Senin, 14 Juli 2008

TUKKOT TUNGGAL PANALUAN
Dahulu kala di tanah leluhur suku Batak berdiamlah seorang guru yang terbilang sakti bernama Guru Hatia Bulan dengan istri Nan Sindak Panaluan. Anak sulung Guru Hatia Bulan ini lahir kembar tetapi berlainan jenis yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Begitu lahir menurut orang sekampung mereka itu harusnya segera dipisah. Salah seorang mestinya dititipkan kepada saudara atau familinya supaya barjauhan. Akan tetapi entah karena apa, tidak sempat atau kurang diperhatikan begitulah menjelang hampir dewasa mereka yang bersaudara kembar itu sangat akrab. Dan bahkan menurut penuturan orang sekampung malah mereka sudah seperti orang berpacaran dan di anggap tercela dan mencemarkan nama kampung.
Pada suatu ketika terjadilah bencana kering dikampung itu. Hampir 3 bulan lamanya hujan tidak pernah turun. Tanah sudah mengering, bahkan sawahpun sudah terbelah tanahnya semua tanaman muda menguning hingga layu. Para Pimpinan desa segera berunding dan dipanggillah orang pintar namanya “Datu” dari kalangan datu itu di peroleh keterangan bahwa penyebab musim kemarau panjang itu adalah adanya perbuatan tidak senonoh dari orang bersaudaradi kampong itu. Segera tertujulah tuduhan seperti itu kepada anak Guru Hatia Bulan yang bernama Aji Donda Hatahutan dan adiknya perempuan bernama Tapi Omas Nauasan. Pimpingan Desa dan Datu segera menjumpai Guru Hatia Bulan. Kepada mereka di jelaskan bahwa penyebab bencana di desa itu adalah anak kembar mereka. Kedua anak kembarnya yaitu Aji Donda Hatahutan dan adik perempuannya bernama Tapi Omas Nauasan itu dipanggil.
Mereka di tanyai macam-macam pertanyaan, dibentak, digertak dengan suara keras dan lantang serta mata yang melotot. Mereka hanya ketakutan dan diam seribu bahasa. Akhirnya Guru Hatia Bulan dengan terpaksa menyerahkan tak bisa berbuat apa-apa. Ibu su Aji Donda Hatahutan dan si Tapi Omas Nauasan juga bertanya tetapi kedua anaknya tetap merasa katakutan dan membisu seribu bahasa. Aji Donda Hatahutan ini agak penakut dan kurang berani apa lagi karena kelahirannya ditolong Sibaso dukun beranak kampung maka dia menderita cacat tubuh, dan sangat takut mendengar suara keras. Lain halnya dengan adik kembarnya yang perempuan si Tapi Omas Nauasan, anaknya cantik, matanya bening dan rakus, selalu mau minum dan makan buah-buahan. Karena selalu diejek orang sekampung dan adanya tuduhan dari orang-orang kampong, maka Guru Hatia Bulan membangun sebuah rumah kecil dinamakan “Sopo” untuk mereka di kaki bukit dekat hutan. Kesanalah mereka diungsikan dan sekali seminggu ayah dan ibu mereka datang membawa bekal makanan untuk mereka agar jangan mati di pengasingan itu. Sungguh sedih dan malang nasib mereka. Mereka tidak minta dilahirkan seperti itu. Mereka harus menanggung beban dosa dan dihukum dengan penderitaan yang sangat berat. Kalau malam tiba sering kedua adik beradik itu menangis pilu, menjerit ketakutan mendengar suara binatang buas, menahan kedinginan dan menahan lapar karena makanan mereka hanya dikirim sekali seminggu. Dan memang anehnya seperti benar apa kata orang banyak di desa itu. Sejak mereka diungsikan dipindahkan dan diasingkan itu, hujanpun kebetulan turun sehingga orang berpendapat benarlah karena ulah merekalah bencana terjadi dikampung itu. Hanya merekalah yang tau itu dan sang Khalik Pencipta, sebab tidak seorangpun saksi orang kampung mempergoki mereka berbuat yang tidak baik sesamanya. Sebab kalau ada tentunya sudah langsung dihukum pada ketika itu. Tapi datangnya hujan itu sepertinya telah membanarkan pendapat sang Dukun dan didukung oleh pendapat orang-orang kampong.
Tidak berapa jauh dari “Sopo” Rumah Batak kecil dipengucilan dan pengasingan mereka itu tumbuh sebuah pohon yang bagus. Batangnya lurus, kayunya keras dan berbuah kecil-kecil dan manis kalau sudah masak. Nama kayu itu adalah PIUPIU Tanggule sejenis pohon Tada tada. Pohon yang berbuah itu bukan pohon sembarangan Tada tada biasa saja, tetapi rupanya pohon milik Dewata yang berpenghuni roh. Kalau sore hari anjing yang dibawah kolong Sopo yang ikut disertakan waktu mengasingkan mereka itu melihat sesuatu di pohon itu dan sering melolong membuat bulu roma yang mendengarnya berdiri. Apalagi kalau sedang terang bulan purnama lama sekali anjing itu menatap kayu itu dan mengaung dengan suara melengking lama seperti merintih menangis. Begitulah kejadiannya saat kebetulan pohon PIUPIU Tanggule itu berbuah banyak.
Keesokan harinya si Tapi Omas Nauasan melihat banyak buah-buah yang sudah masak. Dan dimintanyalah abangnya si Aji Donda Hatautan untuk mengambil buah itu untuk mereka makan. Semula agak berat hati si Aji Donda Hatautan adanya rasa takutnya untuk memanjat pohon itu. Tetapi si Tapi Omas Nauasan mengatakan akan membuka tali anjingnya agar kalau ada apa-apa bisa membantunya maka timbullah keberaniannya. Pergilah si Aji Donda Hatahutan mendekati pohon PIUPIU Tanggule itu. Diapun memanjatnya ke atas dan saat dia memetiknya dan memakannya ternyata enak. Tetapi begitulah nasibnya setelah buah itu ia makan maka iapun di telan batang pohon PIUPIU Tanggule itu hanya kepalanyalah yang menonjol tersembul di pohon kayu itu. Tapi Omas Nauasan menunggu lama sekali abangnya tak turun-turun juga dari sana dan membawa buah yang dimintanya apalagi di dengarnya anjingnya terus rebut menggongong iapun melihatnya. Karena dilihatnya hanya kepalanya maka iapun tak sabar lagi lalu memanjat pohon itu. Tapi Omas Nauasan juga memanjat tetapi begitu mendekat iapun seperti dimakan kayu itu. Dia tak sempat mengetahui apakah ada ular seperti kadal raksasa yang tinggal yang mendiami pohon itu yang menelannya dan iapun lengket dipohon itu hanya kepala dan bagian dadanyalah yang tidak ikut ditelan batang pohon itu di jumpai oleh Guru Hatia Bulann yang dating keesokan harinya mengantarkan makanan. Sungguh sedih hati Guru Hatia Bulan menyaksikan kejadian itu dan ia segera bergegas pulang kerumahnya menceritakan malapetaka itu kepada istrinya. Secara diam-diam mereka segera memanggil orang pintar seorang Dukun, bernama Datu Parmanuk Holing. Dengan mudah Datuk Parmanuk Holing yang terkenal sakti bergegas pergi. “Ah… gampang biar mereka kucabut berdua”. Kata Datu Parmanuk Holing itu langsung naik ke atas dan memanjatnya tetapi ternyata diapun ikut lengket di kayu itu hanya kepalanya yang tersembul dan badannya hilang ditelan pohon itu. Dengan rasa takut secara diam-diam Guru Hatia Bulan mendengar ada lagi seorang yang sakti bernama Datu Mallatang Malliting. Datu ini dikenal kebal dan mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa. Setelah mendatangi Datu itu, Datu itu berjanji segera melepaskan dan membebaskan mereka karena dia mengaku sakti dan memanjat pohon itu. Tetapi sayang seribu sayang sang Datu Mallatang Malliting itupun ikut pula ditelan pohon Piupiu Tanggule itu. Dengan hati yang berduka Guru Hatia Bulan belum putus harapan untuk menyelamatkan anaknya dan semua. Dicarinya Datu orang pintar dan sakti lainnya seorang perempuan yang paling sakti di negeri itu bernama Datu Boru Sibaso Bolon. Iapun segera mendatangi pohon itu membaca mantra (Tabas tabas) dan memanjat pohon itu tetapi apa dikata iapun mengalami nasib serupa. Kabar itu segera tersiar keberbagai penjuru dan orang-orang sakti pada berkumpul. Seorang Datu sakti bernama Datu Horbo Marpaung mencoba dan juga mengalami nasib yang sama. Tetapi keberanian Datu-datu orang Batak tidak pernah surut seorang lagi Datu bernamaa Datu Jolma So Begu yang angker dan terkenal hebat mencoba masih mengalami hal yang serupa.
Akhirnya datanglah seorang Datu bernama Datu Parpansa Ginjang. Dia meminta agar diadakan upacara terlebih dahulu, diadakan pesta memuja dan menyembah Tuhan serta meminta pengampunan dosa, dan setelah itu ia akan menebang pohon itu. Sepakatlah orang kampung mengadakan pesta adat memotong kerbau dan membuat sesajen menari, kemudian Datu meminta apabila pohon itu telah ditebangnya agar dibuatkan sebuah tongkat dari kayu itu dan diukir kepala-kepala manusia yang ditelan itu dengan gambar manusia menggigit ekor kadal dibagian belakang serta gambar seekor kadal dibagian belakang serta gambar seekor ular menggigit cicak. Setelah disepakati dan ditemukan ahli ukir dilakukanlah penebangan pohon. Pohon itupun tumbang.
Kalau pohon itu tidak ditumbangkan, menurut Datu Papansa Ginjang, akan terus menelan apa saja yang mendekati kayu di hutan itu. Benarlah kayu itu ditebang dalam sekali tebas oleh Datu Papansa Ginjang yang sakti itu dan dibuatlah sebuah tongkat penggantinya dinamai TUNGGAL PANALUAN. Sebagai tongkat Tunggal Panaluan itu selalu dipakai menjalani perbukitan yang licin mencari tanah pemukiman baru untuk penduduk, dipakai Datu pada acara kebesaran resmi Monortor (menari). Tongkat Tunggal Panaluan yang asli itu menurut Prof. Dr. Philip Lumbantobing dan juga Dr. H.N. Van der Tuuk panjangnya kira-kira 1,70 cm garis tengah tebalnya 6 cm meruncing dari atas kebawah.
Sebagai pengganti rambut su Aji Donda Hatahutan dibuatkan benang 3 warna yaitu putih, hitam dan merah yang dinamakan Bonang Manalu. Ukiran ke 7 orang diukir kepalanya akan tetapi mulai Datu Parpansa Ginjang tongkat tebalnya polos 10cm. Dibagian belakang tongkat di ukir seekor kadal menyuruk ke bagian belakang (pantat) Aji Donda Hatautan, kadal lain menggigit kadal yang lainnya dan seekor ular menggigit ekor kadal kedua. Dahulu kala hanya ada satu tongkat dari Datu terbesar yang dimiliki Datu Papansa Ginjang dan dipakai untuk upacara kebesaran Kerajaan Batak. Tetapi setelah penjajahan orang asing memusnahkan Kerajaan Batak entah siapa mengambil tongkat itu, dan entah dimana sudah sulit untuk dilacak. Pernah Doktor Sudung Parlindungan dengan Lumbantobing ketika di Heidelberg Negara bagian Wuttenberg dilembah Sungai Neckar Jerman Barat melihat adanya terdapat sebuah tongkat Tunggal Panaluan. Apakah itu tongkat asli atau tidak hingga sekarang masih teka-teki ataukah diambil oleh kompeni Belanda tidak atau belum ada lagi orang Batak yang mencarinya. Akan tetapi sampai sekarang banyak orang membuat tongkat Tunggal Panaluan terutama dikota Touris Parapat yang dibuat oleh pengrajin dari Samosir sebagai duplikat dan kenang-kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar