Berbagai Efek buruk dari Adat dan didikan yang tidak disadari orang tua
Di dalam Kitab Suci banyak hal-hal yang menceritakan akibat kesalahan pengajaran/didikan yang tidak disadari oleh para orang tua hingga menimbulkan kecemburuan diantara anak-anaknya, yg paling terkenal adalah Kisah cerita Yusuf.
Disaat Yakup yang menganak emaskan Yusuf degan memberikan berbagai fasilitas hingga menimbulkan irihati dari abang dan adek-adeknya hingga merencanakan pembunuhan yang walau akhirnya di jual ke Mesir.
Hal seperti inilah yang terkadang timbul di beberapa keluarga yang menjadi adat kebiasaan di berbagai daerah khususnya bangsa Batak.
Dalam hal ini saya buat contoh Kongkrit dari keluarga besar Silahisabungan.
Silahisabungan meninggalkan tanah kelahirannya Baligeraja beserta Sipaettua dan SiRajaoloan, merekapun memilih tempat masing-masing, Sipaettua tinggal di Laguboti dan Sirajaoloan bermukim di Pangururan dan pindah ke Bakkara dan Silahisabungan bermukim di Tolping Ambarita.
Selama bermukim di Tolping Silahisabungan menikah dengan putri dari Tuan Sorbadijulu (naiambaton) penguasa Pangururan, yang bernama Pintahaomasan boru basobolon dan melahirkan anak yang bernama SILALAHI
Dituntut oleh keahlian Hadatuon dan pengobatan yang luar biasa yang dia miliki sehingga Silahisabungan sering bepergian ke daerah seberang (Paropo, waktu itu termasuk kekuasaan Raja Pakpak) untuk mengobati dan memperdalam ilmu pengobatannya, dan disaat dia bertapa di pinggiran danau Toba dia terusik oleh kedatangan Raja Pakpak yang sedang berburu.
Singkat cerita Silahisabungan dituduh menyalahi daerah territorial dan dia ditangkap utk diintrogasi, namun dari sikap dan cara silahisabungan dalam berdialog membuat Raja Pakpak simpatik yang akhirnya menawarkan salah satu putrinya menjadi istri Silahisabungan dan memberikan sebagian daerah kekuasaannya yakni huta Paropo yang sekarang.
Dengan berbagai pertimbangan Silahisabunganpun menerima tawaran tersebut jadilah dia menikahi Putri Raja Pakpak yang bernama Pingganmatio boru Padangbatanghari yang melahirkan: SIHALOHO, SITUKKIR, RUMASONDI, SINABUTAR, SINABARIBA, SIDEBANG dan PINTUBATU.
Ilmu pengobatan yang dia kuasai membuat Silahisabungan terpangil dari kampung-kekampung hingga tiba di Sibisa.
Mendengar berita keberadaan Silahisabungan yang datang ke daerah kekuasaannya, Raja Mangarerak penguasa Huta Sibisa sangat berniat untuk menguji kemampuan Silahisabungan dalam mengobati Putrinya yang sudah lama sakit akibat guna-guna dari pemuda-pemuda yang ditolak cintanya.
Seperti sebelumnya Raja Mangarerak sudah menyebarkan berita yang berisikan “ Siapa yang bisa mengobati Putrinya akan diberikan apapun permintaannya” hal itu juga berlaku bagi Silahisabungan.
Singkat cerita gadis itu pun sembuh, namun tidak disangka didalam hari-hari pengobatan itu diantara mereka sudah tumbuh benih-benih cinta yang tidak di ketahui Raja Mangarerak.
Tiba hari pemberian hadiah, Raja mangarerakpun menanyakan apa permintaan Silahisabungan.
Takdisangka dan tidak duduga Silahisabungan meminta Putri yang diobati yakni Milingiling boru mangarerak untuk menjadi istrinya.
Janji pantang di ingkari akhirnya Silahisabungan menikahi putri Raja mangarerak dan melahirkan RAJA TAMBUN.
Didalam Adat Batak turun temurun, nama anak pertamalah yang menjadi Panggoari (panggilan si bapak sehari-hari) karena anak Pertama Silahisabungan adalah SILALAHI maka sering dia di panggil Amani Silalahi.
Begitu juga tradisi kepemilikan warisan, harus anak pertama yang memiliki huta disamping holongnya ke anaknya yg bernama SILALAHI, maka Tao (danau) yang selalu di arungi Silahisabungan bolak-balik Tolping dan Paropo di sebut dia dengan nama anaknya yang pertama yakni TAO SILALAHI. Dan begitu juga kampung di tepi pantai Paropo disebut juga HUTA SILALAHI.
Setelah berlalunya waktu dan Silahisabungan telah meninggal dan di kuburkan di Dolok Parmasan Pangururan sesuai dengan amanat dia ke anaknya Silalahi, setelah mati harus dikuburkan di dekat hula-hulanya Tuan Sorbadijulu (naiambaton).
Konflik bathin dan rasa kecemburuan sudah tertanam lama di hati Sihaloho dan adik-adiknya karena Bapak mereka Silahisabungan selalu menamai setiap warisannya dgn nama Silalahi anak pertamanya, walau Silalahi itu sendiri tinggal di Tolping Ambarita, sehingga setelah Silahisabungan meninggal merekapun mulai bersekongkol untuk tidak mengakui Silalahi sebagai abang mereka dan tidak mengakui ada yang bernama Silalahi dari keturunan Silahisabungan.
Apalagi kenangan kemunculan Silahisabungan ke kampung Paropo dengan membawa seorang anak laki-laki yang sangat disayang oleh Silahisabungan, bertambahlah rasa kebencian mereka. Sehingga mereka selalu menggoda / menghujat si anak laki-laki tersebut yang tidak lain adalah Raja Tambun. Mereka selalu mengatakan anak nya siapa kamu ?, tulang mu dimana ? tidak ada Tulangmu di Tolping. Sehingga membuat kesal Raja Tambun, dan berkelahi dengan mereka sampai terluka. Sehingga membuat Silahisabungan marah, dan membawa pulang Raja Tambun ke Tolping.
Sebelum berpisah dengan ke 7 abangnya , dibuatlah poda sagu-sagu marlangan, yang masih ditaati samapi sekarang ini. Hal ini juga menambah rasa benci terhadap Silalahi karena Silalahi dapat hidup rukun dengan adiknya Raja Tambun, begitu juga Raja Tambun merasa sangat dekat dengan abangnya Silalahi.
Untuk itu mereka berusaha menghilangkan keberadaan Silalahi sebagai saudara tua mereka dengan membuat kesepakatan bahwa Silalahi itu adalah marga persatuan di antara keturunan silahisabungan demi untuk melancarkan missi menghilangkan Silalahi yang sebenarnya.
Merekapun mengambil alih seluruh warisan Silalahi yang ada di huta Silalahi dan Tao Silalahi degan menamai mereka silalahi Sihaloho, silalahi Situkkir, silalahi Rumasondi, silalahi Sinabutar, silalahi Sinabariba, silalahi Sidebang, silalahi Pintubatu dan silalahi Sigiro dan sampai ada yang mengaku sebagai silalahi Sinurat dan ada yang mengatakan Tambunanpun bisa memakai Silalahi, sungguh kronis.
Hingga sekarang ini dengan menggunakan Silalahi didepan marga mereka, mereka lebih familiar dan akan diakui oleh pomparan Raja Tambun sebagai hahadoli mereka, terlebih didalam sebuah acara adat di setiap Parjambaron sampai sekarang, jika Tambun/Tambunan memanggil “Jambar ni haha doli nami Silalahi”, maka Sihaloho dan adik-adiknya mengaku sebagai Silalahi.
Begitu juga dengan pesta Tampubolon, jika Tampubolon memanggil “Jambar ni angginami (parpadanan) Silalahi” maka Sihaloho dan adik-adiknya mengaku sebagai Silalahi.
Dan yang krusial saat pendirian tugu di Paropo/Silalahi nabolok, Saring-saring (tulang-belulang)Ompu Silahisabungan yang sudah ber abad-abad di Dolok Parmasan Pangururan mereka usahakan utk dipindahkan ke Paropo, namun Silalahi dan Raja Tambun serta keturunan Parna menolak mentah-mentah hingga mereka meresmikan tugu tandingan di Paropo yang mereka sebut dengan Tumaras (thn 1968).
Berbagai cara mereka lakukan hingga saat ini utk mendoktrin setiap marga yang ada di bangsa batak bahwa Silalahi itu adalah marga Parsadaan (persatuan) namun setiap rencana jahat tidak akan pernah menang karena pomparanni Silalahi yang dari Tolping dan Pangururan masih tetap eksis utk menegakkan harkat dan martabat mereka sebagai pewaris marga Silalahi, dan didukung oleh keturunan Raja Tambun sebagai anggi doli Silalahi.
Inilah pengaruh Adat dan kesalahan orangtua yang tidak disadari dalam mendidik anak hingga terjadi late, elat, teal dan hosom yang berkepanjangan.
Horas
By. Biarjo Joseph Silalahi
Par Pintusona.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar