubungan dengan kebudayaan Mesopotamia di Iraq.<br /> <br />Oman<br />Sohar (abad ke-11 sampai dengan ke-12). Selain keramik di Sohar, ada begitu banyak tulisan perjalanan yang dilakukan bangsa Arab ke Barus. Selain itu, beberapa tokoh Batak juga seringkali mengunjungi Arab untuk berdagang maupun sebagai persinggahan ke Afrika.<br /> <br />Pakistan<br />Bambhore abad ke-11 sampai dengan abad ke-13). Brahminabad (Abad ke-? Sampai dengan abad ke-11 M). Pakistan dulu merupakan bagian dari India yang sudah banyak membuat hubungan kultural dengan bangsa Batak<br /> <br />Sri Langka<br />Mantai (abad ke-? Sampai abad ke-11 M). Selain peninggalan keramik ini diduga masih banyak hubungan budaya antara Sri Langka dengan Batak. Bahkan sampai sekarang di sana masih terdapat komunitas Batak khususnya dari marga Nasution. Namun semuanya sudah menyatu menjadi masyarakat melayu minoritas di Kolombo. Orang Batak dari marga Nasution ini pula pernah diangkat menjadi duta besar Sri Langka untuk Pakistan.<br /> <br />Arab Saudi <br />Al Hasa (Abad ke-? Sampai pertengahan abad ke-11M), Aththar (Abad ke-? Sampai pertengahan abad ke-11M). Hubungan Batak dengan Arab tidak saja dalam bidang budaya akan tetapi hubungan religi, yakni Mekkah. Orang-orang Batak sejak abad-abad di atas sudah mengunjungi Mekkah dengan menumpang kapal-kapal Cina yang berlayar menuju Laut Merah.<br /> <br />Kenya<br />Pada abad ke-11 M. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai eksistensi masyarakat Batak di Kenya. Karena sampai sekarang belum ada penilitian ke arah itu<br /> <br />Tanzania <br />Kilwa (Abad ke11 sampai akhir abad ke-12 M). Hubungan bangsa Batak dengan Tanzania sudah berlangsung sejak dahulu kala. Diyakini juga mencakup seluruh Afrika, terutama Madagaskar.<br />Orang Batak sudah banyak yang melakukan kunjungan budaya ke Tanzania, tepatnya Zanzibar dan kembali ke tanah Batak memperkenalkan Islam di tanah Batak. Salah satu contohnya adalah Abdulrauf Fansur. Dia memperkenalkan faham khawarij dengan mazhab fiqih ibadiyah pada kisaran 1593 M.<br /> <br />Mesir<br />Fustat (10 M). Selain Keramik yang ditemukan di Fustat tersebut disebutkan juga melalui literatur bahwa rombongan kapal Fir'aun dari Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus antara lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan yang sangat diperlukan untuk pembuatan mummi. Mereka adalah orang-orang Arab pra-Islam Funisia, Kartago yang sekarang menjadi Libya dan Mesir, Afrika Utara.<br />Beberapa literatur mengenai Barus dan pelayaran orang-orang Yunani, Arab, Mesir, Yahudi, India, Persia, Cina dan lain-lain ke daerah tersebut di antaranya, O. W. Wolters, The Fall of Srivijaya in Malay History, Itacha: Lund Humpries Publishers Ltd., 1970. <br />Yang penting lagi adalah G. Ferrand, Relation de voyages et textes Geographiques Arabs. Persians et Turks relatif e l'Extreme-Orient du Ville aux siecles 2 jilid, Paris, 1913; dan N. J. Krom, Hindoe- Javanesche Geschiedenis (cetakan kedua), 's-Gravenhague, 1931.<br />Hubungan kebudayaan Batak dengan Yunani sudah sangat intens. Diyakini banyak pengetahuan Astronomi didapat para ahli Yunani yang berkunjung ke Barus di dapat dari kebudayaan Batak.<br />Ptolomeus membicarakan Barus sebanyak lima kali di dalam laporannya dengan pandangan negatif terhadap penduduk pribumi Sumatera, khususnya orang Batak yang dikatakannya sebagai orang-orang kanibal (Wolters hal. 9; Krom h. 57-59).<br />Beberapa abad kemudian hal ini terbukti ketika seorang pedagang Yahudi dari Kairo telah meninggal di Barus pada paruh pertama abad-13 (Wolters 43). Diduga orang Yahudi ini berlaku sombong dan semena-mena dan dimakan oleh orang Batak.<br />Apakah pada masa lalu Barus merupakan sebuah tempat persinggahan di jalur maritim yang menyusuri pantai barat Sumatera ke Jawa, atau sebuah tempat perdagangan yang menyediakan hasil hutan di luar jalur maritim utama? Banyaknya pecahan keramik serta mutunya temuan kaca membuktikan kemakmuran tempat pemukiman ini?<br />Terletak di pantai barat Sumatera, Barus kelihatan jauh dari jalur maritim tradisional yang dikenal. Barus dipilih sebagai tempat persinggahan bukan karena alam sekitarnya yang sesuai atau karena fungsinya sebagai pintu masuk sebuah daerah dataran rendah yang luas. Sebenarnya Bukit Barisan begitu dekat dengan pantai, sehingga dataran rendahnya hampir sempit.<br />Barus ada dan terkenal berkat hasil hutannya yang bernilai tinggi dan sangat terbatas daerah penghasilnya. Dalam sebuah inventaris harta karun abad ke-11 M, Kalifah Dinasti Fatimiyah dari Mesir, terdaftar banyak wadah dari 'porselin' Cina yang berisi kafur fansuri yaitu kapur dari Barus. (Lihat Kahle, 1941, Ahli sejarah al-Makrizi yang hidup pada bad ke-15 M, mencatat sebuah inventaris harta karun Dinati Fatimiyah dari Mesir yang dilakukan oleh seorang pegawai kalifah pada abad ke-11 M. Istilah porselin bisa diartikan barang buatan Cina. Bahan keramik mungkin batuan, batuan porselin atau porselin., sangat berbeda dengan bahan tembikar buatan timur dekat. Kamper yang mungkin diekspor dari Barus dalam tempayan atau dalam wadah lain. Setelah sampai di tempat tujuan dijual secara ketengan dan kemudian disimpan dalam wadah khusus.<br />Pada abad ke-7 M, sewaktu pemerintahan Arab menguasai kawasan timur yang sebelumnya dibagi antara Kemaharajaan Bizantium di barat dan Dinasti Sassanid di timur, beberapa daerah yang berbeda disatukan menjadi sebuah kawasan yang sangat luas (Lombard, 1971)<br />Di tengah Eurasia, kawasan timur yang beragama Islam, memanfaatkan kekhususan setiap daerah yang dikuasasinya. Pelaut Arab dan Persia, yang sudah terbiasa berlayar dari pelabuhan di Teluk Persia dan Laut Merah ke Lautan Hindia, membuka ekonomi baru ini untuk barang-barang dari Timur Jauh.<br />Periode ekspansi besar perdagangan muslim, dari abad ke-8 M hingga abad ke 11 M, ditekankan pada penempatan masyarakatnya dari pantai Lautan Hindiasapai ke Cina, sehingga membentuk sebuah jaringan untuk menyediakan bahan dan barang yang dibutuhkan.<br />Wadah Cina yang berisi kafur fansuri dalam harta karun Kalifah Fatimiyah membuktikan aspek dualisme Barus yang sekaligus berhubungan dengan Cina dan juga Timur Dekat.<br />Sebuah sumber mengatakan bahwa pada abad ke-9 M, Barus (Fansur) sudah dikenal karena kamfernya. (Lihat Ahbar as-Shin wa al-Hind, yang diterjemahkan menjadi Relation de la Chines et de l'Inde, redigee en 851 [Mengenai Cina dan India, ditulis pada tahun 851], Paris, Belles, Lettres, 1948, hlm 4: "Satu tempat bernama Fantsour yang menghasilkan banyak kamfer bermutu tinggi."<br />Perkiraan tentang periode awal impor keramik Cina di Lobu Tua didasari atas penguraian beberapa pecahan khusus yang kurang jelas periode pembuatannya. Namun diyakini bahwa keramik Cina mulai diimpor ke Lobu Tua pada abad ke-10 M ataupun pada pertengahan abad ke 10 M, dan bukan pada abad ke-9 M. Sayangnya terdapat banyak pecahan tanpa ciri-ciri tertentu yang dapat membantu untuk mengidentifikasinya atau menggalinya denga n tepat. Di antara keramik Cina hasil penggalian di Siraf dan Sohar terdapat beberapa jenis yang tidak ditemukan di Lobu Tua, yakni keramik putih yang berasal dari tungku di bagian utara Cina, keramik batuan dari Changsha yang hiasannya berwarna coklat oksidasi dan hijau oksida tembaga, keramik batuan dari Yue yang dasarnya berglasir, mangkuk dengan dasasr jenis bi hasil tungku dari bagian utara Cina atau dari Yuezhou. Semua jenis ini tentu dari abad ke-9 M, suatu penanggalan yang cocok karena termasuk dalam periode di mana Teluk Persia menguasasi kegiatan perdagangan di Timur Dekat, yaitu dari pertengahan abad ke-8 M hingga akhir abad ke-10 M.<br />Munculnya Laut Merah sebagai daerah lalu lintas maritim pada akhir abad ke 10 M nampak jelas dengan keramik Cina yang ditemukan di Fustat (Mesir). Cukup jelas bahwa keramik Cina dan Lobu Tua lebih mendekati temuan dari Fustat dibandingkan dari Siraf. Oleh karena itu diduga ada sebuah jaringan yang menghubungkan Fustat dan Barus selalui Sohar yang sudah eksis sejak dahulu kala. Di Sohar sesuah zaman Siraf, keramik Cina dari abad ke-11M-awal abad ke-12 M, diwakili keramik dari Guangdong yang banyak menyerupai keramik sejaman dari Lobu Tua. Memang keramik putih dan keramik batuan dari Yue (abad ke-10-awal abad ke-11M) ditemukan sekaligus di Lobu Tua, di Sohar dan di Fustat, sedangkan keramik batuan dari hiasan berwarna coklat oksidasi yang terdapat di Lobu Tua dan di Sohar nampaknya tidak ditemukan di Fustat.<br />Perkembangan produksi dari Guangdong, terlihat dari perubahan hiasan, sehingga munculnya keramik dengan bagian luar dihiasi jajaran goresan yang dalam, dapat membbantu untuk menjelaskan mengapa jenis ini tidak ditemukan (akhir abad ke-11M atau awal abad ke-12 M) di timur dekat. Sebenarnya, perpecahan dunia Islam sejak paruh abad ke11 M menyebabkan perubahan jaringan hubungan dan putusnya kegiatan perdagangan jarak-jauh. Di Kota Kanton yang kosmopolitan, kegiatan pedagang Arab dan Persia merupakan kelompok masyarakat yang besar hampir pasti terganggu dan berkurang.<br />Akibat pembukaan sebuah kantor pabean di Quanzhou pada akhir abad ke-11M, penyediaan keramik berpindah ke Fujian dan berkembangnya tungku di Fujian sejajar dengan merosotnya tungku di Guangdong. Sewaktu terjadi perubahan ini, keramik dari Fujian mulai memasuki pasaran Asia Tenggra secara besar-besara dan sejak pertengahan abad ke-12 M pasaran ini juga menerima seladon dari Longquan di Zheijing. Sementyara itu, tungku-tungku yang terkenal dari Jingdezhen mengekspor porselin berglasir biru hijau disebut qingbai, sejenis keramik yang halus dan mewah.<br />Di dunia Islam, peralihan ke keramik dari Fujian ini sejak abad ke-12 M hampir tidak terlaksana. Cukup mengherankan bahwa produksi begitu besar asal tungku dari Dehua atau Tong'an di Fujian yang banyak ditemukan di Filipina dan di Nusantara hampir tidak ditemukan di Timur Dekat. Keadaan ini mungkin disebabkan perubahan mendalam di Dunia Islam pada waktu itu yang juga membawa akibat kepada masyarakat-masyakarat yang ikut serta dalam perdagangan dengan Cina. Selain itu di Asia Tenggara, hilagnya keramik yang berasal dari Timur Dekat sejak abad ke-12 M mendorong hipotesisi putusnya jaringan perdagangan atau perubahan masyarakat yang mendiami tempat perdagangan yang jauh.<br />Keanekaragaman persamaan di antara keramik Cina dan Barus-Lobu Tua dengan Keramik dari situs pemukiman lain di Dunia Islam, mungkin dapat membantu untuk mengidentifikasi masyarakat asing yang tinggal di Lobu Tua, selain itu membantu memahami hubungan antara tempat perdagangan ini dengan perdagangan asing dari Kanton dan perdagangan yang berhubungan dengan kawasan Timur Dekat melalui tempat persinggahakan lain.<br />Banyaknya serta beragamnya temuan dari berbagai tempat asal (Timur Dekat, India dan Cina) membuktikan bahwa Lobu Tua merupakan sebuah tempat pemukiman yang makmur dengan benda-benda yang bermutu tinggi. Perlu diperhatikan juga bahwa keramik Cina mudah didapati di Lobu Tua karena tidak ada tanda benda ini diperbaiki seperti halnya di situs sejaman di Timur Dekat, atau juga anehnya di Situs Ko Ko Khao (Thailand) yang lebih awal.<br />Pembahasan fase terakhir impor keramik Cina di Lobu Tua menunjukkan bahwa seperti di Timur dekat, keramik yang dihasilkan di Fujian pada abad ke-12 M nampaknya tidak ditemukan, tetapi cukup banyak keramik yang dari Guangdong atau dari Jiangxi. <br />Adanya temuan keramik bermutu tinggi yang diimpor dari Cina, seperti keramik batuan berhias jajaran goresan, pecahan tempayan berglasir oker coklat dari Xicun serta porselin qingbai dari Jingdezhen, menunjukkan bahwa pada awal abad ke12 M, kehidupan penduduk Lobu Tua cukup mewah.<br />Kemakmuran ini nampaknya tidak terganggu oleh perubahan-perubahan yang terjadi di Dunia Islam. Akhir impor keramik Cina ke Lobu Tua dapat ditentukan, yaitu antara awal hingga pertengahan abad ke-12 M dengan tidak ditemukannya keramik seladon awal dari Longquan.Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-64726823139850336622009-02-05T15:46:00.000+07:002009-02-05T15:53:42.460+07:00Tentang PARNA<br />by shirleythe-24may on June 17, 2008<br />PARNA adalah singkatan dari Parsadaan Nai Ambaton (lazim juga disebut sebagai Pomparan ni si Raja Naiambaton) yaitu kumpulan marga yang merupakan keturunan dari Nai Ambaton. <br />Siapakah Nai Ambaton ini? Untuk mengetahuinya mari kita melihat ke sejarah mula-mula Si Raja Batak.Si Raja Batak memiliki 3 orang anak laki-laki yaitu Guru Tateabulan, Raja Isumbaon dan Toga Laut. Guru Tateabulan memiliki 5 anak laki-laki dan juga 3 anak perempuan, yaitu Siboru Pareme, Siboru Anting Sabungan, Siboru Biding Laut. Raja Isumbaon memiliki 3 orang anak laki-laki yaitu Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkar Somalidang.<br /> <br />Tuan Sorimangaraja kemudian memperistri 3 orang, yaitu:<br />1) Siboru Anting Sabungan (disebut juga Siboru Paromas)<br />2) Siboru Biding Laut, adik Siboru Anting Sabungan<br />3) Siboru Sanggul Haomasan<br />Anak pertama Tuan Sorimangaraja dari Siboru Anting Sabungan dinamai Si Ambaton atau Tuan Sorbadijulu. Dari sinilah nama Nai Ambaton berasal (nai = ibu, Ambaton = nama anaknya, Nai Ambaton = ibunya si Ambaton). Konon Nai Ambaton ini berpesan kepada anaknya Si Ambaton untuk menjaga persatuan keturunannya. <br />"Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru”. Kalimat ini sulit diterjemahkan secara tepat dalam bahasa Indonesia tetapi kira-kira maksudnya adalah bahwa semua keturunan Raja Naiambaton adalah satu putra-satu putri (dianggap sebagai satu saudara). Begitu eratnya persaudaraan itu seolah-olah antar kakak dan adik kandung, meskipun hubungan darahnya sudah jauh. <br />Karena dianggap sebagai satu saudara, putra-putri keturunan Nai Ambaton tidak boleh menikah satu dengan yang lain. Hingga hari ini, terasa canggung bahkan tabu untuk saling mengawini di dalam marga-marga Parna. Jika sampai ada yang menikah, bisa dipastikan pasangan ini akan menjadi bahan gunjingan dan cercaan. Kerap kali mereka dikucilkan –atau mengucilkan diri– dari acara-acara adat. <br />Untuk mencegah perasaan senang telanjur timbul di antara dua muda-mudi yang pantang saling menikahi, disarankan untuk menanyakan marga segera setelah berkenalan. Menanyakan marga dan kampung asal ini merupakan satu topik "ice breaking" yang baku dalam percakapan dua orang Batak, baik sesama maupun lawan jenis. Semacam ritual untuk "positioning" atau "alignment."<br />Terkadang salah satu pihak menggunakan sub marga yang tidak umum dikenal sehingga tidak diketahui bahwa mereka memiliki hubungan kekerabatan. Teman, orang tua atau kerabat yang mengetahui hal ini berkewajiban untuk segera memberitahukan. Karena sudah menjadi norma yang dipahami bersama, orang yang ditegur pun tidak boleh marah kepada yang menegur.<br />Dari situs www.parna.org, marga-marga Parna dibagi menjadi 4 kelompok besar:<br />A. Dari Simbolon Tua:<br />1. Simbolon<br />2. Tinambunan<br />3. Tumanggor<br />4. Maharaja<br />5. Turutan<br />6. Pinayungan <br />7. Nahampun<br />B. Dari Tamba Tua<br />8. Tamba<br />9. Siallagan<br />10. Sidabutar<br />11. Sijabat<br />12. Siadari<br />13. Sidabalok (no 10 s.d. no 13 disebut Si Opat Ama)<br />14. Rumahorbo<br />15. Rea<br />16. Napitu<br />17. Siambaton<br />C. Dari Saragi Tua<br />18. Saragi<br />19. Saragih<br />20. Simalango<br />21. Saing<br />22. Simarmata<br />23. Nadeak<br />24. Basirun<br />25. Bolahan<br />26. Akarbejadi<br />27. Kaban<br />28. Garingging<br />29. Jurung<br />30. Telun<br />D. Dari Munte Tua<br />31. Munte<br />32. Sitanggang<br />33. Sigalingging<br />34. Siallagan<br />35. Manihuruk<br />36. Sidauruk<br />37. Turnip<br />38. Sitio<br />39. Tendang<br />40. Banuarea<br />41. Gaja<br />42. Berasa<br />43. Beringin<br />44. Boangmanalu<br />45. Bancin<br />Catatan: aku tidak sepakat kalau Sitio diletakkan di rumpun Munte Tua karena Rumahorbo-Napitu-Sitio adalah satu saudara sehingga semestinya Sitio berada di kelompok yang sama dengan Rumahorbo dan Napitu, yaitu sebagai bagian dari Tamba Tua.<br />Di situs yang lain, disebutkan bahwa marga-marga Parna berjumlah 70 marga. Berikut adalah daftarnya (sebanyak 68 marga saja, yang lainnya belum diketahui) yang disusun secara alfabetikal, bukan berdasarkan urut-urutan kesenioran.<br />1. Bancin (Sigalingging)<br />2. Banurea (Sigalingging)<br />3. Boangmenalu (Sigalingging)<br />4. Brampu (Sigalingging)<br />5. Brasa (Sigalingging)<br />6. Bringin (Sigalingging)<br />7. Gaja (Sigalingging)<br />8. Dalimunthe<br />9. Garingging (Sigalingging)<br />10. Ginting Baho<br />11. Ginting Capa<br />12. Ginting Beras<br />13. Ginting Guruputih<br />14. Ginting Jadibata<br />15. Ginting Jawak<br />16. Ginting Manik<br />17. Ginting Munthe<br />18. Ginting Pase<br />19. Ginting Sinisuka<br />20. Ginting Sugihen<br />21. Ginting Tumangger<br />22. Haro<br />23. Kaban<br />24. Kombih (Sigalingging)<br />25. Maharaja<br />26. Manik Kecupak (Sigalingging)<br />27. Munte<br />28. Nadeak (di pa lao)<br />29. Nahampun<br />30. Napitu<br />31. Pasi<br />32. Pinayungan (Sigalingging)<br />33. Rumahorbo<br />34. Saing<br />35. Saraan (Sigalingging)<br />36. Saragih Dajawak<br />37. Saragih Damunte<br />38. Saragih Dasalak<br />39. Saragih Sumbayak<br />40. Saragih Siadari<br />41. Siallagan<br />42. Siambaton<br />43. Sidabalok<br />44. Sidabungke<br />45. Sidabutar<br />46. Saragih Sidauruk<br />47. Saragih Garingging<br />48. Saragih Sijabat<br />49. Simalango<br />50. Simanihuruk<br />51. Simarmata<br />52. Simbolon Altong<br />53. Simbolon Hapotan<br />54. Simbolon Pande<br />55. Simbolon Panihai<br />56. Simbolon Suhut Nihuta<br />57. Simbolon Tuan<br />58. Sitanggang Bau<br />59. Sitanggang Gusar<br />60. Sitanggang Lipan<br />61. Sitanggang Silo<br />62. Sitanggang Upar Par Rangin Na 8 (Sigalingging)<br />63. Sitio<br />64. Tamba<br />65. Tinambunan<br />66. Tumanggor<br />67. Turnip<br />68. Turuten<br />Note: subject to correction & further editing. Untuk komunikasi lebih lanjut, silakan kontak ke gnapitu@gmail.com atau shirley.theresia@gmail.com <br />Paiton, 19 Juni 2008<br />========================<br />Sumber: <br />1) Situs http://www.parna.org/ <br />2) Situs http://id.wikipedia.org/wiki/PomparAn_ni_Raja_Nai_Ambaton <br />3) 1) "Silsilah Marga-Marga Batak" karangan Drs. Richard Sinaga, terbitan Dian Utama, Jakarta (2000)Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-56724109084662751102009-01-14T12:13:00.001+07:002009-06-23T11:08:20.980+07:00SI RAJA BATAK mempunyai 2 orang putra, yaitu:<br />1. Guru Tatea Bulan<br />2. Raja Isombaon<br /><br />I. GURU TATEA BULAN<br />Dari istrinya yang bernama Si Boru Baso Burning, Guru Tatea Bulan memperoleh 5 orang putra dan 4 orang putri, yaitu :<br /><br />* Putra (sesuai urutan):<br />1. Raja Uti (atau sering disebut Si Raja Biak-biak, Raja Sigumeleng-geleng), tanpa keturunan<br />2. Tuan Sariburaja (keturunannya Pasaribu)<br />3. Limbong Mulana (keturunannya Limbong).<br />4. Sagala Raja (keturunannya Sagala)<br />5. Silau Raja (keturunannnya Malau, Manik, Ambarita dan Gurning)<br /><br />*Putri:<br />1. Si Boru Pareme (kawin dengan Tuan Sariburaja, ibotona)<br />2. Si Boru Anting Sabungan, kawin dengan Tuan Sorimangaraja, putra Raja Isombaon<br />3. Si Boru Biding Laut, (ada yang meyakini sebagai Nyi Roro Kidul)<br />4. Si Boru Nan Tinjo (Penghuni danau Toba menurut turiturian).<br /><br />Keturunan Si Raja Batak dapat dibagi atas 2 golongan besar:<br /><br />1. Golongan Tatea Bulan = Golongan Bulan = Golongan (Pemberi) Perempuan. Disebut juga golongan Hula-hula <br /><br />2. Golongan Isombaon = Golongan Matahari = Golongan Laki-laki. Disebut juga Golongan Boru <br /><br />Kedua golongan tersebut dilambangkan dalam bendera Batak (bendera Si Singamangaraja, para orangtua menyebut Sisimangaraja, artinya maha raja), dengan gambar matahari dan bulan. Jadi, gambar matahari dan bulan dalam bendera tersebut melambangkan seluruh keturunan Si Raja Batak.<br /><br />Ad. 1. RAJA UTI <br />Raja Uti (atau sering disebut Si Raja Biak-biak, Raja Sigumeleng-geleng). Raja Uti terkenal sakti dan serba bisa. Satu kesempatan berada berbaur dengan laki-laki, pada kesempatan lain membaur dengan peremuan, orang tua atau anak-anak. Beliau memiliki ilmu yang cukup tinggi, namun secara fisik tidak sempurna. Karena itu, dalam memimpin Tanah Batak, secara kemanusiaan Beliau memandatkan atau bersepakat dengan ponakannya/Bere Sisimangaraja, namun dalam kekuatan spiritual tetap berpusat pada Raja Uti.<br /><br />Ad.2. SARIBURAJA<br />Sariburaja adalah nama putra kedua dari Guru Tatea Bulan. Dia dan adik kandungnya perempuan yang bernama Si Boru Pareme dilahirkan marporhas (anak kembar berlainan jenis, satu peremuan satunya lagi laki-laki).<br /><br />Mula-mula Sariburaja kawin dengan Nai Margiring Laut, yang melahirkan putra bernama Raja Iborboron (Borbor). Tetapi kemudian Saribu Raja mengawini adiknya, Si Boru Pareme, sehingga antara mereka terjadi perkawinan incest. <br /><br />Setelah perbuatan melanggar adat itu diketahui oleh saudara-saudaranya, yaitu Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Silau Raja, maka ketiga saudara tersebut sepakat untuk mengusir Sariburaja. Akibatnya Sariburaja mengembara ke hutan Sabulan meninggalkan Si Boru Pareme yang sedang dalam keadaan hamil. Ketika Si Boru Pareme hendak bersalin, dia dibuang oleh saudara-saudaranya ke hutan belantara, tetapi di hutan tersebut Sariburaja kebetulan bertemu dengan dia.<br /><br />Sariburaja datang bersama seekor harimau betina yang sebelumnya telah dipeliharanya menjadi "istrinya" di hutan itu. Harimau betina itulah yang kemudian merawat serta memberi makan Si Boru Pareme di dalam hutan. Si Boru Pareme melahirkan seorang putra yang diberi nama Si Raja Lontung.<br /><br />Dari istrinya sang harimau, Sariburaja memperoleh seorang putra yang diberi nama Si Raja Babiat. Di kemudian hari Si Raja Babiat mempunyai banyak keturunan di daerah Mandailing. Mereka bermarga Bayoangin.<br /><br />Karena selalu dikejar-kejar dan diintip oleh saudara-saudaranya, Sariburaja berkelana ke daerah Angkola dan seterusnya ke Barus.<br /><br />Ad. 2.1. SI RAJA LONTUNG<br />Putra pertama dari Tuan Sariburaja. Mempunyai 7 orang putra dan 2 orang putri, yaitu:<br />* Putra:<br />1.. Tuan Situmorang, keturunannya bermarga Situmorang.<br />2. Sinaga Raja, keturunannya bermarga Sinaga.<br />3. Pandiangan, keturunannya bermarga Pandiangan.<br />4. Toga Nainggolan, keturunannya bermarga Nainggolan.<br />5. Simatupang, keturunannya bermarga Simatupang.<br />6. Aritonang, keturunannya bermarga Aritonang.<br />7. Siregar, keturunannya bermarga Siregar.<br /><br />* Putri :<br />1. Si Boru Anakpandan, kawin dengan Toga Sihombing.<br />2. Si Boru Panggabean, kawin dengan Toga Simamora.<br />Karena semua putra dan putri dari Si Raja Lontung berjumlah 9 orang, maka mereka sering dijuluki dengan nama Lontung Si Sia Marina, Pasia Boruna Sihombing Simamora.<br />Si Sia Marina = Sembilan Satu Ibu.<br /><br />1. SITUMORANG, lahir marga-marga cabang Lumban Pande, Lumban Nahor, Suhutnihuta, Siringoringo, Sitohang, Rumapea, Padang, Solin.<br /><br />2. SINAGA<br />Dari Sinaga lahir marga-marga cabang Simanjorang, Simandalahi, Barutu.<br /><br />3. PANDIANGAN<br />Lahir marga-marga cabang Samosir, Pakpahan, Gultom, Sidari, Sitinjak, Harianja.<br /><br />4. NAINGGOLAN<br />Lahir marga-marga cabang Rumahombar, Parhusip, Lumban Tungkup, Lumban Siantar, Hutabalian, Lumban Raja, Pusuk, Buaton, Nahulae.<br /><br />5. SIMATUPANG<br />Lahir marga-marga cabang Togatorop (Sitogatorop), Sianturi, Siburian.<br /><br />6. ARITONANG <br />Lahir marga-marga cabang Ompu Sunggu, Rajagukguk, Simaremare.<br /><br />7. SIREGAR<br />Llahir marga-marga cabang Silo, Dongaran, Silali, Siagian, Ritonga, Sormin.<br /><br /><br />Ad. 2.2. SI RAJA BORBOR<br />Putra kedua dari Tuan Sariburaja, dilahirkan oleh Nai Margiring Laut. Semua keturunannya disebut Marga Borbor.<br /><br />Cucu Raja Borbor yang bernama Datu Taladibabana (generasi keenam) mempunyai 6 orang putra, yang menjadi asal-usul marga-marga berikut :<br /><br />1. Datu Dalu (Sahangmaima).<br />2. Sipahutar, keturunannya bermarga Sipahutar.<br />3. Harahap, keturunannya bermarga Harahap.<br />4. Tanjung, keturunannya bermarga Tanjung.<br />5. Datu Pulungan, keturunannya bermarga Pulungan.<br />6. Simargolang, keturunannya bermarga Imargolang.<br /><br />Keturunan Datu Dalu melahirkan marga-marga berikut :<br />1. Pasaribu, Batubara, Habeahan, Bondar, Gorat.<br />2. Tinendang, Tangkar.<br />3. Matondang.<br />4. Saruksuk.<br />5. Tarihoran.<br />6. Parapat.<br />7. Rangkuti.<br /><br />Keturunan Datu Pulungan melahirkan marga-marga Lubis dan Hutasuhut.<br /><br />Ad. 3. LIMBONG MULANA<br />Limbong Mulana adalah putra ketiga dari Guru Tatea Bulan. Keturunannya bermarga Limbong yang mempunyai dua orang putra, yaitu Palu Onggang, dan Langgat Limbong. Putra dari Langgat Limbong ada tiga orang. Keturunan dari putranya yang kedua kemudian bermarga Sihole, dan keturunan dari putranya yang ketiga kemudian bermarga Habeahan. Yang lainnya tetap memakai marga induk, yaitu Limbong.<br /><br />Ad. 4. SAGALA RAJA<br />Putra keempat dari Guru Tatea Bulan. Sampai sekarang keturunannya tetap memakai marga Sagala.<br /><br />Ad. 5. SILAU RAJA<br />Silau Raja adalah putra kelima dari Guru Tatea Bulan yang mempunyai empat orang putra, yaitu:<br />1. Malau <br />2. Manik<br />3. Ambarita<br />4. Gurning<br /><br /><br />II. RAJA ISUMBAON<br /> Raja Isumbaon menurut yang tercatat mempunyai keturunan 3 orang laki-laki yakni:<br />1. Tuan Sorimangaraja<br />2. Siraja Asi-asi (Tunggul niaji)<br />3. Sangkar Somalidang<br /><br /><br />Ad. 1. TUAN SORIMANGARAJA<br />Tuan Sorimangaraja adalah putra pertama dari Raja Isombaon. Dari ketiga putra Raja Isombaon, dialah satu-satunya yang tinggal di Pusuk Buhit (di Tanah Batak). Istrinya ada 3 orang, yaitu :<br />1. Si Boru Anting Malela (Nai Ambaton), putri dari Guru Tatea Bulan.<br />2. Si Boru Biding Laut (Nai rasaon), juga putri dari Guru Tatea Bulan.<br />3. Si Boru Sanggul Haomasan (nai suanon). Putri dari Raja Borbor<br /><br />1.1. Si Boru Anting Malela melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba Dijulu (Ompu Raja Nabolon), gelar Nai Ambaton.<br /><br />2.1. Si Boru Biding Laut melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba DiJae (Raja Mangarerak), gelar Nai Rasaon.<br /><br />3.1. Si Boru Sanggul Haomasan melahirkan putra yang bernama Tuan Sorbadibanua, gelar Nai Suanon.<br /><br />Tuan Sorba Dijulu (Ompu Raja Nabolon)/Nai Ambaton<br />Putra sulung Tuan Sorimangaraja lahir dari istri pertamanya yang bernama Nai Ambaton. Nama sebenarnya adalah Ompu Raja Nabolon, tetapi sampai sekarang keturunannya membuat perkumpulan keturunan Nai Ambaton menurut nama ibu leluhurnya.<br /><br />Nai Ambaton mempunyai empat orang putra, dan satu Putri yaitu:<br /><br />Putra<br />1. Simbolon Tua, keturunannya bermarga Simbolon.<br />2. Tamba Tua, keturunannya bermarga Tamba.<br />3. Saragi Tua, keturunannya bermarga Saragi.<br />4. Munte Tua, keturunannya bermarga Munte (Munte, Nai Munte, atau Dalimunte).<br /><br />Putri<br />1. Pintahaomasan boru basobolon (kawin dengan Silahi Sabungan Putra Tuan Sorbanibanua)<br /><br />SIMBOLON<br />Lahir marga-marga Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan, Nahampun, Pinayungan. Juga marga-marga Berampu dan Pasi.<br /><br />TAMBA <br />Lahir marga-marga Siallagan, Tomok, Sidabutar, Sijabat, Gusar, Siadari, Sidabolak, Rumahorbo, Napitu.<br /><br />SARAGI<br />Lahir marga-marga Simalango, Saing, Simarmata, Nadeak, Sidabungke.<br /><br />MUNTE <br />Lahir marga-marga Sitanggang, Manihuruk, Sidauruk, Turnip, Sitio, Sigalingging.<br /><br />Walaupun keturunan Nai Ambaton sudah terdiri dari berpuluh-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut (generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang melarang perkawinan antar sesama marga keturunan Nai Ambaton.<br /><br />Tuan Sorbadijae (Raja Mangarerak)/Nai Rasaon<br />Nama (gelar) putra kedua dari Tuan Sorimangaraja, lahir dari istri kedua tuan Sorimangaraja yang bernama Nai Rasaon. Nama sebenarnya ialah Raja Mangarerak, tetapi hingga sekarang semua keturunan Raja Mangarerak lebih sering dinamai Kumpulan keturunan Nai Rasaon.<br /><br />Raja Mangarerak mempunyai dua orang putra dan satu putri, yaitu :<br />Putra:<br />1.Raja Mardopang <br />2.Raja Mangatur. <br />Putri:<br />1. Melengeleng, istri dari Silahi Sabungan.<br /><br />Ada empat marga pokok dari keturunan Raja Mangarerak:<br /><br />Raja Mardopang<br />Menurut nama ketiga putranya, lahir marga-marga Sitorus, Sirait, dan Butar-butar.<br /><br />Raja Mangatur<br />Menurut nama putranya, Toga Manurung, lahir marga Manurung. Marga pane adalah marga cabang dari sitorus.<br /><br />Tuan sorbadibanua/Nai Suanon<br />Nama (gelar) putra ketiga dari Tuan Sorimangaraja, lahir dari istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang bernama Nai Suanon. Nama sebenarnya ialah Tuan Sorbadibanua, dan di kalangan keturunannya lebih sering dinamai Naisuanon.<br /><br />Tuan Sorbadibanua, mempunyai dua orang istri dan memperoleh 8 orang putra.<br />Dari istri pertama (putri Sariburaja):<br />1. Si Bagot Ni Pohan<br />2. Si Paet Tua.<br />3. Si Lahi Sabungan, <br />4. Si Raja Oloan.<br />5. Si Raja Huta Lima.<br /><br />Dari istri kedua (Boru Sibasopaet, putri Mojopahit) :<br />1. Toga Sumba.<br />2. Toga Sobu.<br />3. Toga Naipospos<br /><br />Keluarga Tuan Sorbadibanua bermukim di Lobu Parserahan - Balige. Pada suatu ketika, terjadi peristiwa yang unik dalam keluarga tersebut. Atas ramalan atau anjuran seorang datu, Tuan Sorbadibanua menyuruh kedelapan putranya bermain perang-perangan. Tanpa sengaja, mata Si Raja huta lima terkena oleh lembing Si Raja Sobu. Hal tersebut mengakibatkan emosi kedua istrinya beserta putra-putra mereka masing-masing, yang tak dapat lagi diatasi oleh Tuan Sorbadibanua. Akibatnya, istri keduanya Borusibasopaet bersama putra-putranya yang tiga orang pindah ke Lobu Gala-gala di kaki Gunung Dolok Tolong sebelah barat.<br /><br />Keturunana Tuan Sorbadibanua berkembang dengan pesat, yang melahirkan lebih dari 100 marga hingga dewasa ini.<br />Keturunan Si Bagot ni pohan melahirkan marga dan marga cabang berikut:<br />1. Tampubolon, Barimbing, Silaen.<br />2. Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol, Nasution.<br />3. Panjaitan, Siagian, Silitonga, Sianipar, Pardosi.<br />4. Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede.<br /><br />Keturunan Si Paet Tua melahirkan marga dan marga cabang berikut:<br />1. Hutahaean, Hutajulu, Aruan.<br />2. Sibarani, Sibuea, Sarumpaet.<br />3. Pangaribuan, Hutapea.<br /><br />Keturunan Silahi Sabungan melahirkan marga dan marga cabang berikut:<br />1. Silalahi<br />2. Sihaloho.<br />3. Situngkir, Sipangkar, Sipayung.<br />4. Sirumasondi, Rumasingap, Depari,Doloksaribu, Sinurat, Naiborhu, Nadapdap.<br />5. Sinabutar.<br />6. Sidabariba, Solia.<br />7. Sidebang, Boliala.<br />8. Pintubatu, Sigiro.<br />9. Tambun, Pagaraji, Sunge, Baruara, Lumban Pea, Lumban Gaol.<br /><br />Keturunan Si Raja Oloan melahirkan marga dan marga cabang berikut:<br />1. Naibaho, Ujung, Bintang, Manik, Angkat, Hutadiri, Sinamo, Capa.<br />2. Sihotang, Hasugian, Mataniari, Lingga.<br />3. Bangkara.<br />4. Sinambela, Dairi.<br />5. Sihite, Sileang.<br />6. Simanullang.<br /><br />Keturunan Si Raja Huta Lima melahirkan marga dan marga cabang berikut:<br />1. Maha.<br />2. Sambo.<br />3. Pardosi, Sembiring Meliala.<br /><br />Keturunan Si Raja Sumba melahirkan marga dan marga cabang berikut:<br />1. Simamora, Rambe, Purba, Manalu, Debataraja, Girsang, Tambak, Siboro.<br />2. Sihombing, Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit, Sitindaon, Binjori.<br /><br />Keturunan Si Raja Sobu melahirkan marga dan marga cabang berikut:<br />1. Sitompul.<br />2. Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, Hutatoruan, Simorangkir, Hutapea, Lumban Tobing, Mismis.<br /><br />Keturunan Toga Naipospos melahirkan marga dan marga cabang berikut:<br />1. Marbun, Lumban Batu, Banjarnahor, Lumban Gaol, Meha, Mungkur, Saraan.<br />2. Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang.<br /><br />Ad. 2. Siraja Asi-Asi (Tunggul Ni Aji) diperkirakan tdk punya keturunan<br /><br />Ad. 3. Sangkar somalidang (diperkirakan tdk punya keturunan)<br /><br /><br />DONGAN SAPADAN (TEMAN SEIKRAR, TEMAN SEJANJI)<br />Dalam masyarakat Batak, sering terjadi ikrar antara suatu marga dengan marga lainnya. Ikrar tersebut pada mulanya terjadi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau antara sekelompok keluarga dengan sekelompok keluarga lainnya yang marganya berbeda. Mereka berikrar akan memegang teguh janji tersebut serta memesankan kepada keturunan masing-masing untuk tetap diingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan setia. Walaupun berlainan marga, tetapi dalam setiap marga pada umumnya ditetapkan ikatan, agar kedua belah pihak yang berikrar itu saling menganggap sebagai dongan sabutuha (teman semarga). <br /><br />Konsekuensinya adalah bahwa setiap pihak yang berikrar wajib menganggap putra dan putri dari teman ikrarnya sebagai putra dan putrinya sendiri. Kadang-kadang ikatan kekeluargaan karena ikrar atau padan lebih erat daripada ikatan kekeluargaan karena marga. Karena ada perumpamaan Batak mengatakan sebagai berikut:<br /><br />"Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang;<br />Togu nidok ni uhum, toguan nidok ni padan"<br /><br />artinya:<br /><br />"Teguh akar bambu, lebih teguh akar rumput;<br />Teguh ikatan hukum, lebih teguh ikatan janji"<br /><br />Masing-masing ikrar tersebut mempunyai riwayat tersendiri. Marga-marga yang mengikat ikrar antara lain adalah:<br />1. Marbun dengan Sihotang<br />2. Panjaitan dengan Manullang<br />3. Tampubolon dengan Sitompul.<br />4. Tampubolon dengan Silalahi<br />5. Nahampun dengan Situmorang.<br />6. Sitorus dengan Hutajulu - Hutahaean - Aruan.<br /><br />disadur dari berbagai sumberPartogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-67065342768442285422008-12-11T16:46:00.000+07:002009-02-04T12:10:58.854+07:00By; B. Joseph Silalahi<br /><br />Didalam mengartikan sebuah kalimat atau kata, kita harus tau dari mana asal usul yang empunya nama atau kata, karena pasti didaerah lain akan beda artinya.<br />Jadi agar jangan menjadi bias dan mencoba mencocok-cocokkan sebuah keinginan alangkah baiknya kita mengerti siapa yg kita bicarakan.<br /><br />Berbicara mengenai orang batak tentu kita berpatokan kepada bahasa batak, berbicara mengenai nama Pakpak tentu kita berpatokan ke bahasa pakpak dan itulah yang benar.<br />Jadi jika kita berbicara mengenai nama-nama dan artinya dari keturunan si Raja batak adalah baku degan bahasa Batak. Coba perhatikan nama-nama keturunan si raja batak dan artinya adalah bahasa batak tulen.<br /><br />Membahas mengenai arti nama dari anak-anak dari keturunan Sorbanibanua yang Batak tulen tentu dgn Bahasa batak tulen.<br /><br />1. Sibagot ni Pohan = <br />Arti secara letterlet:<br />si = kata penunjuk, <br />bagot = pohon enau / payu dara<br />ni = kata petunjuk<br />Pohan = sejenis pohon<br />Arti tersirat :<br />Si Jantung hati/anak yang di kasihi/orang yang berprilaku manis budi<br />Bahasa Batak :<br />Sibagot ni Pohan = Anak na ni haholongan/anak na burju<br /><br />2. Sipaet Tua<br />Arti secara letterlet:<br />Si = kata penunjuk<br />Paet = Pahit<br />Tua = sangap = wibawa<br />Arti tersirat :<br />Orang yang teguh dan tegas/tdk ada neko-neko<br />Bahasa Batak:<br />Sipaet Tua = Anak na togu di pandapot/dang olo muba-uba.<br /><br />3. Silahi Sabungan<br />Arti Secara letterlet :<br />Si = kata penunjuk<br />Lahi = anak laki-laki<br />Sabungan = petarung = andalan<br />Arti tersirat :<br />Laki-laki yang dapat di andalkan<br />Bahasa Batak :<br />Silahi Sabungan = sada Baoa na boi si pajuju on.<br /><br />4. Siraja Oloan<br />Arti Secara letterlet:<br />Si = kata penunjuk<br />raja = raja<br />Oloan = di turuti<br />Arti tersirat:<br />= Seorang Raja yang patut di turuti<br />Bahasa Batak :<br />Siraja Oloan = Raja si oloan/ si ihut honon.<br /><br />Didalam permasalahan panggilan Silalahi, keturunan Silahi Sabungan yang lain khususnya si 7 turpuk berpolemik berasal dari kata Silahi Sabungan dgn mencoba mencari pengertian dari bahasa Asing untuk memaksakan keinginan Silahisabungan sama dengan Silalahi.<br />pada hal Silalahi adalah anak pertama dari Silahi sabungan dari istri Pintahaomasan boru baso bolon putri dari Raja Nabolon(Parna) makanya silahi sabungan dipanggil dengan amani Silalahi.<br />fenomena ini sudah sering dilakukan pomparan ni si 7 turpuk dari masa-kemasa utk meniadakan Silalahi dari anak Silahi Sabungan.<br />Kronologis yang saya tau dan saya rasakan sebagai berikut:<br />1. Keturunan si 7 turpuk semenjak thn 1967 an tidak mengakui adanya marga Silalahi karena saya waktu SMP pernah berkunjung ke daerah Paropo, saya ditanya seorang ibu:<br />ibu : Marga aha ma hamu?<br />saya : Marga Silalahi inang!<br />ibu : Silalahi aha ma hamu?<br />Saya : ***##****(bingung.com) Silalahi inang...<br />ibu : unang di boan hamu marga molo so diboto hamu marga mu, dang adong marga Silalahi ai parsadaan doi katanya sewot.<br />akupun pergi dgn membawa sebuah pertanyaan.<br />2. mulai mengakui marga Silalahi tetapi bukan anak dari Silahi sabungan tapi dari keturunan Rumasondi.<br />3. utk melegalkan semua rencana penghilangan Silalahi dari anak Silahi Sabungan si 7 turpukpun membuat berbagai asumsi dari cerita fiksi dan aktor bayangan yang mengakui bahwa Silalahi adalah keturunan Rumasondi. kalau seandainya keturunan Rumah sondi berarti hanya itulah yg berhak memakai marga Silalahi, ini kok jadi marga Persatuan dari seluruh pomparan ni Silahi sabungan?<br />4. mulai membuat manuver yg lain yakni mengartikan asal kata Silalahi itu dari bahasa lain atau bahasa asing yg bertujuan bahwa kata Silalahi sama dengan silahi Sabungan.<br />hal ini tdk akan berkesudahan sampai mereka berhasil mendoktrin semua marga bahwa Silalahi itu adalah parsadaan yang bisa dipakai seluruh keturunan Silahisabungan.<br /><br />Kepada dongan tubu Silalahi dan boru kami, marilah kita ajarkan hal ini kepada anak-anak kita agar mereka bisa mewaspadai cara-cara dari si 7 turpuk utk menghilangkan marga kita dari anak Silahi Sabungan.<br />marilah kita benget dalam marulaon agar kita maju dan banyak berdoa agar selalu diberi kebijakan dalam bersikap dan bertingkah laku.<br />ada umpasa yang mengatakan:<br />Ijuk di para-para, hotang di parlabian<br />nabisuk do nampuna hata, naoto tu pargadisan.<br /><br />sahat-sahat ni soluma sahat tu bortean<br />nunga hubaen penjelasan na saotik on, sai tontongma taparrohahon.<br /><br />Horas..horas...horas!Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-3170569179662977882008-10-23T14:39:00.000+07:002008-10-23T14:41:20.798+07:00DEKLARASI TENTANG MARGA SILALAHIJANJI URAT NI EME ANTARA SILALAHI DENGAN MANURUNG<br /><br />Janji urat ni eme antara Bius Tolping dgn Bius si Bisa adalah antara Silalahi dgn Manurung.<br /><br />Tolping dan Bius Sibisa.<br /><br />Molo tumanggar eme di Tolping manang ro logo ni ari di na so tingkina, manang dia pe sega ni na niula (partaonan) tu bius sibisa do tutu ro bius Tolping mangalap bosur-bosur.<br />Mangalap bosur-bosur lapatanna : “ i ma ro manang piga halak mardongan Raja Parbaringin sian Bius Tolping tu Bius Sibisa, jala lehonon ni Bius Sibisa ma na ro i mangan bosur (butong), jala lehonon eme tu ampang boanon nasida mulak tu huta na “.<br /><br />Terjadinya Janji Urat ni Eme :<br /><br />1. Ala Silalahi na sian Tolping do na patupa ingkon berenami si Raja Tambun di na mulak ibana tu Sibisa<br /><br />2. Sewaktu margondang Manurung, Silalahi na sian Tolping pertama diulosi baru sesudah itu si Raja Tambun.<br /><br />3. Silalahi yang mangadathon si Raja Tambun sewaktu perkawinannya dengan boru Manurung, kepada keluarga Manurung.<br /><br />Pesta ni SI Raja Tambun Di Tano Sibisa Balige<br />tanggal 28-April-1964.<br /><br />Menerbitkan Deklarasi sbb:<br /><br />“SADARION HAMI SILALAHI NASIAN TANO TOLPING DOHOT PANGURURAN PASAHATHON ULOS NI TONDI NI ANGGI DOLI NAMI TAMBUNAN POMPARAN NI SI RAJA TAMBUN NAPINATARUS-TARUS NI INANG NAMI SIBORU PINTAHAOMASAN DI TANO TOLPING”<br />“SADARION HAMI TAMBUNAN POMPARAN NI SIRAJA TAMBUN NA SIAN TANO SIBISA BALIGE MANJALO ULOS NI TONDI NAMI SIAN HAHADOLI NAMI SILALAHI TUBU NI INANG NAMI SIBORU PINTA HAOMASAN NA PATARUS-TARUS OPPUNGNAMI SIRAJA TAMBUN DI TANO TOLPING.”<br />2.Punguan ni Pomparan Datu Gontam Tambunan Lumban Pea Anak Dohot Boru Se Kota Besar Medan.<br />Pada Tanggal 18-Juni-1978.<br />3.Hasil Sarasehan -1 Tambunan Pagar Aji.Jakarta 6-Mei-1993.<br /><br />Partangiangan ni Silalahi Raja-Boru-Bere Bandung-Cimahi Dohot Nahumaliang. Bandung 1-April-1984.<br /><br />Dari hasil Partangiangan tersebut telah lahir Prasasti sbb:<br />1.Sogon Sada Pernyataan balga ni roha keluarag besar Silalahi Raja namaringanan di Kotamadya Bandung-Cimahi dohot nahumaliangna.Mangkuling do ogung sabangunan manomu-nomu huhut mabomba Tulangnami dohot inanta soripada.Hupasahat hami do sada hoda (simbolis) humdul-hundulan ni Raja Naiambaton Oppu Raja Bolon,songoni nang sulang-sulang tu adopan ni tulangnami keluaraga besar Parna.Ima diharoroni Tulangnami rap dohot inanta soripada mamboan huhut pasahathon parbue sipir ni tondi,dengke sitio-tio dohot ulos herbang tu berena Silalahi Raja dohot tu anggi doli Tambunan pomparan ni Si Raja Tambun.Dibagasan pangidoan tu Ompunta namartua Debata,asa margomgom ma tutu sahala nang tondi ni Tulang tu berena.Pirma tutu tondi jala tanggo tohap.Satahi saoloan saluhut bere nang tulangna dibagasan simangot ni Ompu parsadaan.<br />2.Ulaon na marsintuhu na diginjang songon tuntutan ni adat na pinungka ni ompunta sijolo jolo tubu na sai tong marsaringar jala tarida mulai sian namamompar naparjolo sahat rodi ombason.Ima hinorhon ni holong namasiihotan jala mudar na mangkuling di tonga-tonga ni keluarga na marbere-martulang sian generasi tu generasi.Songon sada komunikasi langsung jala berlanjut antara Pomparan Ni Silahisabungan tubu ni sipinta Haomasan/Silalahi Raja dohot Pomparan ni Raja Bolon/Parna.<br />3.Hasomalan na sun uli on manghajongjonghon tona nang poda ni Ompu Raja Bolon tu Pinomparna:<br />-Sipinta Haomasan boru hasian ditonga-tonga ni ibotona jala sumber hadengganon do di Ompu Raja Bolon.hot di adat jala tingkos di uhum.<br />-Sipinta Haomasan tunggane boru ni Silahisabungan namamompar Silalahi Raja jala napatarus-tarus anak natinundunhonna anggi doli SIRaja Tambun.<br />4.Songon hata ni umpasa namandok:<br />Togu ninna andor hadungka.<br />tumogu dope andor hune.<br />Tona ni Ompunta tu itona,<br />Ndada tona na pinaune-une.<br />Ganjang do bahul-bahul pandan panuhunan,<br />Ditoru ni do anggo bahul-bahul parrarasan.<br />Ndada tarsirang Silalahi Raja dohot Tambunan,<br />Hinorhon ni tarus ni Ompu Sipinta Haomasan.<br />Tubu hariara ditonga-tonga ni huta<br />Horas jala gabema berena Silalahi Raja<br />Laos songoni ma nang tulang na Parna.<br />Bandung 1-April-1984.<br />Hami Namanjalo:<br />1.H Simbolon (Tuan)<br />2.M R Simbolon(Suhut ni huta).<br />3.D Y Simbolon (Pande).<br />4.D Simbolon(Sirimbang)<br />6.K Saragi.<br />7.P H Simarmata.<br />8.A Sidabutar.<br />Anggi Doli:<br />1.Tigor Tambunan (Pagar Aji)<br />2.Posman Tambunan( lumban Pea).<br />3.Victor Tambun.<br />4.B Tambunan (Tambun Sunge).<br />Disaksikan haha doli:<br />1.T R Tampubolon.<br />2.S M Tampubolon.<br />3.E Tampubolon.Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-5530785030243604742008-10-22T14:32:00.001+07:002009-06-18T10:31:39.914+07:00ASAL USUL KATA MARGA SILALAHIBy : B. Joseph Silalahi<br /><br />Didalam mempelajari dan menelusuri suatu sejarah Kejadian yang berlangsung sudah lewat, kita harus mempelajari Historical culture pada era itu juga, karena kalau kita bawa ke pemikiran dan era kita sekarang ini, akan beda dan jauh hasilnya, dan kebanyakan tdk masuk akal.<br />Mis: Kenapa sampai Mertua Laki-laki tdk bisa menolong menantu perempuan walau jatuh di depannya?<br />Kenapa seorang Istri dari abang/adek istri kita tdk bisa salaman sama kita (marbao) dan sebaliknya<br />tentu ini jika di hubungkan era saat ini sangat janggal dan tdk toleran, tapi kalau era dulu itu adalah sangat lumrah dan sopan dan ada latar belakangnya. <br /><br />Menelusuri perdebatan mengenai asal marga SILALAHI apakah berasal dari nama SILAHISABUNGAN atau dari nama anaknya yakni SILALAHI (SILAHI RAJA)?<br />Tentu dalam mengetahui hal ini kita harus banyak belajar tentang Historical Culture yang berlangsung dalam era itu di Suku Batak karena Silahisabungan adalah orang BATAK tulen.<br />Didalam sejarah Suku Batak dari dulu hingga saat ini masih terpelihara penyebutan nama orang tua adalah hal yang sangat Tabu dan sakral, dan tak bisa disangkal sering terjadi perkelahian apabila menyebut nama Orangtua seseorang dengan sembarangan.<br />Adapun sebutan atau panggilan kepada seorang Orang Tua hingga zaman saya lahir 1970 adalah berdasarkan Gelar atau nama anak pertama.<br />Seperti ayah saya Tidak pernah ada yg menyebutkan namanya yang sebenarnya di paradatan atau sehari-hari, tapi selalu memanggil “Kompi” (gelar) karena ayah saya Komandan Peleton di Jajaran ABRI waktu itu atau dengan Panggilan nama anaknya yang pertama.<br />Tentu dgn mempelajari Historical Culture di bangsa batak bisa di pastikan nama Silahisabungan, sebagai seorang Tabib besar dan terkenal tdk mungkin orang berani menyebut atau memanggil namanya sembarangan, makanya dia selalu dipanggil dengan Amang Silalahi karena anaknya yang pertama adalah bernama Silalahi yang menjadi Anak Panggoarinya.<br />Dan adat turun temurun di suku Batak, anak Pertamalah yang meneruskan kekuasaan/Warisan, makanya Huta dan Tao yang dipukka Silahisabungan disebut Silalahi karena dialah anak Pertamanya. Seandainya nama lain anak pertamanya pasti disebut sesuai dgn nama anak tersebut. <br />Jadi mari kita pilah-pilah dengan cermat dan pakai logika serta nalar yang cermat agar jangan salah menafsirkan hingga menjadi bias yang tidak berkesudahan.<br /><br />Horas.Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com27tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-34820738772481569282008-09-01T12:02:00.000+07:002009-02-18T11:32:43.170+07:00Terbentuknya Marga-marga dalam suku Batak<br />By: Biarjo Silalahi<br /><br />Marga adalah identitas yang sangat penting dalam suku batak semenjak terlahir ke dunia ini, Juga merupakan salah satu pedoman awal untuk tatanan hidup bermasyarakat, khususnya di lingkungan sukunya, makanya ada Umpasa/pribahasa yang mengatakan<br /> “ Tinitip Sanggar baen huru-huruan”<br />“ Jolo sinukkun marga asa binoto partuturan”<br />Tradisi kebudayaanMarga ini tdk tau entah dari mana asal-usulnya karena tdk banyak suku di dunia yang memiliki kebudayaan seperti itu.<br />Kalau di lihat dari segi kerukunan dan ke teraturan, kebudayaan marga ini sangat banyak di kagumi suku-suku lain, karena walaupun sudah beberapa generasi jika bertemu mereka akan tau siapa dirinya dan dimana tempatnya yang disebut dengan Dalihan na Tolu (DNT).<br /><br />Setelah sekian lama penulis mengamati Tarombo batak yang beredar dikalangan masyarakat Batak, baik secara Texbook maupun dari Internet dapat di peroleh keaneka ragaman versi, hal ini sangat dimaklumi oleh karena latar belakan para penulis dan kelengkapan data/sample yang dia dapatkan dalam penulisan silsilah dari tiap marga, walau secara garis besar bertujuan sama. <br />Dengan hal tersebut penulis mencoba mencari versi Tarombo yang bayak beredar dan cukup diterima masyarakat banyak untuk mengelompokkan Marga itu terbentuknya di generasi keberapa dari si Raja Batak, dengan tujuan mempermudah generasi muda Batak dan para pecinta-pecinta kebudayaan batak. <br /><br />1.Digenerasi Pertama belum ada Marga, yang ada hanya nama yakni :<br /> SIRAJA BATAK<br />2.Generasi ke dua juga belum ada marga yang ada hanya nama :<br />GURU TATEABULAN dan RAJA ISUMBAON<br />3.Digenerasi ke Tiga mulai ada nama yg menjadi cikal bakal Marga khususnya dari turunan Guru Tateabulan, sementara dari keturunan Raja Isumbaon masih sebuah nama yakni :<br /><strong>Dari Guru Tatea bulan </strong>: SIRAJA BIAK-BIAK, SARIBU RAJA, LIMBONG MULANA, SAGALA RAJA, MALAU RAJA.<br /><strong>Dari Raja Isumbaon </strong>TUAN SORIMANGARAJA, SIRAJA ASI ASI, SANGKAR SOMALIDANG.<br />4.Generasi ke empat terbentuk :<br /><strong>Dari Guru Tatea Bulan </strong>: SIRAJA LONTUNG, SIRAJA BORBOR, SIRAJA GALEMAN, PALU ONGGANG, LANGGAT LIMBONG, HUTA RUAR, HUTA BAGAS, HUTA URAT, PASE, NILAMBEAN, MANIK/DAMANIK, AMBARITA, GURNING, <br /><strong>Dari Raja Isumbaon </strong>: TUAN SORBADIJULU, TUAN SORBADIJAE, TUAN SORBADIBANUA<br />5.Di Generasi ke Lima keturunan Guru Tatea Bulan sudah terbentuk beberapa marga, sementara di keturunan Raja Isumbaon baru terbentuk Cikal Bakal marga yakni :<br /><strong>Dari Guru Tatea Bulan </strong>: TOGA SINAGA, TOGA SITUMORANG, TOGA PANDIANGAN, TOGA NAINGGOLAN, TOGA SIMATUPANG, TOGA ARITONANG, TOGA SIREGAR, TUAN BALASAHUNU, SIDAMANIK, RANGKUTI, OP BORSAK, TUAN RUMA IJUK, TOGA NABURAHAN, NAOPATPULU, JONGGI NABOLON, <br /><strong>Dari Raja Isumbaon</strong>: SIMBOLON TUA, TAMBA TUA, MUNTE TUA, SARAGI TUA, MANGATUR, MARDOPANG, SIBAGOTNIPOHAN, SIPAETTUA, SILAHISABUNGAN, SIRAJAOLOAN, SIRAJA HUTA LIMA, TOGA SOBU, TOGA SUMBA, TOGA NAIPOSPOS, <br />6.Generasi ke enam dari SiRaja Batak keturunan Guru Tatea Bulan sdh membentuk marga cabang dari marga sebelumnnya, sementara dari keturunan Raja Isumbaon belum semuanya menjadi Marga yakni:<br /><strong>Dari Guru Tatea Bulan </strong>: BONOR, OPPU RATUS, URUK, PANDE, LUMBAN NAHOR, SUHUT NI HUTA, SIRINGO-RINGO, SITOHANG, PANDIANGAN, RAJA SUMONANG, TOGA SIBATU, TOGA SIHOMBAR, TOGA TOROP, SIANTURI, SIBURIAN, OPPU SUNGGU, RAJA GUKGUK, SIMARE MARE, SILO, DONGORAN, SILALI, SIREGAR SIAGIAN, DATU TALA DIBABANA, DATU ALTONG, OPPU SAHANG MATANIARI, OPPU SINDAR MATANIARI, OPPU RAJA MINAR, <br /><strong>Dari Raja Isumbaon </strong>: SURI RAJA, MARTUA RAJA, RAJA PARNGONGO, RAJA SI TAMPANG, OPPU JALAK MARIBUR, OPPU JALAK KARO, SAING, SIMALANGO, SIMARMATA, NADEAK, SIDABUNGKE, RUMAHORBO, SITIO, TARIGAN, MANURUNG, SITORUS, SIRAIT BUTAR BUTAR, TUAN SIHUBIL, TUAN DIBAGARNA, TUAN SOMANIMBIL, SONAK MALELA, PANGULU PONGOK, SIPARTANO, PARDUNDONG, SILALAHI, SIHALOHO, SITUKKIR, RUMASONDI, SINABUTAR, SINABARIBA, SINABANG, PINTU BATU, TAMBUN, NAIBAHO, SIHOTANG, BAKKARA, SINAMBELA, SIHITE, MANULLANG, MAHA, SAMBO, PARDOSI, TINANDANG, HASIBUAN, SIHOMBING, SIMAMORA, MARBUN, MARTUA SAAMA<br />7. Di Generasi ke Tujuh dari keturunan Guru Tatea Bulan sudah membentuk beberapa marga Cabang namun dari Keturunan raja Isumbaon baru beberapa dan ada yang baru terbentuk menjadi Marga yakni :<br /><strong>Dari Guru Tatea Bulan </strong>: PADANG, BERUTU, SOLIN, RAJA DAPOTAN, RAJABEA, RUMAPEA, URUK, TONGA TONGA, TORUAN, GULTOM, SAMOSIR, PAKPAHAN, SITINJAK, SIBATUARA, PARHUSIP, LUMBAN NAHOR, PINAYUNGAN, LUMBAN SIANTAR, HUTA BALIAN, SIREGAR SALAK, SIREGAR PAHU, RITONGA, DATU RIMBANG, SIPAHUTAR, HARAHAP, SIMARGOLANG, TOGA SIHOLE, OPPU BOLON, RUMA NAHOR, TOGA HABEAHAN, <br /><strong>Dari Raja Isumbaon </strong>: TUAN NAHODA RAJA, ALTONG NA BEGU, PANDE SAHATA, JUARA BULAN, SUHUT NI HUTA, RAJA SIRIMBANG, RAJAHAPOTAN, SIDABALOK, SIADARI, SIJABAT, TURNIP, SIDAURUK, SIALLAGAN, SINAPITU, SITANGGANG, SIGALINGGING, HUTAGURGUR, HUTAGAOL, SIMANORONI, TAMPUBOLON, PANJAITAN, SILITONGA, SIAGIAN, SIANIPAR, SIAHAAN, SIMANJUNTAK, HUTAGAOL, SIMANGUNSONG, MARPAUNG, NAPITUPULU, PARDEDE, HUTAHAEAN, ARUAN, HUTAJULU, SIBARANI, SIBUEA, PANGARIBUAN, HUTAPEA, LUMBAN PEA, HUTABALIAN, SIGIRO, MARSOIT, ORG KAYOTUA, SILABAN, LUMBANTORUAN, NABABAN, HUTASOIT, PURBA, MANALU, DEBATARAJA, RAMBE, LUMBAN BATU, BANJARNAHOR, LUMBANGAOL, SIBAGARIANG, HUTAURUK, SIMANUNGKALIT, SITUMEANG.<br />8.Generasi ke Delapan masih terbentuk marga-marga Baru yakni :<br /><strong>Dari Gurutatea Bulan </strong>: HUTABALIAN, HARIANJA, LUMBAN TUKKUP, LUMBAN RAJA, SIGURDA, SORMIN, <br /><strong>Dari Raja Isumbaon </strong>: TINAMBUNAN, TUMANGGOR, MAHARAJA, TURUTAN, PINAYUNGAN, NAHAMPUN, MATANIARI, SIBORO, SEMBIRING, SIPAYUNG, DOLOK SARIBU, SINURAT, NADAPDAP, NAIBORHU, AMBUYAK, SITOMPUL, HUTABARAT, PANGGABEAN, HUTAGALUNG, HUTATORUAN, GIRSANG, SIBORO, TAMBAK. <br />9.Di Generasi ke sembilan masih ada dari keturunan Guru Tateabulan yang baru terbentuk menjadi marga sementara Raja Isumbaon masih terbentuk marga cabang dari marga induk yakni :<br /><strong>Dari Guru Tatea bulan </strong>: TANJUNG, SAHANGMAIMA, DATU MARHANDANG, <br /><strong>Dari Raja Isumbaon </strong>: MANIHURUK, BARIMBING, SILAEN, BADIARAJA, ALANGPARDOSI, KAROKARO, SARIBURAJA, POHAN, LUMBAN RATUS, SIMORANGKIR, HUTAPEA, LUMBAN TOBING, <br />10.Generasi ke sepuluh masih terbentuk marga dari keturunan Guru Tatea Bulan namun dari keturunan Raja Isumbaon telah mengikuti marga-marga induk:<br />PULUNGAN, LUBIS, PASARIBU, BATUBARA, MATONDANG, TARIHORAN, PARAPAT, SARUKSUK, HUTASUHUT, DAULAY.Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-84165124581522504.post-27691263175148391222008-09-01T11:48:00.000+07:002008-09-01T11:50:17.641+07:00MARGA - MARGA BATAKDikutip dari buku: Ruhut-ruhut ni Adat Batak<br />Karya besar : Alm. H.B. situmorang<br />BPK Gunung Mulia, Jakarta - 1983<br /><br /> <br />A.<br /><br />1. AMBARITA<br />2. AMPAPAGA (SIAMPAPAGA)<br />3. AMPUN (NAHAMPUNGAN)<br />4. ANGKAT<br />5. ANGKAT SINGKAPAL<br />6. ARITONANG<br />7. ARUAN<br /><br />B.<br /><br />8. BABIAT<br />9. BAHO (NAIBAHO)<br />10. BAKO<br />11. BANJARNAHOR (NAINGGOLAN)<br />12. BANJARNAHOR (MARBUN)<br />13. BANCIN<br />14. BAKKARA<br />15. BARINGBING (TAMPUBOLON)<br />16. BARUARA (TAMBUNAN)<br />17. BARUTU (SITUMORANG)<br />18. BARUTU (SINAGA)<br />19. BATUARA (NAINGGOLAN)<br />20. BATUBARA<br />21. BERASA<br />22. BARAMPU<br />23. BARINGIN<br />24. BINJORI<br />25. BINTANG<br />26. BOANGMANALU<br />27. BOLIALA<br />28. BONDAR<br />29. BORBOR<br />30. BUATON<br />31. BUNUREA (BANUAREA)<br />32. BUNJORI<br />33. BUTARBUTAR<br /><br />D.<br /><br />34. DABUTAR (SIDABUTAR ?)<br />35. DAIRI (SIMANULLANG)<br />36. DAIRI (SINAMBELA)<br />37. DALIMUNTA (MUNTE ?)<br />38. DAPARI<br />39. DAULAE<br />40. DEBATARAJA (SIMAMORA)<br />41. DEBATARAJA (RAMBE)<br />42. DOLOKSARIBU<br />43. DONGORAN<br />44. DOSI (PARDOSI)<br />G.<br /><br />45. GAJAA<br />46. GAJADIRI<br />47. GAJAMANIK<br />48. GIRSANG<br />49. GORAT<br />50. GULTOM<br />51. GURNING<br />52. GUSAR<br /><br /><br />H.<br /><br />53. HABEAHAN<br />54. HARAHAP<br />55. HARIANJA<br />56. HARO<br />57. HAROHARO<br />58. HASIBUAN<br />59. HASUGIAN<br />60. HUTABALIAN<br />61. HUTABARAT<br />62. HUTAJULU<br />63. HUTAGALUNG<br />64. HUTAGAOL (LONTUNG)<br />65. HUTAGAOL (SUMBA)<br />66. HUTAHAEAN<br />67. HUTAPEA<br />68. HUTASOIT<br />69. HUTASUHUT<br />70. HUTATORUAN<br />71. HUTAURUK<br /><br />K.<br /><br />72. KASOGIHAN<br />73. KUDADIRI<br />L.<br /> <br />74. LAMBE<br />75. LIMBONG<br />76. LINGGA<br />77. LONTUNG<br />78. LUBIS<br />79. LUBIS HATONOPAN<br />80. LUBIS SINGASORO<br />81. LUMBANBATU<br />82. LUMBANDOLOK<br />83. LUMBANGAOL (MARBUN)<br />84. LUMBANGAOL (TAMBUNAN)<br />85. LUMBAN NAHOR (SITUMORANG)<br />86. LUMBANPANDE (SITUMORANG)<br />87. LUMBANPANDE (PANDIANGAN)<br />88. LUMBANPEA (TAMBUNAN)<br />89. LUMBANRAJA<br />90. LUMBAN SIANTAR<br />91. LUMBANTOBING<br />92. LUMBANTORUAN (SIRINGORINGO)<br />93. LUMBANTORUAN (SIHOMBING)<br />94. LUMBANTUNGKUP<br />M.<br />95. MAHA<br />96. MAHABUNGA<br />97. MAHARAJA<br />98. MALAU<br />99. MALIAM<br />100. MANALU (TOGA SIMAMORA)<br />101. MANALU-RAMBE<br />102. MANALU (BOANG)<br />103. MANIK<br />104. MANIK URUK<br />105. MANURUNG<br />106. MARBUN<br />107. MARBUN SEHUN<br />108. MARDOSI<br />109. MARPAUNG<br />110. MARTUMPU<br />111. MATANIARI<br />112. MATONDANG<br />113. MEHA<br />114. MEKAMEKA<br />115. MISMIS<br />116. MUKUR<br />117. MUNGKUR<br />118. MUNTE (NAIMUNTE ?)<br /><br />N.<br />119. NABABAN<br />120. NABUNGKE<br />121. NADAPDAP<br />122. NADEAK<br />123. NAHAMPUN<br />124. NAHULAE<br />125. NAIBAHO<br />126. NAIBORHU<br />127. NAIMUNTE<br />128. NAIPOSPOS<br />129. NAINGGOLAN<br />130. NAPITU<br />131. NAPITUPULU<br />132. NASUTION<br />133. NASUTION BOTOTAN<br />134. NASUTION LONCAT<br />135. NASUTION TANGGA AMBENG<br />136. NASUTION SIMANGGINTIR<br />137. NASUTION MANGGIS<br />138. NASUTION JORING<br /><br />O<br />139. OMPUSUNGGU<br />140. OMPU MANUNGKOLLANGIT<br /><br />P.<br /><br />141. PADANG (SITUMORANG0<br />142. PADANG (BATANGHARI0<br />143. PANGARAJI (TAMBUNAN)<br />144. PAKPAHAN<br />145. PAMAN<br />146. PANDEURUK<br />147. PANDIANGAN-LUMBANPANDE<br />148. PANDIANGAN SITANGGUBANG<br />149. PANDIANAGN SITURANGKE<br />150. PANJAITAN<br />151. PANE<br />152. PANGARIBUAN<br />153. PANGGABEAN<br />154. PANGKAR<br />155. PAPAGA<br />156. PARAPAT<br />157. PARDABUAN<br />158. PARDEDE<br />159. PARDOSI-DAIRI<br />160. PARDOSI (SIAGIAN)<br />161. PARHUSIP<br />162. PASARIBU<br />163. PASE<br />164. PASI<br />165. PINAYUNGAN<br />166. PINARIK<br />167. PINTUBATU<br />168. POHAN<br />169. PORTI<br />170. POSPOS<br />171. PULUNGAN<br />172. PURBA (TOGA SIMAMORA)<br />173. PURBA (RAMBE)<br />174. PUSUK<br /><br />R.<br /><br />175. RAJAGUKGUK<br />176. RAMBE-PURBA<br />177. RAMBE-MANALU<br />178. RAMBE-DEBATARAJA<br />179. RANGKUTI-DANO<br />180. RANGKUTI-PANE<br />181. REA<br />182. RIMOBUNGA<br />183. RITONGA<br />184. RUMAHOMBAR<br />185. RUMAHORBO<br />186. RUMAPEA<br />187. RUMASINGAP<br />188. RUMASONDI<br /><br />S.<br /><br />189. SAGALA<br />190. SAGALA-BANGUNREA<br />191. SAGALA-HUTABAGAS<br />192. SAGALA HUTAURAT<br />193. SAING<br />194. SAMBO<br />195. SAMOSIR<br />196. SAPA<br />197. SARAGI (SAMOSIR)<br />198. SARAGIH (SIMALUNGUN)<br />199. SARAAN (SERAAN)<br />200. SARUKSUK<br />201. SARUMPAET<br />202. SEUN (SEHUN)<br />203. SIADARI<br />204. SIAGIAN (SIREGAR)<br />205. SIAGIAN (TUAN DIBANGARNA)<br />206. SIAHAAN (NAINGGOLAN)<br />207. SIAHAAN (TUAN SOMANIMBIL)<br />208. SIAHAAN HINALANG<br />209. SIAHAAN BALIGE<br />210. SIAHAAN LUMBANGORAT<br />211. SIAHAAN TARABUNGA<br />212. SIAHAAN SIBUNTUON<br />213. SIALLAGAN<br />214. SIAMPAPAGA<br />215. SIANIPAR<br />216. SIANTURI<br />217. SIBANGEBENGE<br />218. SIBARANI<br />219. SIBARINGBING<br />220. SIBORO<br />221. SIBORUTOROP<br />222. SIBUEA<br />223. SIBURIAN<br />224. SIDABALOK<br />225. SIDABANG<br />226. SINABANG<br />227. SIDEBANG<br />228. SIDABARIBA<br />229. SINABARIBA<br />230. SIDABUNGKE<br />231. SIDABUTAR (SARAGI)<br />232. SIDABUTAR (SILAHISABUNGAN)<br />233. SIDAHAPINTU<br />234. SIDARI<br />235. SIDAURUK<br />236. SIJABAT<br />237. SIGALINGGING<br />238. SIGIRO<br />239. SIHALOHO<br />240. SIHITE<br />241. SIHOMBING<br />242. SIHOTANG<br />243. SIKETANG<br />244. SIJABAT<br />245. SILABAN<br />246. SILAE<br />247. SILAEN<br />248. SILALAHI<br />249. SILALI<br />250. SILEANG<br />251. SILITONGA<br />252. SILO<br />253. SIMAIBANG<br />254. SIMALANGO<br />255. SIMAMORA<br />256. SIMANDALAHI<br />257. SIMANJORANG<br />258. SIMANJUNTAK<br />259. SIMANGUNSONG<br />260. SIMANIHURUK<br />261. SIMANULLANG<br />262. SIMANUNGKALIT<br />263. SIMARANGKIR (SIMORANGKIR)<br />264. SIMAREMARE<br />265. SIMARGOLANG<br />266. SIMARMATA<br />267. SIMARSOIT<br />268. SIMATUPANG<br />269. SIMBIRING-MEHA<br />270. SEMBIRING-MELIALA<br />271. SIMBOLON<br />272. SINABANG<br />273. SINABARIBA<br />274. SINAGA<br />275. SIBAGARIANG<br />276. SINAMBELA-HUMBANG<br />277. SINAMBELA DAIRI<br />278. SINAMO<br />279. SINGKAPAL<br />280. SINURAT<br />281. SIPAHUTAR<br />282. SIPAYUNG<br />283. SIPANGKAR<br />284. SIPANGPANG<br />285. SIPARDABUAN<br />286. SIRAIT<br />287. SIRANDOS<br />288. SIREGAR<br />289. SIRINGKIRON<br />290. SIRINGORINGO<br />291. SIRUMAPEA<br />292. SIRUMASONDI<br />293. SITANGGANG<br />294. SITANGGUBANG<br />295. SITARIHORAN<br />296. SITINDAON<br />297. SITINJAK<br />298. SITIO<br />299. SITOGATOROP<br />300. SITOHANG URUK<br />301. SITOHANG TONGATONGA<br />302. SITOHANG TORUAN<br />303. SITOMPUL<br />304. SITORANG (SITUMORANG)<br />305. SITORBANDOLOK<br />306. SITORUS<br />307. SITUMEANG<br />308. SITUMORANG-LUMBANPANDE<br />309. SITUMORANG-LUMBAN NAHOR<br />310. SITUMORANG-SUHUTNIHUTA<br />311. SITUMORANG-SIRINGORINGO<br />312. SITUMORANG-SITOGANG URUK<br />313. SITUMORANG SITOHANG TONGATONGA<br />314. SITUMORANG SITOHANGTORUAN<br />315. SITUNGKIR<br />316. SITURANGKE<br />317. SOBU<br />318. SOLIA<br />319. SOLIN<br />320. SORGANIMUSU<br />321. SORMIN<br />322. SUHUTNIHUTA-SITUMORANG<br />323. SUHUTNIHUTA-SINAGA<br />324. SUHUTNIHUTA-PANDIANGAN<br />325. SUMBA<br />326. SUNGE<br />327. SUNGGU<br />T.<br /><br />328. TAMBA<br />329. TAMBAK<br />330. TAMBUNAN BARUARA<br />331. TAMBUNAN LUMBANGAOL<br />332. TAMBUNAN LUMPANPEA<br />333. TAMBUNAN PAGARAJI<br />334. TAMBUNAN SUNGE<br />335. TAMPUBOLON<br />336. TAMPUBOLON BARIMBING<br />337. TAMPUBOLON SILAEN<br />338. TAKKAR<br />339. TANJUNG<br />340. TARIHORAN<br />341. TENDANG<br />342. TINAMBUNAN<br />343. TINENDUNG<br />344. TOGATOROP<br />345. TOMOK<br />346. TORBANDOLOK<br />347. TUMANGGOR<br />348. TURNIP<br />349. TURUTAN<br /><br /><br />Tj ( C).<br /><br />350. TJAPA (CAPA)<br />351. TJAMBO (CAMBO)<br />352. TJIBERO (CIBERO)<br /><br /><br />U.<br /><br />353. UJUNG-RIMOBUNGA<br />354. UJUNG-SARIBU<br /><br />KAROKARO<br /><br />355. KAROKARO BARUS<br />356. KAROKARO BUKIT<br />357. KAROKARO GURUSINGA<br />358. KAROKARO JUNG<br />359. KAROKARO KALOKO<br />360. KAROKARO KACARIBU<br />361. KAR0KARO KESOGIHAN<br />362. KAROKARO KETAREN<br />363. KAROKARO KODADIRI<br />364. KAROKARO PURBA<br />365. KAROKARO SINURAYA (dari sian raya)<br />366. KAROKARO SEKALI<br />367. KAROKARO SIKEMIT<br />368. KAROKARO SINABULAN<br />369. KAROKARO SINUAJI<br />370. KAROKARO SINUKABAN<br />371. KAROKARO SINULINGGA<br />372. KAROKARO SIMURA<br />373. KAROKARO SITEPU<br />374. KAROKARO SURBAKTI<br />TARIGAN<br /><br />375. TARIGAN BANDANG<br />376. TARIGAN GANAGANA<br />377. TARIGAN GERNENG<br />378. TARIGAN GIRSANG<br />379. TARIGAN JAMPANG<br />380. TARIGAN PURBA<br />381. TARIGAN SILANGIT<br />382. TARIGAN TAMBAK<br />383. TARIGAN TAMBUN<br />384. TARIGAN TAGUR<br />385. TARIGAN TUA<br />386. TARIGAN CIBERO<br /><br />PERANGINANGIN<br /><br />387. PERANGINANGIN-BENJERANG<br />388. PERANGINANGIN BANGUN<br />389. PERANGINANGIN KABAK<br />390. PERANGINANGIN KACINABU<br />391. PERANGINANGIN KELIAT<br />392. PERANGINANGIN LAKSA<br />393. PERANGINANGIN MANO<br />394. PERANGINANGIN NAMOHAJI<br />395. PERANGINANGIN PANGGARUN<br />396. PERANGINANGIN PENCAWAN<br />397. PERANGINANGIN PARBESI<br />398. PERANGINANGIN PERASIH<br />399. PERANGINANGIN PINEM<br />400. PERANGINANGIN SINUBAYANG<br />401. PERANGINANGIN SINGARIMBUM<br />402. PERANGINANGIN SINURAT<br />403. PERANGINANGIN SUKATENDE<br />404. PERANGINANGIN ULUJANDI<br />405. PERANGINANGIN UWIR<br /><br />GINTING<br /><br />406. GINTING BAHO<br />407. GINTING BERAS<br />408. GINTING GURUPATIH<br />409. GINTING JADIBATA<br />410. GINTING JAWAK<br />411. GINTING MANIK<br />412. GINTING MUNTE<br />413. GINTING PASE<br />414. GINTING SIGARAMATA<br />415. GINTING SARAGIH<br />416. GINTING SINUSINGAN<br />417. GINTING SUGIHEN<br />418. GINTING SINUSUKA<br />419. GINTING TUMANGGER<br />420. GINTING CAPA<br /><br />SEMBIRING<br />421. SEMBIRING-BRAHMANA<br />422. SEMBIRING BUNUHAJI<br />423. SEMBIRING BUSUK (PU)<br />424. SEMBIRING DEPARI<br />425. SEMBIRING GALUK<br />426. SEMBIRING GURU KINAYA<br />427. SEMBIRING KELING<br />428. SEMBIRING KALOKO<br />429. SEMBIRING KEMBAREN<br />430. SEMBIRING MELIALA<br />431. SEMBIRING MUHAM<br />432. SEMBIRING PANDEBAYANG<br />433. SEMBIRING PANDIA<br />434. SEMBIRING PELAWI<br />435. SEMBIRING SINULAKI<br />436. SEMBIRING SINUPAYUNG<br />437. SEMBIRING SINUKAPAR<br />438. SEMBIRING TAKANG<br />439. SEMBIRING SOLIA<br /><br />MARGA SILEBAN MASUK TU BATAK<br /><br />SINAGA<br /><br />440. SINAGA NADIHAYANGHOTORAN<br />441. SINAGA NADIHAYANGBODAT<br />442. SINAGA SIDABARIBA<br />443. SINAGA SIDAGURGUR<br />444. SINAGA SIDAHAPINTU<br />445. SINAGA SIDAHASUHUT<br />446. SINAGA SIALLAGAN<br />447. SINAGA PORTI<br /><br />DAMANIK<br /><br />448. DAMANIK-AMBARITA<br />449. DAMANIK BARIBA<br />450. DAMANIK GURNING<br />451. DAMANIK MALAU<br />452. DAMANIK TOMOK<br /><br />SARAGI<br /><br />453. SARAGIH-DJAWAK<br />454. SARAGIH DAMUNTE<br />455. SARAGIH DASALAK<br />456. SARAGIH GARINGGING<br />457. SARAGIH SIMARMATA<br />458. SARAGIH SITANGGANG<br />459. SARAGIH SUMBAYAK<br />460. SARAGIH TURNIP<br />PURBA<br /><br />461. PURBA BAWANG<br />462. PURBA DAGAMBIR<br />463. PURBA DASUHA<br />464. PURBA GIRSANG<br />465. PURBA PAKPAK<br />466. PUBA SIIDADOLOK<br />467. PURBA TAMBAK<br /> <br /><br />HALAK SILEBAN NA MASUK TU MARGA NI BATAK<br />468. BARAT ( SIAN HUTABARAT)<br />469. BAUMI (MSRINGAN DI MANDAILING)<br />470. BULUARA ( MARINGANAN DI SINGKIL)<br />471. GOCI (MARINGANAN DI SINGKIL)<br />472. KUMBI (MARINGANAN DI SINGKIL)<br />473. MASOPANG (DASOPANG) SIAN HASIBUAN<br />474. MARDIA (MARINGAN DI MANDAILING)<br />475. MELAYU (Maringan di Singkel) SIAN MALAU<br />476. NASUTION (deba mangakui siahaan do nasida pomparan ni si Badoar [sangti]<br />477. PALIS ( MARINGAN DI SINGKILDOLOK)<br />478. RAMIN (MARINGAN DI SINGKIL)<br />479. RANGKUTI ( didok deba nasida, turunan ni Sultan Zulqarnain sian Asia tu Mandailing)<br /><br />Seperti dikemukakan di awal, ini adalah salah satu versi tentang<br />Marga-marga Batak.<br />Yang mana tulisan ini juga mengacu pada Buku: PUSTAHA BATAK : Tarombo<br />dohot Turiturian ni Bangso Batak<br />karya besar : W. M. Hutagalung.<br />CV Tulus Jaya, 1991"Partogi sian Pintusonahttp://www.blogger.com/profile/03486270062009044461noreply@blogger.com0