Selasa, 23 Juli 2013

Migran Batak Toba di Jakarta

Migran batak Toba di jakarta


Sesudah tahun 1900 ada beberapa orang dari Tapanuli yang dibawa oleh Belanda sebagai pembantu dan pekerjanya ke Batavia. Pada waktu itu Batavia sudah menjadi tempat mencari pekerjaan bagi orang-orang yg datang dari daerah lain di pulau jawa atau sumatera. Salah seorang pemuda kristen batak yang dianggap angkatan pertama datang ke Batavia untuk mencari pekerjaan ialah Simon Hasibuan, seorang tamatan Seminari Pansurnapitu, Tarutung. Dia sampai ke Batavia pada tahun 1907(Sihombing, 1961).



Nainggolan mengemukakan bahwa sekitar tahun 1908, sudah mulai berdatangan orang batak ke Batavia untuk mencari pekerjaan. Dari antara mereka ada yang mengalami kesulitan karena dasar pendidikan mereka yang kurang memadai, akibatnya ada yang kembali ke Tapanuli tetapi ada juga yang tetap bertahan walaupun mereka lebih lama untuk memperoleh pekerjaan yang diinginkannya. Sebagian lagi lebih mudah mendapat pekerjaan karena latar belakang pendidikannya membantu mereka memperoleh pekerjaan. Mereka agak segan mengakui dirinya orang batak, karena kata ‘batak’ memberi arti yg ‘kurang sedap’ pada waktu itu. Itulah salahsatu sebab tidak banyak yang mencantumkan marga dibelakang namanya. Disamping itu, kaum pendatang masih dianggap ‘kafir’ oleh penduduk setempat.

Selain mencari pekerjaan, tahun-tahun selanjutnya sudah mulai ada yang melanjutkan pendidikannya pada sekolah-sekolah lanjutan. Tahun 1913 baru 5 orang yang melanjutkan pendidikannya, diantaranya J.K Panggabean. Sejak tahun 1915 pemuda-pemuda batak tamahan HIS Sigompulon-Tarutung semakin banyak yang melanjutkan pendidikannya, diantaranya ke Kwekschool Gunung Sahari, K.W.S, Stovia dan lain-lain. Sebagian lagi tamatan sekolah Melayu dan sekolah Zending datang untuk mencari pekerjaan di Batavia. Orang-orang yang terlebih dulu datang, ada yang sudah bekerja seperti di jawatan Tofografi, yang mengukur tanah, gunung dan membuat peta-peta.

Namun ada juga yang kembali ke Tapanuli dengan alasan tertentu walaupun mereka telah bekerja di Batavia. Hezekiel.M.Manulang, misalnya, yang tinggal selama 2 tahun(1914-1916) dan bekerja pada gereja Methodist di Patekoan memilih kembali ke Tapanuli dan membangun gerakanpolitik disana untuk menentang maksud pengusaha Belanda yang hendak membuka perkebunan di Silindung.

Demikian juga Lamsana Lumbantobing yang bekerja sebagai pendeta Methodist di jalan Ketapang, kembali ke Tarutung dan membuka kursus Bahasa Inggris disana. Walaupun ada yang kembali tetapi jumlah yang tinggal di Batavia cenderung semakin banyak, karena selalu munculnya pendatang baru. Simon Hasibuan seorang bekas guru Zending yang bekerja pada jawatan Kadaster dipandang sebagai ‘orang tua’ dari pemuda-pemuda batak yang tinggal di Batavia.

Pada tahun 1917 sudah terdapat 30 orang Kristen batak yang tinggal di Batavia. Lima diantaranya sudah berumah tangga dan sebagian lagi terdiri dari pemuda yang melanjutkan sekolah di sekolah teknik(Ambactschool), perawat di R.S CBZ(RSUP sekarang), R.S Cikini, dan R.S KPM Petamburan(simatupang & Pardede,1986). Sebagian besar dari mereka tinggal di Sawah Besar.Dalam mengikuti kebaktian minggu ada yang memasuki Gereja Katolik, Methodist, Gereformeede Kerk, Indische Kerk dan gereja lainnya. Bagi yang menguasai bahasa Belanda, mereka tidak segan-segan mengikuti kebaktian yang berbahasa Belanda. Dalam kurun waktu beberapa tahun itu,mereka bukan tidak rindu mengikuti kebaktian berbahasa daerah, sebagaimana di kampung halamannya.

Guru Frederik Harahap, seorang tamatan Seminari Depok dan Ds.L.Tiemersma(dari gereja Gereformeede)memulai pelayanan bagi pemuda batak sejak pertengahan 1917. Atas jasa-jasabaik Ds.Tiemersma, Gereja Kwitang menyewa 3 rumah yang terletak di perbatasan Sawah besar dengan Kebun Jeruk No.18. Satu dari rumah itu ditempati oleh keluarga Gr.Harahap dan dua lagi untuk pemuda-pemuda tersebut. Hal ini jelas lebih memudahkan tugas Ds.Tiemersma karena dia dapat melayani mereka dalam satu tempat. Upaya yang ditempuh Ds.Tiemersma adalah menyatukan mereka dalam satu kumpulan Kristen Protestan, sebagaimana yang diinginkan dari Tapanuli(Hasibuan,1922).

Bersamaan dengan itu tugas Ny.Harahap pun menjadi ganda, sebagai Ibu Rumahtangga sekaligus juga Ibu Asrama. Dampak positif lainnya bagi pendatang baru atau yang ingin datang ke Batavia adalah kesedian Gr.Harahap menerima mereka dirumahnya, sebagaimana diberitahukan dalam ‘Surat Keliling Imanuel’, yaitu majalah mingguan Huria Kristen batak yang di cetak di Laguboti. Dalam Pemberitahuan itu Harahap menuliskan:

“Siapa saja dari antara bapak dan ibu yang akan memberangkatkan anaknya ke Batavia, untuk melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan, agar lebih jelas datanglah ke alamat saya. Alamatku: F.Harahap, tinggal di perbatasan Sawah besar dan Kebun jeruk, no.18, Batavia”(Simatupang dan Pardede,1986).

Pengumuman itu dapat mendorong seseorang, terutama yang tidak mempunyai keluarga di Batavia untuk datang mengadu nasib ke Batavia. Dapat dibayangkan bahwa ada yang langsung menuju alamat di atas dan bergabung dengan kawan-kawan satu kampung, marga, suku. Kerinduan mereka terhadap kebaktian yang berbahasa batak pun semakin muncul ke permukaan seiring dengan jumlah mereka yang terus bertambah. Pada 20 September 1919, mereka memindahkan kebaktiannya dari Gang Chasse(jalan Kemakmuran sekarang) ke tempat Bybel School di Pasar baru.

Sejak saat itu dimulailah kebaktian berbahasa daerah yang dipimpin oleh Gr.Simon Hasibuan, Gr.Frederik Harahap dan Sutan Harahap. Pada waktu itu jumlah anggota jemaat sebanyak 50 orang, diantaranya Merari Siregar, seorang tokoh angkatan Balai Pustaka, penulis Azab dan Sengsara. Situasi kehidupan yang lebih baik mendorong sebagian besar dari mereka pindah ke daerah yang lebih baik, yaitu daerah Kwitang dan meninggalkan daerah Sawah Besar, daerah yang berawa itu. Sejalan dengan itu, pada November 1919 kebaktian pun diadakan di gedung HIS Kwitang (Simatupang & Pardede,1986).

Dalam beberapa tahun, warga Kristen Batak yang tinggal di Batavia masih terus merindukan agar mereka dilayani oleh pendeta batak atau yang diutus oleh Huria Kristen batak yang berpusat di Tarutung. Upaya ke arah itu sudah dimulai tahun 1919 dengan membentuk Majelis jemaat dan kemudian berlanjut dengan permohonan kepada Ephorus Warneck. Apa yang mereka harapkan belum dapat dipenuhi. Barulah pada Januari 1922, tibalah Pdt.Mulia Nainggolan di Batavia, dialah pendeta Huria Kristen Batak yang pertama di kota itu dan seluruh pulau Jawa.

Kehadiran Pdt.Nainggolan merupakan realisasi permohonan majelis jemaat Batavia dan sekaligus tindak lanjut penggembalaan Huria Kristen Batak terhadap anggota jemaatnya yang tinggal di Pulau Jawa. Taklama kemudian keluarlah surat ijin dari Gubernur Jendral Belanda di Batavia pada tanggal 21 Maret 1922, sejak itu Pdt.Nainggolan semakin berketetapan hati untuk melayani orang-orang Kristen Batak yang ada di Batavia.

Dalam Tahun pertama bertugas di kota itu, Pdt.Nainggolan menghadapi kesulitan-kesulitan, salah satunya ialah pada masa dukacita. Untuk biaya penguburan misalnya, dibutuhkan sekitar 60-90 Gulden, jumlah yang sangat tidak kecil pada waktu itu. Dana Sebesar itu memang dapat diperoleh dari Asisten Residen di Batavia, tetapi harus melalui beberapa tahapan yang kadang-kadang sulit dilalui(Nainggolan,1922). Kesulitan memperoleh dana sebesar itu biasanya terjadi apabila seseorang yang mendapat kemalangan belum didaftarkan sebagai anggota jemaat Huria Kristen Batak Batavia, sehingga pengumpulan dana dari anggota pun sulit dan prosedur yg harus dilalui untuk mendapatkan bantuan pemerintah pun butuh waktu. Kesulitan inilah yang menjadi latar belakang lahirnya perkumpulan “Haholongan”, yang anggotanya orang Batak yang beragama Kristen dan Islam. Organisasi ini khusus didirikan untuk suatu perkumpulan yang berhubungan dengan kemalangan atau dukacita.

Kehadiran beberapa Keluarga anggota militer menambah jumlah orang Batak di Batavia. Pada Oktober 1923 beberapa keluarga Kristen Batak yang bertugas di bagian Kemiliteran pindah ke Batavia. Terdapat 77 orang termasuk istri dan anak-anak yang pindah dari Yogyakarta dan ditempatkan di Batalyon 11.11.16 Meester Cornelis atau Jatinegara sekarang(Nainggolan,1923). Beberapa bulan sebelumnya sebanyak 45 orang pemuda yang belum bekerja dikirim dari Batavia ke Bandung untuk mengikuti kursus kondektur dan sebagian besar dinyatakan lulus dan ditempatkan di Bandung, Bogor, Surabaya, Batavia dan lain-lain. Pada Tahun itu diperkirakan jumlah orang Batak yang tinggal di Batavia lebih dari 300 orang dengan pekerjaan sebagai pegawai dan militer serta sebagian yang melanjutkan pendidikannya.

Selain organisasi ‘Haholongan’ didirikan lagi organisasi seperti ‘Bataks Voetbal Vereniging’(BVV), yaitu organisasi di bidang olahraga yang dipimpin oleh J.K Panggabean, yang juga termasuk ‘orang lama’ di Batavia. Kemudian berdiri lagi ‘Bataksbond’, yaitu perkumpulan kebangsaan/kesukuan yang bergerak di bidang politik. Para pemuda pelajar membentuk ‘Jong Batak’. Dalam organisasi itu terdapat nama-nama seperti Amir Syarifuddin Harahap(kemudian pernah menjadi Perdana Mentri), Ferdinand Lumbantobing(pernah menjadi Menteri Penerangan R.I) dan nama lainnya.

Selain merupakan alat pengikat, organisasi tersebut berperan sebagai pengikat gengsi sekaligus menaikkan derajat mereka di kalangan suku-suku bangsa lain. Semua anggota perkumpulan merasa bersaudara walaupun berlainan agama dan berasal dari daerah yang berbeda di Tapanuli. Mereka mencapai kemajuan dalam berbagai hal, kebanyakan disebabkan karena perasaan kedaerahan, ‘tidak mau kalah’ dalam arti yg positif.

Akhir tahun 1920-an semakin banyak pemuda tamatan HIS dari Tapanuli melanjutkan pendidikannya atau mencari pekerjaan ke Batavia. Mereka tinggal di rumah teman atau famili yang telah lebih dulu datang. Pemuda-pemuda yang datang lebih dulu dan sudah bekerja, kedudukannya sudah semakin meningkat dan sebagian dari mereka telah membentuk rumah tangga. Pada umumnya mereka masih tergolong pada pegawai rendah, rata-rata berpangkat ‘Klerk’ kebawah dan sebagian kecil diatasnya. Disamping itu beberapa orang telah bekerja sebagai Guru, seperti di HIS Kwitang, Noormaalschool di Jatinegara dan tempat lain. Pada sensus 1930, jumlah orang batak yang tinggal di Batavia sebanyak 1.253 jiwa dan sebagian besar terdiri dari Batak Toba dan selebihnya Batak Angkola, Mandailing dan lain-lain.(Castles,1967).

Sama halnya dengan didaerah lain, orang batak Toba di Batavia pun ingin mempunyai gereja sendiri karena dengan demikian mereka dapat mengikuti ibadah dengan bahasa daerah. Pdt.Peter Tambunan yang menggantikan Pdt.M.Nainggolan memprakarsai pembangunan gereja HKBP. Setelah mendapat ijin dan tempat dari Walikota(Burgermeester) yaitu di Gang Kernolong no.37, maka dimulailah pembangunan gereja tahun 1931. Peletakan batu pertama dilangsungkan pada 21 November 1931 oleh walikota Batavia. Pemborong bangunan ialah J.M Sitinjak dari jalan Muria, Menteng, yaitu salah seorang tokoh batak yg lama tinggal di Batavia. Dalam kurun waktu 6 bulan, Gereja itu telah selesai dibangun dan peresmiannya diadakan pada hari Minggu, 8 Mei 1932(Pakpahan,1986).

Tahun-tahun berikutnya semakin banyak pemuda yang melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Di sekolah Teologia terdapat nama seperti K.Ritonga, G.Siahaan(kelak menjadi Ephorus HKBP, periode 1974-87), dan A.Sitorus. Di sekolah Hakim Tinggi ada A.M Tambunan(kelak menjadi Menteri Sosial R.I) dan di Hoogere Theologische School ada T.S Sihombing(kelak menjadi Ephorus HKBP,periode 1961-74), K.M Sitompul. Pada waktu itu sudah dibentuk perkumpulan pemuda Kristen Batak yaitu ‘Sauduran’ untuk warga Huria Kristen Batak(HKBP) dan ‘Boni Na Uli’ untuk warga Punguan Kristen Batak(PKB). (sumber: Migran Batak Toba, O.H.S Purba)



Penulisan Sejarah Batak

Penulisan Sejarah Batak


Budaya Batak - Sejarah Batak



Banyak orang menyangka bahwa penulisan sejarah Batak baru dimulai pada abad ke-20. Hal ini dapat dimaklumi karena buku-buku yang beredar di tengah-tengah masyarakat ditulis oleh pakar-pakar sejarah yang terperangkap dalam misi dan pemahaman sekitar zaman Belanda dan peran-perannya dalam masyarakat Batak.

Namun, bila kita cermati dengan sungguh-sungguh, penulisan sejarah Batak sebenarnya telah lama dilakukan setidaknya sejak berabad-abad yang lalu oleh para sultan dan cendikiawannya, jauh sebelum buku-buku versi Belanda mendominasi perpustakaan-perpustakaan nasional.

Naskah-naskah sejarah Batak tersebut merupakan kunci utama dalam mengungkap apa yang disebut dengan misteri dan legenda-legenda dalam buku modern sekarang ini. ‘Misteri dan legenda’ tersebut muncul akibat dari persepsi sempit yang banyak dianut oleh para pakar modern yang malah dianggap sebagai buku pegangan.

Gejala yang paling lucu dari penulisan sejarah tersebut adalah dengan mengganggap buku pegangan tersebut sebagai acuan mutlak dan mulai mengembangkannya dengan ‘teori-teori’ yang sepertinya masuk akal dengan berbagai hipotesa dari zaman-zaman yang paling langka. Sepertinya ada kesengajaan untuk melompati dan melangkahi zaman pertengahan, saat zaman sebelumnya langsung dihubungkan dengan zaman sekarang. Yang sudah barang tentu menghasilkan sebuah kesimpulan yang sangat keliru.

YContoh utama dari pemahaman itu, terdapat dalam pemahaman tokoh Raja Uti, Jonggi Manoar dan lain sebagainya yang malah menimbulkan bias yang sangat jauh, sampai-sampai malah memperkaburkan sejarah tersebut.e!

Hilangnya peran kosakata Barus dan beberapa negeri lainnya dalam pembahasan sejarah Batak modern ini, telah menciptakan gap-gap dan lobang-lobang yang menganga dalam penulisan sejarah sehingga sejarah Batak menjadi eksis tanpa bentuk.

Peran kesultanan Barus-baik individu lingkar elit maupun masyarakat cendikiawan di dalamnya- dalam penulisan sejarah yang selama ini diendapkan, sebenarnya sangat signifikan dalam membantu memahami sejarah kuno Batak tanpa hipotesa-hipotesa yang kelihan benar tapi sangat ngawur.

Beberapa naskah yang berhasil dikumpulkan saat masih berkuasanya kesultanan-kesultanan di Barus adalah:

Asal Turunan Raja Barus

Naskah ini sekarang berada di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 162. Dalam katalog van Ronkel naskah ini bernomor Bat. Gen. 162.

Naskah ini menguraikan keturunan, pemukiman dan hukum-hukum raja-raja Barus. Dengan beberapa kekecualian, kumpulan naskah itu mengenai pemukiman dan sejarah keluarga raja-raja Barus di Hulu.

Bagian awal menceritakan perkembangan dan mobilitas orang Batak marga Pohan dan Pardosi, daerah-daerah yang mereka buka dan bangun, peperangan dan perebutan wilayah dengan marga lain dan lain sebagainya.

Semuanya dijilid menjadi satu buku ukuran folio dengan sampul karton. Bagian-bagiannya kebanyakan ditulis dengan tinta, dengan huruf Arab Melayu atau yang sering juga disebut dengan tulisan Jawi.

Di naskah ini juga didapat sejarah Negeri Rambe, hubungan diplomasi dan perdagangan antara Aceh dan Tanah Batak, antara Kesultanan Barus dan orang-orang Toba, Dairi, Pusuk Buhit, Bakkara, Lintong, Tukka, marga Pasaribu dan Naipospos. Naskah ini sendiri dimulai dengan sebuah pembukaan “Inilah hikayat cerita Barus permulaannya Batak datang dari Toba dari suku Pohan seperti tersebut di bawah ini.”

Dari penjelasan mengenai Negeri Rambe, didapat sebuah pemahaman mengapa marga Pohan dan Pardosi yang menjadi pembuka dan raja di tempat tersebut, menjadi sangat sedikit jumlahnya.

Hal yang penting adalah tercatatnya sejarah keluarga raja-raja Hulu di Barus, silsilah dan tarombonya, dan beberapa aturan dan perundang-undangan dalam kesultanan yang sangat berguna dalam kelangsungan eksistensi pemerintahan saat itu.

Juga terdapat fasal-fasal mengenai adat istiadat dan tatakrama dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam pengangkatan raja dan para pejabat negara seperti penghulu, kebiasaan dalam pemakaman dan lain sebagainya seperti perjanjian-perjanjian kenegaraan dan adat.

Selain yang bersangkutan dengan raja-raja hulu, naskah ini juga mencatat sejarah dinasti yang memerintah di hilir.



Hikayat Cerita

Naskah yang berisi sejarah dan perjalanan Raja Hulu dan alasan-alasan utama dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya dalam mengambil keputusan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya yang bersangkutan dengan tata kelola pemerintahan.



Sejarah Tuanku Batu Badan

Naskah ini dimiliki oleh Zainal Arifin Pasariburaja yang kemudian dibahas oleh Jane Drakard, berisi mengenai segala sesuatu tentang Kesultanan Barus Hilir yang sering juga disebut orang sebagai Negeri Fansur.

Naskah ini juga menjadi pusat data dan dokumentasi ibukota kesultanan Barus Hilir yang sekarang ini sudah mulai menghilang dari permukaan bumi, baik yang disebabkan oleh alam maupun tangan-tangan manusia. Juga terdapat sejarahawal terbentuknya pemerintahan Raja Berempat atau Raja Na Opat di Negeri Silindung.

Di dalamnya terdapat banyak sejarah mengenai hubungan pertalian adat dan budaya antara Barus dan Minang dan bahkan beberapa raja-raja hilir memerintah sampai ke negeri Tarusan di Tanah Minang seperti Sultan Main Alam Pasaribu mengikuti jejak leluhurnya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.



Hikayat Keturunan Raja di Kuria Ilir

Ditulis di Barus pada tanggal 26 Februari 1896 oleh Sultan Alam Syah untuk kepentingan Belanda. Naskah ini pernah dikutip oleh K.A. James dalam sebuah bukunya di tahun 1902.



Hikayat Raja Tuktung

Naskah ini disimpan dalam koleksi di Perpustakaan Universitas Leiden dengan nomor Co. Or 3205 pt. B. Naskah ini merupakan kunci penting dalam penelusuran beberapa sejarah Batak Toba, khususnya Negeri Rambe. Kemasyhuran Raja Tuktung dari Tukka tidak saja di seantero Kesultanan Barus tapi juga di hampir seluruh tanah Batak. Nama Raja Tuktung banyak dikutip di beberapa naskah maupun pustaha-pustaha kuno Batak namun secara tidak lengkap.

Panjangnya 42 halaman berisi syair-syair indah menggunakan Arab Melayu alias Jawi. Naskah ini sangat jelas dalam menjelaskan kronologi sejarah permulaan Barus dan hubunganya dengan Tanah Batak pada umumnya serta hubungan erat keduanya dengan Aceh. Juga terdapat dokumentasi insiden peperangan antara Aceh dan Barus yang berakibat kepada kematian Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.



Sumber: http://pakkat.wordpress.com/2007/04/29/penulisan-sejarah-batak/

Sejarah Kiprah Batak

Sejarah Kiprah Batak


Batak Nusantara merupakan sejarah kilas balik orang-orang Batak di Nusantara. Dimulai dari Aceh sampai ke pulau Jawa. Ada banyak versi mengenai sejarah Aceh sebelum abad-abad masehi. Salah satunya adalah mengenai keberadaan komunitas Batak di Aceh pada awal-awal tarikh masehi. Lihat buku "Java", II oleh Veth, hal. 16.

1000 SM-600 M



Sebelumnya untuk diketahui pada zaman ini, telah berkembang kerajaan Hatorusan (Disebut juga kerajaan Nai Marata didirikan oleh Raja Uti putera Tatea Bulan di Sianjur Mula-mula lalu pindah ke Barus/Singkil) di pesisir tanah Batak yang wilayahnya mencakup sebagian daerah Aceh sekarang ini. Sementara itu kerajaan Batak lainnya dipimpin oleh Dinasti Sorimangaraja dari marga Sagala tetap eksis di Sianjur Mula-mula sebelum dikudeta oleh marga Simanullang di abad pertengahan.



By. Julkifli Marbun



Beberapa abad kemudian, di pesisir juga eksis kerajaan Batak lainnya yang didirikan oleh Alang Pardosi dari marga Pohan keturunan Sumba. Berikut Dinasti-dinastinya:



Dinasti Sagala



1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)

2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang

3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI, pindah ke Sipirok

4. Sorimangaraja XCII-C di Sipirok

5. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Syarif Sagala atas ajakan Raja Gadumbang.



Dua orang saudara Syarif Sagala yakni; Jamaluddin Sagala dan Bakhtiar Sagala kembali menganut agama tradisional Batak. Orang-orang marga Sagala yang kembali menganut agama tradisional Batak tersebut akhirnya dikristenkan oleh Pendeta Gerrit van Asselt menjadi penganut protestan kalvinist.



Dinasti Hatorusan (Kerajaan Nai Marata)



1. Raja Uti Putera Tatea Bulan alia Raja Biak-biak alias Raja Miok-miok alias Raja Gumellnggelleng

2. Datu Pejel gelar Raja Uti II

3. Ratu Pejel III

4. Borsak Maruhum.

5. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji

6. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.

7. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.



*Ada gap yang panjang



8. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.

9. Sultan Yusuf Pasaribu

10. Sultan Adil Pasaribu

11. Tuanku Sultan Pasaribu

12. Sultan Raja Kecil Pasaribu

13. Sultan Emas Pasaribu

14. Sultan Kesyari Pasaribu

15. Sultan Main Alam Pasaribu

16. Sultan Perhimpunan Pasaribu

17. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk.



Dinasti Pardosi (Pohan)



1. Raja Kesaktian Pohan (di Toba, Balige)

2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka

3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka

4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua

5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.

6. Tuan Namora Raja Pardosi

Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi

7. Raja Tua Pardosi

8. Raja Kadir Pardosi, pertama masuk Islam.

9. Raja Mualif Pardosi

10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)

11. Sultan Marah Sifat Pardosi

12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)

13. Tuanku Raja Kecil Pardosi

14. Sultan Daeng Pardosi

15. Sultan Marah Tulang Pardosi

16. Sultan Munawar Syah Pardosi

17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)

18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)

19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )

20. Sultan Limba Tua Pardosi

21. Sultan Ma’in Intan Pardosi

22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi

23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)



Kembali ke Aceh, nama Aceh sendiri adalah sebuah nama yang dibentuk dari gabungan beberapa kerajaan di provinsi Aceh yang sekarang.



Menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut "ureueng Mante". Sejauh mana kebenaran riwayat ini masih dapat diperdebatkan. Suku Mante merupakan bagian dari bangsa Mantra yang mendiami daerah antara Selangor dan gunung Ophir di semenanjung tanah Melayu. Logan menyebut dalam "The Indian Archipelago", jilik I, nama Mantira.



Invasi pertama yang dialami para Mante dilakukan oleh orang-orang Batak yang mendesak mereka dari daerah-daerah pantai Aceh ini ke pedalaman XII mukim dan dari pantai barat Aceh ke pedalaman daerah tersebut. Besar kemungkinan orang-orang Mante selama beberapa tahun telah didominasi oleh orang-orang Batak. Akulturasi kedua suku ini membentuk Aceh.



Untuk menguatkan anggapan ini baik dijelaskan, bahwa di dalam adat-adat Batak masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata Batak yang dijumpai kembali dalam bahasa Aceh walaupun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatif bahasa Batak, kecuali jika orang-orang Mante mau dianggap ada hubungannya dengan orang-orang Batak.



Abad ke1-3 M



Terdapat dua pendapat mengenai kedatangan unsur Hindu ini. Pertama dibawa langsung oleh orang India melalui Barus dan pelabuhan-pelabuhan lain Aceh sejak abad ke 1-3 M dan yang kedua adalah melalui ekspansi Sriwijaya. Diketahui ekspansi Sriwijaya terjadi di abad ke-10.



600 M



Kerajaan Batak yang baru, Kerajaan Nagur yang memisahkan diri dari Dinasti Sorimangaraja, berpusat di Simalungun melakukan ekspansi sampai ke pegunungan "barisan" Aceh yang membentuk komunitas Gayo dan Alas.



Dikatakan juga bahwa kerajaan "Mante-Batak" itu pada gilirannya ditaklukkan pula oleh orang-orang Hindu. Diperkirakan di masa inilah nilai-nilai Hindu diserap oleh kerajaan ini.



Besar kemungkinan juga bahwa imigrasi Hindu dimulai dari pantai utara dan timur Aceh, terus ke pedalaman. Dari Gigieng dan Pidie bahkan mungkin juga dari Pasai. Buktinya ialah inskripsi-inskripsi tua yang dijumpai di Kuta Batee, enam jam perjalanan dari Blang Me di pantai timur laut Aceh. Disebut juga Kuta Karang, kini Kec. Samudra, Geudaong-Aceh Utara. Peninggalan purbakala ini dari abad ke-12 M.



Dikatakan juga bahwa penduduk pribumi Aceh (Mante-Batak) berhasil menaklukkan orang-orang Hindu dan menyuruh mereka membayar upeti di Kerajaan Hindu Aceh.



Selain batu-batu nisan dan makam-makan bertulisan yang dijumpai di Tanoh Abee dan Reueng-reueng di pedalamn XII mukim, dalam cerita-cerita Aceh disebut-sebut juga mengenai seorang raja Hindu di Indrapuri bernama Rawana yang kerajaannya meluas sampai ke laut seperti terbukti dari nama-nama Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu dan Indrapatra kira-kira di Lam Nga dekat dengan Kuala Gigieng.



Kerajaan Hindu Aceh tersebut tidak terbatas sampai daerah Aceh Besar saja, tetapi meluas sampai pantai timur laut Aceh, termasuk daerah Pasai, Seumatang Dora dekat Kuala Batee Keureunda di Pidie. Pada masa itu kerajaan tersebut telah dikenal dengan nama Pulau Seroja, yaitu pulai teratai, sementara Krueng Aceh dinamakan Krueng Ceudaih, sungai indah. Barulah pada masa-masa terakhir singai itu dinamakan Kueng Aceh; sebabnya adalah sebagai berikut:



"Sebuah kapal Gujarat dari Hindia Muka datang ke Krueng Ceudaih untuk berniaga. Anak-anak buah kapal itu berada di darat dalam perjalanan ke Gampong Pande. Di tengah perjalanan mereka ditimpa hujan lebat lalu berteduh di bawah sebatang kayu. Melihat daunnya yang rindang, semua mereka dengan sukacita berseru: Aca! Aca! Aca! Artinya indah, indah, indah yang kemudian berubah menjadi Aceh". Menurut Dr Hoesein Djajadiningrat pohon itu bernama 'bak si aceh-aceh'. Lihat Atjehch Woordenboek, I. 1934, hal. 92.



Abad 8-9



Kesultanan Perlak berdiri.



1100-1250



Berdirinya Kerajaan Aru Sipamutung. Kerajaan Hindu Rajendrasola di Tanah Batak. Peninggalannnya adalah Biara Sipamutung.



Abad ke 10-14 M



Kesultanan Daya, antara tahun 1128-1131 M, dibentuk oleh Laksamana Abdul Kamil dengan dukungan dinasti Fatimiyah dari Mesir yang pemerintahannya sampai ke kesultanan Bandar Kalipah.



Kerajaan Nagur di tanah Batak Simalungun dihancurkan oleh orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu yang berdiri pada tahun 1200-1508 M. Di Bekas kerajan tersebut di tanah Gayo berdiri kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Lingga, Lamuri dan Pasai (1200-1285).



Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11, Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.



Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.



Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.



Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.



Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.



Dinasti Batak (Lingga)



1. Raja Lingga I di Gayo punya anak-anak sebagai berikut:

a. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo

b. Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)

c. Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan

2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo

3. Raja Lingga III-XII di Gayo

4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.



Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era

1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)

2. Raja Kalilong Sibayak Lingga



Meurah Silu, yang menjadi prajurit kesultanan Daya, saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar Malik dengan gelar Sultan Malik al-Shaleh sebagai sultan pertama pribumi dan pendiri Samudera Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas Kesultanan Daya yang dihancurkan oleh Laksamana Ismail al-Siddiq, panglima Dinasti Mamluk, Mesir, yang menggantikan Dinasti Fatimiyah pendukung Kesultanan Daya.



Dikatakan bahwa Kesultanan Pasai di tangan orang Batak Gayo yang kemudian menghancurkan Kerajaan Hindu Aceh, yang terdiri dari Batak-Mante dan imigran Hindu India, yang sudah melemah dengan tumbuhnya komunitas-komunitas muslim dengan kedaulatan sendiri-sendiri.



Sepeninggalan Malik al-Saleh (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di Barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299 dengan corak mazhab syiah.



Dinasti Marah Silu (Batak Gayo) di Samudera Pasai sebagai berikut:



1. Sultan Malik al-Saleh (1285-1296) ada yang bilang (1263-1297)

2. Sultan al-Abidin (1297-1320)

3. Sultan Malik al-Tahir (al-Zahir) (1296-1327) (1320-1383)

4. Sultan Zain al-Abidin (1383-1405), pernah diculik dan selama tiga tahun ditawan di Thailand (Siam)

5. Sultan Shaleh al-Din (1405-1412)

6. Ratu Nur Ilahi (1424-1461)

7. Sultan Muzafar Syah (1461-1497)

8. Sultan Ma'ruf Syah (1497-1511)

9. Sultan Abdullah (1511-1524). Lihat: J.I. Moens, "Rijken der Parfum en specerijen", BKI, 1955



Setelah tahun ini, Samudera Pasai mengalami kemunduran. Salah satu keturunan Marah Silu, Syarif Hidayat Fatahillah merantau ke Jawa, menjadi penyebar agama Islam mazhab syafii. Dia merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis. Kesultanan Samudera Pasai merupakan kesultanan Islam yang pertama tumbuh dalam skala nasional dan sekaligus pelopor mazhab syafii di Nusantara.



Sementara itu, putra Marah Silu yang lain mendirikan Kesultanan Aru Barumun yang berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping. Sungai Tamiang merupakan tapal batas perbatasan antara Kesultanan Samudera Pssai dengan Kesultanan Aru Barumun.



Dinasti Batak Gayo di Kesultanan Aru Barumun adalah sebagai berikut:



1. Sultan Malik Al Mansyur (1299-1322)

2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)

3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.

4. Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.

5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)

6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina

7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.

8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.

9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.

10. Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun 1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.

11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)

12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.

13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.



Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Banten (Sumber: Ismail Muhammad 1978). Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" di Buntet, Cirebon.



1. Syarif Hidayat Fatahillah gelar Susuhunan Gunung Jati (1512)

2. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan(1552)

3. Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan (1570)

4. Sultan Maulanan Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten (1580)

5. Sultan Abdulmafachir Mahmud Abdul Kadir Kanari (1596)

6. Sultan Abdul Ma'ali Ahmad Kenari (1640)

7. Sultan Agung Tirtayasa Abdul Fathi Abdul Fatah (1651)

8. Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar (1672)

9. Sultan Abdul Fadhal (1687)

10. Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin (1690)

11. Sultan Muh. Syifa Zainul Arifin (1733)

12. Sultan Syarifuddin Ratu Wakil (1750)

13. Sultan Muh. Wasi' Zainul Alimin (1752)

14. Sultan Muh. Arif Zainul Asyikin (1753)

15. Sultan Abdul Mafakih Muh Aliyuddin (1773)

16. Sultan Muhyiddin Zainussolihin (1799)

17. Sultan Muh. Ishak Zainul Muttaqin (1801)

18. Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1803)

19. Sultan Agiluddin Aliyuddin (1803)

20. Sultan Wakil Pangeran Sura Manggala (1808)

21. Sultan Muhammad Shafiyuddin (1809)

22. Sultan Muhammad Rafiuddin (1813)



Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Cirebon sebagai berikut: Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" (Kebumen?) di Cirebon. Garis turunannya juga mendirikan Kesultanan Kanoman, Keluarga Kecirebonan dan Keluarga Keprabonan, selain Kesultanan Kesepuhan di bawah ini:





1. Sultan Hidayat Fatahillah gelar Sunan Gunung Jati (1479-1568)

2. Pangeran Pasarean/P. Muh. Arifin (1528-1552)

3. Pengeran Arya Kemuning Adipati Carbon I (1552-1565)

4. Panembahan Pakungwati I/P Emas Zainul Arifin (1568-1578)

5. Pangeran Dipati Sedanggayam Carbon II )1578-1649)

6. Panembahan Pakungwati (1649-1662)

7. Sultan Sepuh I Syamsuddin (1678-1697)

8. Sultan Sepuh II Jamaluddin (1697-1720)

9. Sultan Sepuh III Jaenuddin (1720-1750)

10. Sultan Sepuh IV Jainuddin Amir Sena (1750-1778)

11. Sultan Sepuh V Sultan Matangaji/P. Syarifuddin (1778-1784)

12. Sultan Sepuh VI P. Hasanuddin (1784-1790)

13. Sultan Sepuh VIIP. Joharuddin (1790-1816)

14. Sultan Sepuh VIIIP. Raja Udaka (1816-1845)

15. Sultan Sepuh IXP. Raja Sulaeman (1845-1880)

16. Sultan Sepuh XP. Raja Atmaja (1880-1899)

17. Sultan Sepuh XI P. Raja Aluda Tjul arifin Moh. Syamsuddin Nataningrat (1899-1942)

18. Sultan Sepuh XII P. Raja Ningrat (1942-1969)

19. Sultan Sepuh XIII P. Raja Adipati Maulana Pakuningrat SH (1969) (Sumber: Unit Pengelola Keraton Kasepuhan Cirebon)



Dikisahkan juga bahwa Kesultanan Lamuri yang didirikan oleh Meurah Johan diserang Majapahit tahun 1365.



Abad 15-16



Abad 15, Munawwar Syah, Sultan yang sedang berkuasa di Lamuri, memindahkan ibukota kerajaannya ke Mahkota Alam dengan alasan persaingan politik dengan Pidie. Kehadiran Lamuri di Mahkota Alam menjadikan 'balance of power' di daerah tersebut menjadi tidak seimbang dengan kerajaan Aceh lainnya yakni Dar al-Kamal yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai.



Lamuri dan Dar al-Kamal menjadi dua kerajaan yang saling bersaing. Hal ini menyebabkan Munawwar Shah untuk berpikir melakukan maneuver politik dengan menawarkan perkawinan politik antara anaknya dengan puteri Sultan Inayah Shah.



Ketika Inayah Shah menerima rencanan tersebut, rombongan Munawwar Shah diam-diam membawa senjata dan menyerang Dar al-Kamal. Munawwar Shah berhasil dan kedua kerajaan ini disatukan kembali menjadi Kesultanan Aceh Dar al-Salam dengan pimpinan Sultan Shams Shah anak dari Munawwar Shah.



Kesultanan ini juga meluas dengan ekspansi ke Kesultanan Samudera Pasai yang telah melemah dihantam Majapahit dan sampai ke daerah Bengkulu melewati Minangkabau.



Walaupun begitu, ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya yang berperan penting dalam pembentukan kesultanan Aceh adalah kesultanan Pidie. Pada waktu itu wilayah kesultanan ini meliputi Aceh Besar. Sultan Ali Mughayat Syah merupakan sultan yang pertama masuk Islam (1507-1522). Dia digantikan oleh puteranya Sultan Salahuddin (1522-1530) yang membina kekuatan Aceh dalam arti yang sesungguhnya. Lihat. Veth, Atchin en Zijne betrekkingen tot Nederland, 1873 hal. 28.



1511 M



Pada tahun 1511, keturunan Raja Lingga di Gayo, Raja Lingga XIII, diangkat menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Kesultanan Aceh atau Amirul Harb, saat mengakuisisi Kesultanan Pasai dan Kesultanan Aru yang sudah dijajah Portugis.



Dalam tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Raja Lingga XIII diamanatkan untuk membangun benteng pertahanan, dengan membangun sebuah pulau di selat Malaka, dari amukan Portugis. Pulau tersebut dikenal dengan pulau Lingga.



Keturunan Lingga, kemudian mendirikan kesultanan Lingga di Gayo, Karo dan daerah Riau dan Kepulauannya.



Satu lagi legende dalam budaya Batak Gayo adalah mengenai Sosok Raja Bukit. Dalam berbagai versi sejarah, keberadaan Raja Bukit ini sangat masyhur namun penuh dengan misteri. Raja Bukit dikisahkan adalah orang yang dapat menaklukkan Gajah Putih. Gajah Putih sendiri dalam budaya Batak Toba merupakan hewan suci dari Raja Uti, Kerajaan Batak Pesisir Katorusan.



Keberadaan Raja Bukit pernah didokumentasikan oleh penulis Barat saat keberadaanya yang mendominasi peta perpolitikan di Kesultanan Barus, Kesultanan Batak di pesisir barat Sumatera Utara.



Dikatakan bahwa ada dua pemimpin yang berasal dari luar Kesultanan Barus yang ikut ambil bagian dalam pertikaian politik di Barus, khususnya dalam melawan monopoli ekonomi VOC, Inggris dan Eropa lainnya. Mereka adalah Raja Simorang dari Tapanuli dan Raja Bukit. Lihat Reber, "Private Trade of The British in West Sumatera 1735-1770" (Ph.D Dissertation, University of Hull, 1977), Appendix XII p. 300-302.



Dalam kisah-kisah Batak diketahui bahwa Raja Bukit ini merupakan tokoh Batak yang sangat berpengaruh pada eranya yang banyak berkecimpung dalam pembangunan masyarakat Batak secara sosial, adat dan ekonomi mulai dari Aceh, Pesisir, Asahan dan lain sebagainya.



Namun, keterangan mengenai siapa sebenarnya Raja Bukit tersebut adalah simpang siur. Orang Gayo percaya bahwa Raja Bukit sebenarnya bernama Saidah dalam versi JCJ Kempess, Sengeda dalam versi Muda Kala dan Junus Djamil.



Kempess mengatakan bahwa Raja Bukit merupakan orang yang datang dari luar Gayo, tepatnya bagian selatan. Ada yang mengatakan dari Tiku, Minang. Alkisah ada tiga orang datang dari daerah tersebut. Seorang di antara mereka bertuah dan diangkat menjadi Raja Lumut. Seorang lagi pindah ke Samarkilang dan ternyata dibunuh oleh Raja di Lingga. Setelah terbongkar pembunuhan tersebut. Sultan Aceh yang saat itu induk kerajaan mini ini, memecat Raja tersebut dan mengangkat seorang yang datang tersebut menjadi Raja Bukit pertama dan seorang lagi menjadi Raja Petiamang. Nama dari Raja Bukit tersebut adalah Saidah.



Kisah lain adalah Sengeda yang masih berasal dari keluarga Lingga. Dan Banyak kisah lain mengenai seluk-beluk Raja Bukit tersebut. Dalam sejarah Batak, khusunya Sisingamangaraja dinyatakan bahwa Raja Bukit yang mashur dalam hubungan diplomasi, ekonomi dan hubungan internasional dalam menggalang dukungan melawan penjajah Eropa adalah Sisingamangaraja VIII alias Ompu Sotaronggal yang dikenal dengan sebutannya Raja Bukit yang hidupnya diperkirakan pada tahun 1700-an.



Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara sendiri didirikan oleh Mahkuta alias Manghuntal dari marga Sinambela, setelah mendapat transfer kedaulatan dari Dinasi Uti (Hatorusan)



1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550

2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595

3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627

4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667

5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730

6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751

7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771

8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788

9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819

10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841

11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871

12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907



Keturunan Mahkuta alias Manghuntal lainnya melalui anaknya Si Raja Hita di tanah Karo mendirikan kota Medan.



Dinasti Sisingamangaraja I di Medan.



1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:

2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige, Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus.

3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.

4. Raja Hafidz Muda

5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut 'Makam Melintang', anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperlua kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.

6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.

7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.

8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.

9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun

10. Datuk Adil

11. Datuk Gombak

12. Datuk Hafiz Harberhan

13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam "Nota Over De Landsgrooten van Deli", juga dalam "Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928"



1508



Kerajaan Haru Wampu yang menghancurkan Kerajaan Nagur dikuasasi oleh Kesultanan Aceh pada pemerintahan Sultan Ali Muhayyat Syah. Pada tahun 1853 daerah, yang penduduknya orang-orang Batak Karo, ini dibentuk menjadi Kesultanan Langkat, Kesultanan bawahan Aceh oleh Sultan Ibrahim Mansyur Syah, sultan yang ke-30 Aceh.



1508



Seorang Karo yang menjadi pasukan Aceh bernama Manang Sukka menjadi Sultan Haru Delitua (Kesultanan Delitua/Deli) dengan gelar Sultan Makmun al-Rasyid. Istrinya adalah Putri Hijau, saudari perempuan dari Sultan Ali Muhayyat Syah.



Secara umum, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur Batak datang ke Aceh melalui dua gelombang. Gelombang pertama adalah era pra-Hindu yakni asimilasi Batak-Mante, unsur inti dari Kesultanan Aceh dan gelombang kedua adalah pra-Islam dan paska Hindu-Buddha yakni melalui kerajaan Nagur di tanah Gayo dan Alas, unsur penting dari Kesultanan Samudera Pasai.



1512-1523



Kesultanan Aru Barumun jatuh ke tangan Kesultanan Aceh. Setelah sebelumnya Kesultanan Samudera Pasai dikuasai oleh Laksamana Tuanku Ibrahim Syah, saudara kandung Sultan Ali Muhayyat Syah, sultan di Kesultanan Aceh Dar al-Salam.



1530-1552



Di Bawah pemerintahan Alauddin al-Kahhar (1530-1552) dilakukan pembagain klasifikasi rakyat menurut suku dan asal usulnya.



Orang-orang Mante-Batak asli merupakan sukee lhee reutoih (suku tiga ratus), orang-orang India kaom imeum peuet (kaum imam empat). Sedang para imigran dinamakan kaum tok batee (kaum yang mencukupi batu). Terakhir sekali dibentuklah kaom ja sandang (kaum penyandang).



Para imigran Hindu, yang memang terdiri dari empat kasta, tadinya tergolong dalam kaum empat yang berdiam di tanah Abee, Lam Leuot, Montasiek dan Lam Nga. Mereka akhirnya menganut agama Islam dengan pemimpin kelompok yang bergelar imeum (imam).



1802-1816



Fakhruddin Harahap merebut bagian hulu Kesultanan Aru Barumun dan memimpin penduduk yang kebanyakan marga Harahap dalam sebuah kerajaan dengan gelar Baginda Soripada. Kerajaan ini tunduk kepada kepemimpinan Kerajaan Pagarruyung.



1805-1819



Sultan Alauddin Johar Syah, sultan yang memimpin di Aceh, mengirim Laksamana Sulaiman Nanggroyi ke Labuhanbilik di Aru Barumun. Angkatan Laut Aceh siaga di sepanjang sungai Barumun beserta pasukar marinir di Kotapinang Lama akibat bangkitnya kekuatan Padri di Minang.



1816-1820



Bagian hulu Kesultanan Aru Barumun dikuasasi oleh Tuanku Tambusai, dengan ibukotanya di Sunggam. Kekuasaan Baginda Soripada dan Pasukan Aceh dihalau. Tuanku Tambusai sendiri adalah marga Harahap.



1819



Fakih Amiruddin (Lontung) memerintah di Tanah Batak selama dua tahun dengan ibukota Siborong-borong.



1867-1884



Pertentangan politik antara Raja-raja Siopat Pusoran di Silindung dengan Sisingamangaraja XII meruncing tajam. Khusunya pertentangan antara Raja Pontas Lumban Tobing dengan Sisingamangaraja XII. Pendeta Nomensen berada di pihak Raja Pontas. Belanda kemudian ikut campur dengan mendukung Nomensen dan Raja Pontas.



Pertentangan antara pihak Siopat Pusoran dengan pihak Sisingamangaraja sudah mengakar dari persaingan monopoli dagang kemenyan. Raja-raja Siopat Pusoran selalu ingin menguasai jalur perdagangan Silindung dari kekuasaan Sisingamangaraja.



Raja-raja Siopat Pusoran juga yang tidak setuju atas pengangkatan Sisingamangaraja XI, pengganti ayahnya yang tewas dalam perang dengan pihak Fakih Amiruddin beserta pasukan Padrinya. Bagi mereka, keturunan Sisingamangaraja (XI-XII) tidak diakui.



1873-1907



Sebuah 'master plan' perang gerilya antara Belanda melawan pasukan gabungan Aceh-Batak, dibuat antara Sisingamangaraja XI dengan Teku Nangta Sati, panglima Aceh digariskan sebagai berikut:

1. Sultan Ali Muhammad Syah, melakukan perlawanan dari Aceh. Dia kemudian meninggalkan istana di Kutaraja yang terbakar oleh artileri Belanda dan mati syahid dalam gerilyan di hutan Tanung

2. Teku Lamnga, menantu dari Teku Nangta Sati, menggempur posisi Belanda. Dia kemudian gugur dalam tugas ini.

3. Teku Umar, menantu dari Teku Nangta Sati, pasukan bertahan dan akhirnya gugur sebagai pahlawan

4. Sisingamangaraja XII, putera Sisingamangaraja XI yang meninggal karena kolera, bertahan di tanah Batak dan akhirnya gugur juga.



1820-1947



Berdirinya Kerajaan Kotapinang di bagian hilir Kesultanan Aru Barumun yang didirikan oleh Alamsyah Dasopang, salah satu panglima Padri.



Zulkarnaen Aritonang menjadi Yangdipertuan Raja Merbau. Zulkarnaen sendiri merupakan mantan pasukan Padri.



Tuanku Asahan alias Mansur Marpaung menjadi Sultan di Kesultanan Asahan paska dominasi Aceh.



Mengenai nama Mante di silsilah marga Batak terdapat sebuah marga yang komunitasnya sekarang banyak bermukim di beberapa daerah Aceh dan khususnya daerah perbatasan dengan Sumatera Utara. Nama marga itu adalah Munte.



Klan orang Gayo yang dominan adalah Lingga, Munte, Cebero, Tebe (Toba) dan Melala. Sementara Kejurun di Gayo adalah Kejurun Bukit yang dipimpin keturunan Raja Bukit, Kejurun Cik Bebesen yang berisi keturunan kisah Batak 27, Kejurun Lingga yang dipimpin oleh keturunan Raja Lingga dll.



Sejarah Politik Batak 1668-1840

Sejarah Politik Batak 1668-1840


Budaya Batak - Sejarah Batak



Penduduk

Penduduk Batak, khususnya, di Kesultanan Barus terdiri dari berbagai bangsa. Bila diklasifikasi area tanah Batak, maka didapatlah dua bagian yang sangat penting. Bagian pertama adalah Tanah Tertutup dan yang kedua Tanah Terbuka.

Tanah Tertutup adalah bagian geografi Batak yang didiami oleh bangsa Batak dan begitu terisolirnya sehingga hanya orang-orang Batak saja yang mendiaminya. Tanah Tertutup ini seringkali disebut juga pedalaman Batak atau Pusat Tanah Batak.

Kehidupan di Tanah Tertutup masih sangat terisolir dan bahkan banyak yang beranggapan bahwa sistem sosial masyarakat Batak di daerah ini masih dalam bentuk "splendid isolation”.

Persepsi orang Batak saat itu adalah bahwa Tanah Tertutup-yang identik dengan rural land- ini adalah milik nenek moyang dan orang-orang asing sangat dicurigai masuk ke dalamnya. Keuntungan ekonomi dengan kebijakan Tanah Tertutup ini adalah bahwa hanya orang-orang Batak yang dapat menikmati hasil buminya. Orang-orang Batak tanpa persaingan dari bangsa lain, dengan leluasa dapat mengambil kamper, hasil tambang dan hasil hutan dari tanah mereka sendiri. Sehingga beberapa komoditas benar-benar dimonopoli oleh orang Batak.

Keuntungan politik dari sistem Tanah Tertutp ini adalah sebagai tempat ‘pengasingan’ bagi Raja-raja Batak yang mungkin saja mengalami kegagalan atau sedang dalam upaya untuk kontemplasi atau dapat juga dalam upaya menggalang kekuatan. Bila kita pelajari intrik-intrik politik di Kesultanan Batak, maka didapatlah kesimpulan bahwa beberapa kali raja-raja Batak sering kali harus bersembunyi ke Tanah Tertutup dari ancaman asing dan ada yang bertujuan untk menggalang kekuatan dari komunitas asal mereka dan ada juga yang bertujuan untuk meditasi (kerohanian).

Tanah Terbuka, yang kehidupannya lebih mirip dengan urban land- ini merupakan wilayah Batak yang dapat diakses oleh orang asing. Biasanya terdapat di pesisir, atau di pedalaman tapi sudah urban dan bersifat kota karena keberadaan onan-onannya yang ramai di pusat-pusat perekonomian seperti Silindung, Pakkat, Balige dan lain sebagainya. Anehnya Bakkara sebagai pusat politik Dinasti Sisingamangaraja dari dulu menganut sistem tanah tertutup yang dilarang didatangi oleh orang asing. Tamu-tamu kerajaan biasanya disambut di Balige atau Dolok Sanggul.

Sistem budaya di Tanah Terbuka sangat sesuai dengan karakternya saat itu. Di mana orang-orang Batak dengan tujuan ekonomi dan politik biasanya tidak ingin memonopoli segala sesuatu di Tanah Terbuka. Bahkan cenderung orang-orang Batak akan mengajak berbicara pedagang-pedagang asing dengan bahasa Melayu, sebuah bahasa yang menjadi Lingua Franca saat itu.

Orang-orang Batak, sangat pintar dalam memainkan peran mereka dalam persaingan komunitas di bandar-bandar (pelabuhan-pelabuhan atau terminal-terminal, pasar-pasar dan pusat perekonomian. Tujuannya adalah agar komunitas pedagang Batak tidak terisolir dan teralienasi dari perkembangan perekonomian saat itu.

Oleh karena itulah Belanda sering kali menuliskan dalam laporan mereka bahwa bandar-bandar ekonomi tanah Batak di pesisir dan kota-kota besar Batak lainnya sebagai berciri khas Melayu. Laporan VOC di abad ke-17 mengatakan bahwa Barus merupakan tanah pesisir yang berkarakter Melayu dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah orang Batak. Penduduknya, menurut Arendt Silvus, terdiri dari “Orang-orang Melayu dari pesisir ini dan pesisir lain yang bercampur dengan orang-orang Batak.” [Lihat Surat, Silvius to Pitt (1677), VOC 1322, f. 1328r.

Francois Backer, seorang pegawai pertama perusahaan VOC, perusahaan Belanda yang telah mendapat izin berdagang dari Sultan Barus (1672), dan orang pertama yang melihat pelabuhan Barus, mengatakan bahwa menurut penglihatan dan pemahaman umum yang didapatnya, penduduk Barus terlihat sangat superior atau lebih tinggi kelasnya dari komunitas-komunitas pesisir lainnya: “Mereka lebih mirip seperti Ketua-ketua ulama dari pada pribumi yang brutal,” sambungnya. [Lihat, backer to Pits (1669), VOC 1272, f.1066v] Bahkan Silvius mengatakan bahwa penduduk Barus sebagai orang yang penuh taktik, mempunyai kepentingan sendiri, tegar dan diplomatis…” Silvius to Pits (1677), VOC 1322, f. 1328 r.

Penduduk Barus pada tahun 1600-an merupakan penduduk yang terdiri dari berbagai komunitas pedagang asing, Aceh, Minang, Tamil, Hindu, Kerinci, Siak dan lain sebagainya selaian dari komunitas-komunitas pedagang. Sehingga orang-orang Batak dalam hal ini pemerintahan Kesultanan barus, lebih memilih untuk menggunakan kebiasaan dan bahasa yang sangat umum saat itu, yakni Melayu, agar dapat mempertahankan para saugadar-saudagar kaya tersebut untuk menetap secara permanen di Barus. Kehadiran mereka dapat terus memutar roda perekonomian makro di Kesultanan Barus. Sebuah strategi dan taktik ekonomi yang sangat jitu untuk mempertahankan Barus sebagai kota pelabuhan tersibut dan paling banyak diminati asing saat itu.

Untuk memastikan keamanan dan kenyamanan para saudagar-saudagar asing tersebut, telah diangkat beberapa hulu balang untuk menempati berbagai posisi, di antaranya Malim Muara dan Kepala Syahbandar untuk mencegah intrusi dari bajak laut yang ingin mengacaukan perekonomian. Di antara bajak-bajak laut yang paling menakutkan saat itu adalah mereka yag berasal dari Belanda, Perancis dan Portugis. Beberapa kali para bajak laut tersebut mengacaukan perekonomian di Barus agar supplai komoditas dari Barus terhambat sehingga para saudagar Eropa lebih memonopoli perdagangan. Sepertinya simbiosis saudagar picik dan kekuatan hitam bajak laut tersebut berhasil membingungkan para saudagar-saudagar Cina, Arab, India dan saudagar-saudagar Nusantara.



Melayu sebagai Tren Globalisasi Kultur Regional

Bentuk dari pemerintahan Batak di Kesultanan Barus, yang pada saat itu dibuat dengan nuansa Melayu, bersifat republik dan demokratik. Pusat urusan pemerintahan terdapat disebuah istana dan tempat pertemuan publik yang disebut “balai”. Istana ini sangat berbeda dengan istana kesultanan yang lebih kepada urusan administrasi dan kediaman Sultan. Di Balai inilah segala urusan kerakyatan dilakukan. Dilaporkan juga bahwa di sinilah setiap penduduk, asing maupun lokal, melakukan protes dan komplen atau mengadukan permasalahan mereka maupun untuk menyampaikan aspirasi politik kepada Sultan yang diwakili oleh hulubalangnya di Balai. Para warga negara atau gemeente, seperti yang dipahami Belanda, telah memainkan peran yang aktif dalam urusan-urusan politik Kesultanan. [Lihat, Milner, Kerajaan, hlm. 25]

Penduduk Kesultanan Barus yang terdiri dari kaum bangsawan atau Orang Kaya dan kaum middle class, kelas menengah selalu melibatkan diri dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan. Para pelaut Belanda dengan cepat dapat mengenal sistem politik Kesultanan ini dan berhasil menyogok para warga untuk mendapat rekomendasi dan tanda persetujuan atas kehadiran mereka. Melalui rekomendari kelas menengah inilah VOC, atau perusahaan Belanda dapat diizinkan oleh Sultan untuk melakukan kegiatan ekspor impor di Kesultanan.

Melman mengatakan bahwa adalah tekanan dari gemeente yang membuat pemerintah mengizinkan Kompeni Belanda untuk beroperasi di Barus walaupun mendapat penolakan maupun oposisi dari perusahaan-perusahaan dan pengusaha-pengusaha Aceh. (Backer to Pits (1669), VOC 1272, f.1066r.

Persaingan dagang antara saudagar-saudagar Barus dengan saudagar-saudagar asing seperti Aceh yang biasanya sangat lumrah dalam dunia perekonomian nampaknya berhasil dirusak para pelaut Eropa. Sayangnya pemerintah melalui Sultan, gagal mengatasi dan merumuskan undang-undang mengenai etika bisnis yang legal dan larangan atas monopoli illegal sehingga pihak Eropa dapat dengan leluasa mengobrak-abrik tatanan perekonomian kesultanan.

Menurut laporan-laporannya, VOC bahkan menerapkan kebijakan rasial dengan mendahulukan bertransaksi dengan para saudagar-saudagar Barus dari pada para saudagar Aceh. Tujuannya adalah untuk mengisolasi pedagang Aceh. Hal ini membuat kebanyakan pedagang pribumi Barus dan asing seperti Aceh dan lain-lain protes dan menyatakan ketidaksetujuan mereka dengan kecurangan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi Belanda yang dapat merusak iklim perdagangan yang sudah kondusif.

Namun, tampaknya, VOC sudah mengenal sistem pemerintahan di Barus yang saat itu mempunyai kelemahan yang sangat krusial. Pemerintahan Kesultanan Barus saat itu dipegang oleh pemerintahan dualitas antara Dinasti Pardosi dengan Pasaribu. Dahulunya, kedua dinasti ini memerintah di Kesultanan yang berbeda namun dengan bertambahnya penduduk dan jumlah kota-kota perekonomian, wilayah keduanya yang sama-sama di Barus dan sekitarnya menjadi menyatu. Konsensus kedua dinasti telah banyak dicapai dalam perjanjian-perjanjian antar penguasa dengan melakukan klasifikasi kekuasaan dan demografi. Namun, dalam praktek, pemerintahan dualitas tersebut sangat sulit direalisasikan dan rentan dengan konflik dan korban adu domba.

Perusakan tatanan perekomian yang dilakukan para pengusaha Belanda akhirnya berimbas kepada rusaknya tatanan pemerintahan dan politik yang telah lama dibina oleh orang-orang Batak. Dinasti Pardosi yang secara yuridis formal mempunyai gelar Raja Di Hulu dan Dinati Pasaribu dengan gelar Raja Di Hilir.

Pemberian gelar tersebut sebenarnya sudah merupakan kompromi dan konsensus bersama antara keduanya yang mencakup cakupan pengaruh, wewenang dan geografi kekuasaan. Dimana Pardosi wilayah pengaruhnya ke Hulu Barus dan Pasaribu ke Hilir Barus. Walaupun dipimpin oleh dua dinasti, Barus oleh para saudagar-saudagar asing diakui sebagai sebuah kesatuan kesultanan yang tidak terpisahkan. [Stapel dan Heeres, eds., Corpus Diplomaticum, vol. 2, hlm 383-389]

Taktik pertama yang dilakukan oleh VOC adalah dengan menimbulkan kecemburuan antar dua dinasti dengan mengistimewakan Raja di Hulu dari Raja di Hilir walau keduanya sama-sama mengeluarkan dan menandatangani Keputusan Bersama Sultan saat mengeluarkan surat izin beroperasi bagi VOC. Kadang-kadang juga, atas dasar kepentingan ekonomi dan politik mengitimewakan yang Hilir daripada yang di Hulu.

Walaupun pada awalnya taktik pecah belah ini tidak terlalu dirasakan oleh kedua dinasti karena Raja Hulu dipanggil oleh VOC dengan sebutan sebagai Raja dan yang Hilir sebagai perdana menteri. Atau berbagai sebutan lain, yang kurang bermakna bagi pemerintahan Barus seperti opper-Regent bagi Sultan Hulu dan mede opper-Regent untuk yang di Hilir. [Backer to Pits (1669)]. Karena dalam pergulatan kedua dinasti dalam sejarah memang sering terjadi saling merebut kekuasaan bahkan dengan perang yang pada akhirnya terciptalah sebuah konvensi politik bahwa Raja di Hulu merupakan Raja Tunggal dan di Hilir memegang posisi Bendahara alias Perdana Menteri yang disetujui oleh kedua Dinasti.



Peta Politik

Secara umum peta politik di Kesultanan Barus yang dihuni oleh rakyat yang plural dan beragam, sangatlah komplek dan rumit. Kerumitan tersebut semakin parah saat pemerintahan tetangga juga memback-up dan mendukung jaminan keamanan bagi para komunitas dagangnya di ibukota Kesultanan.

Sultan Aceh dikhabarkan beberapa kali menginterpensi kebijakan politik Kesultanan agar dapat meningkatkan jaminan keamanan kepada perusahaan-perusahaan Aceh dan para pengusahanya. Begitu juga dengan Raja Minang yang melindungi kepentingan pengusahanya. Tidak dapat dipungkiri begitu juga dengan Tamil, Arab, Siak Cina dan lain sebagainya, seperti halnya Belanda dan VOC-nya.

Silvius mengatakan bahwa pemerintahan Aceh telah melakukan langkah politik yang sangat jitu dengan menggandengan Sultan Di Hulu dengan memberinya gelar kehormatan [Silvius to Pits (1677). Sedangkan pemerintahan Minang lebih suka untuk menggandengan Sultan Di Hilir yang merupakan orang Batak yang dilahirkan di Tarusan, Minangkabau. Dari laporan-laporan Belanda dan manuskrip-manuskrip Kesultanan ditemuan bahwa pemerintahan Aceh bahkan seringkali mengirim ekspedisi militernya untuk melindungi para pengusaha Aceh di Barus. Diyakini kompetisi Belanda kontra para saudagar Aceh telah sampai kepada persaingan bisnis yang sangat brutal yang menghancurkan dan mengganggu seluruh sistem tatanan perekenomian pemerintahan Kesultanan Barus.

Kedua bangsa, Aceh dan Belanda telah saling tuduh menuduh dan saling mencurigai satu sama lain sebagai bangsa brutal, pembunuh dan pembantai. Diyakini hal ini disebabkan antar kedua bangsa ini telah terlibat dalam peperangan dan persaingan ekonomi yang berujung kepada pembantaian antar keduanya. Propaganda saling menyudutkan ini merupakan implikasi dari persaingan dagang yang sangat brutal.

Friksi antar kedua Dinasti yang memerintah di Barus dilaporkan semakin meningkat saat Sultan di Hulu mulai, mau atau tidak mau, terlibat dalam persaingan tersebut. Sultan di Hulu mulai menarik persetujuannya dengan menolak kehadiran Kompeni (VOC) yag mulai terlihat sangat bermusuhan dan tidak bersahabat dengan para saudagar-saudagar di Barus. Mereka memboikot transaksi dagang dengan VOC. [Kroeskamp, De Weskust, Hlm 153 dan Backer to Pits (1669).

Sementara itu, Kompeni atau VOC berhasil menyelamatkan muka dengan berlindung atas nama Sultan di Hilir yang lebih memilih untuk bersikap fleksibel dengan Kompeni yang dimusuhi oleh saingannya yang Di Hulu. Orang-orang Belanda mengkalim bahwa kehadiran mereka didukung oleh Sultan Hilir untuk menciptakan keseimbangan kekuatan dengan hadirnya pasukan Aceh Di Hulu. [ibid., f. 1067v]



Jalur-jalur Ekonomi; Antara Pesisir dan Perbukitan

Konstelasi politik Batak, khsusunya antara kedua Dinasti yang memerintah tidak saja seputar peran asing tapi juga mencakup jalur-jalur perekonomian. Saudagar-saudagar Batak yang berperan sebagai pengumpul komoditas-komoditas dari pegunungan sekitar Barus, seperti Pakkat, Dolok Sanghul, Dairi dan lain-lain, juga terlibat dengan para Saudagar Batak lainnya yang menjadi pengumpul di wilayah-wilayah antara Barus dan Air Bangis. Dari areal ini, kamper dan benzoin di dapat di Sibuluan, Batang Toru, Batu Mundam, Tabujang, Natal dan Batahan. [Melman to Pits (1669).

Sultan Hulu lebih mempunyai legitimasi kepada para saudagar kelompok pertama yang Sultan Hilir lebih dilegitimasi oleh kelopom kedua. Kelopok pertama, yakni mereka yang berasal dari pegunungan sekitar Barus terdiri dari mereka yang berasal dari Dairi, Marga Mukkur, Meha, Simbolon, Marbun, Simanullang, Simamora, Pardosi, Sigalingging, Pohan, Naipospos dan lain sebagainya. Sementara yang kedua lebih banyak dari Mandailing, Pasaribu, Hutagalung dan lain sebagainya.

Menurut Melman, peperangan antara dua kelompok saudagar Batak seringkali terjadi. Namun kedua kelompok tersebut akan sangat menahan diri untuk memerangi pemerintahan Barus. Satu kelompok akan mencegah kelompok lainnya untuk memerangi Barus. Walau seandainya pada saudagar Batak itu ingin melakukannya, seperti kudeta, dapat saja mereka lakukan, namun para pelaku pasar dan ekonomi Batak sangat sadar atas perlunya keamanan dan ketertiban untuk mendukung kegiatan ekonomi.

Posisi inilah yang kemudian dipahami oleh para saudagar asing. Banyak pengusaha Aceh, Melayu dan Arab yang melakukan kontak dagang langsung ke pegunungan-pegunungan yang biasanya didominasi dan dimonopoli oleh para saudagar Batak. Kehadiran mereka di sana dihormati oleh para pelaku ekonomi Batak asal saja patuh dengan etika-etika ekonomi yang ditentukan oleh adat.

Tampaknya Kompeni Belanda juga ingin ikut-ikutan. Namun kehadiran perusahaan VOC di pedalaman Batak dengan tegas ditolak oleh para saudagar Batak dan raja-raja huta karena melihat perangai dan perilaku orang Kompeni yang sudah dikenal brutal dan kasar apatah lagi sangat rasialis dengan menganggap ras mereka lebih tinggi dari pribumi yang diejeknya sebagai primitif, budak dan pemakan orang.

Hubungan dagang antara pedalaman Batak dengan VOC sama sekali tidak ada kecuali dengan perantara para saudagar di Barus yang lebih dipercaya oleh orang-orang Batak. [Mengenai lebih percayanya orang Batak dengan Sultan di Barus dari pada Kompeni lihat Melman to Pits (1669)]. Hal itulah yang ditemukan Melman di Barus dan dia melaporkan kondisi tersebut kepada atasannya di kantor pusat VOC di Padang tentang keengganan orang Batak pedalaman melakukan hubungan dagang dengan Kompeni.

Namun, Kompeni dengan strategi jitunya tetap saja mendapat komoditas yang mereka inginkan dengan membeli komoditas-komoditas Batak melalui Sultan Hilir yang lebih bersikap lunak kepada Kompeni. Sementara itu dari pihak Sultan Hulu sama sekali masih memboikot perdagangan dengan Belanda.

Walau bagaimanapun, boikot dan embargo ekonomi yang dilakukan oleh Sultan Di Hulu terhadap Kompeni atas kebrutalan dan kecurangannya telah berhasil mengurangi keuntungan perusahaan yang selama ini selalu didapat secara berlipat ganda.

Pada tahun 1671, perubahan konstelasi politik regional mulai bergeser. Kekuatan Aceh mulai menarik pasukannya dari Barus seiring dengan mulai membaiknya peta politik saat itu. Belanda mulai mengambil langkah untuk memperbaiki perangai mereka dengan pihak penguasa. Backer seorang pegawai Kompeni, setelah dengan susah payah berhasil mendapat simpati dari Sultan Di Hulu untuk menjamin supplai produk-produk dari pedalaman Batak. Sultan, menerima iktikad baik tersebut dan bahkan menjamin akan meningkatkan pengaruhnya di pedalaman Batak untuk segera mengirim komoditas yang diinginkan oleh Kompeni. [Backer to Pits (1671)].

Tahun 1694, Kompeni mengurungkan niatnya sementara untuk menerapkan kebijakan adu domba dan pecah belah terhadap Barus. Mereka mengakui kedaulatan dan otoritas Kesultanan Barus yang dipimpin oleh kedua Dinasti tanpa membeda-bedakan satu sama lain. Konvensi Kesultanan Barus yang menganggap Sultan Di Hulu sebagai penguasa dan Sultan di Hilir sebagai perdana menteri mulai diakui secara permanen. Pihak pengusaha Belanda, untuk sementara, tidak lagi berusaha mengadu domba dengan mengistimewakan pihak Hilir.



Barus, Dairi dan Batak Dipecah Belah

Dalam dokumentasi Belanda pada tahun 1694, mereka mulai sadar bahwa mereka tidak akan bisa bertahan di Barus, di tengah arus kompetisi ekonomi yang mulai ketat, tanpa dukungan dan kemurahan hati Sultan di Hulu. Hal itu dipahami oleh Belanda, karena dalam sebuah langkah brutal untuk melenyapkan Sultan di Hulu oleh Belanda, telah mengalami kegagalan karena dukungan sebuah pasukan ekspedisi militer yang terdiri dari kepala-kepala huta orang-orang Dairi yang setia kepada Sultan Hulu pada tahun 1693, setahun sebelum pengakuan Kompeni tersebut.

Setelah supremasi dan otoritas Sultan Di Hulu kembali ke semula, Sultan Minuassa, Sultan di Hulu yang memerintah saat itu, dilaporkan bermusafir ke Dairi untuk pengasingan sementara di pegunungan di belakang Singkil.

Dukungan yang diberikan oleh para raja-raja huta Dairi terhadap Sultan Di Hulu mengejutkan orang-orang Belanda, padahal sebelumnya telah ada perjanjian antara Kompeni dengan orang-orang yang dilakimnya sebagai tetua Dairi untuk memindahkan loyalitas mereka dari Sultan Hulu ke Hilir.

Dalam pengasingan Sultan, pihak Belanda yang tidak pernah putus asa untuk merusak tatanan hidup orang Batak di Kesultanan Barus mulai mendekrasikan Sultan di Hilir menjadi Raja Barus. Untuk mendukung kebijakan mereka, orang-orang Dairi mulai didekati untuk menghianati kembali Sultan mereka. Hal ini tampaknya mendapat keberhasilan.

Pada tahun 1698, Sultan Minuassa yang mengasingkan diri sementara di Dairi kembali ke Barus, namun dia mendapati kekuasaanya telah hilang dan lenyap. Belanda bersikukuh bahwa dia bagi mereka hanyalah bara-antara bagi orang Dairi. Belanda berhasil mengangkat Sultan Hilir sebagai pemerintah boneka yang dapat disetir oleh perusahaan VOC.

Sultan Minuassa tidak menerima kecurangan yang dialaminya. Pada tahun 1706, dia berhasil menggalang kekuatan, khususnya dari semarganya di Dairi dan Singkel, untuk mengembalikan kehormatan dan harga diri sebagai Sultan penguasa Barus. Orang-orang Batak di pegunungan sekitar Barus juga mendukungnya. Usaha ini berhasil mengembalikan tahta dan istananya. Pada tahun 1709, paman Sultan Minuassa yang bernama Megat Sukka atau Sultan Bongsu Pardosi berhail melakukan gempuran mematikan terhadap lawan-lawannya, atas nama kedaulatan dan tahta Sultan Hulu, dan berhasil menguasai seluruh Barus. Usaha ini mencapai kemenangan yang fantastis sejak sebelumnya pihak Sultan di Hulu berhasil melobbi pihak Kerajaan Aceh untuk mengirimkan pasukan pendukung.

Namun pihak Sultan di Hulu tidak ingin memerintah secara egois di Barus. Kedaulatan Sultan di Hilir juga dikembalikan. Sekali lagi kombinasi Hulu dan Hilir dalam memerintah Barus seperti dahulu kala berhasil dikembalikan. Sultan Hilir dalam suratnya kepada Kompeni di Padang mengatakan bahwa Barus telah kembali ke sistem pemerintahan semula, yakni pemerintahan yang dikuasasi oleh dua dinasti. [Lihat surat Raja Barus (hilir) kepada VOC (1709), VOC 1777].



Orang-orang Batak Bersatu

Pada 1736-1740 merupakan tahun yang sangat krusil bagi bangsa Batak. Pada saat ini orang-orang Dairi membulatkan tekadnya untuk mendukung tahta dan kedaulatan Sultan Di Hulu yang mencakup semua wilayah Dairi, Sionom Hudon, Pakpak dan Simsim.

Demikian pula halnya dengan raja-raja Batak dari pedalaman. Para raja-raja Batak ini berkenan pula mengirimkan pasukannya ke Barus untuk menghalau teror yang dilakukan oleh kompeni dan Belanda.

Penduduk Sorkam dan Korlang, berhasil dimobilisasi oleh Raja Simorang dari Silindung untuk bersatu dan bersama-sama mengusir Kompeni atau VOC. Beberapa kali perang terjadi antara kedua belah pihak.

Sementara itu, Dinasti Sisingamangaraja VIII, yang bernama Ompu Sotaronggal dan bergelar Raja Bukit memimpin pasukannya dari tanah Batak untuk mendukung pasukan Barus bersama pasukan Kerajaan Aceh untuk memberi perlindungan kepada Sorkam dari pembunuhan oleh Kompeni. Begitu heroiknya Raja Bukit dalam pertempuran tersebut, sehingga orang-orang Eropa yakin bahwa Raja Bukit adalah orang Aceh.

Aliansi beberapa pasukan yang dipimpin oleh Raja Bukit ini berhasil menggetarkan pihak Belanda sehingga namanya dikenal sampai ke Inggris. [Anne Lindsey, “The Private Trade Of The British In West Sumatera” 1735-1770” [Ph.D Disssertation, University of Hull, 1977], p. 122.

Ompu Sotaronggal merupakan Sisingamangaraja VIII, keturunan Dinasti Sisingamangaraja yang memerintah di pedalamanan Batak. Silsilah dinasti Sisingamangaraja sampai abad ke 18 adalah pertama Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550. Yang kedua SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595. Yang ketiga, SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627. Yang keempat SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667. Yang kelima, SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730. Yang keenam SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751. Yang ketujuh SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771 dan yang kedelapan SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788.

Diyakini bala bantuan dari Bakkara tersebut direalisir karena kedua kerajaan, Kerajaan Batak dan Kesultanan Barus merupakan dua negara yang merdeka yang saling mengakui kedaulatan satu sama lain. Kerjasama keduanya sudah terjadi sejak dahulu kala, khususnya dalam hubungan ekonomi dan adat budaya. Keduanya semakin menyatu setelah keduanya merupakan sekutu dekat Kerajaan Aceh untuk mengatasi berbagai masalah.



VOC Bangkrut, Kompeni Hengkang

Bangkitnya Kesultanan Barus dari tekanan amoral Kompeni, ternyata mengembalikan keamanan dan kenyamanan dalam kesultanan yang membuat bangkitnya saudagar-saudagar yang bukan Belanda dalam perekonomian.

Perusahaan-perusahaan Aceh yang berkompetisi langsung dengan VOC mulai bangkit dari isolasi yang dibuat oleh Kompeni tersebut. Penduduk pribumi mulai sadar dengan perangai dan perilaku Belanda yang makin lama makin meniadakan eksistensi mereka sebagai pribumi. Orang-orang Batak mulai menghindarkan diri untuk berhubungan dan bertansaksi secara ekonomi dengan pihak Belanda. Arogansi dan kepicikan Belanda yang menggap pribumi sebagai primitif, kampungan dan pemakan orang semakin membuat penduduk pribumi yakin dengan ke’aneh’an perdaban Kompeni.

Orang-orang Batak tetap melakukan bisnis dengan semua bangsa-bangsa termasuk Arab, Cina, India, Aceh, Siak, Bugis dan Inggris serta Perancis yang datang belakangan. Pada tahun 1778 kompeni Belanda atau VOC di Barus bangkrut dan mereka menarik diri dari Kesultanan Barus.



Masuknya Inggris

Kesultanan Barus berhasil membangun kembali peradaban mereka. Beberapa lembaga pemerintahan dan sosial berhasil dibangun kembali sejak keamanan dan ketertiban berhasil dipertahankan. Sejak akhir abad ke-18 itu, masyarakat pedagang di Kesultanan Barus mulai melihat prospek kecerahan perekonomian setidaknya suasana persaingan ekonomi mulai fair, adil dan beretika.

Pada tahun 1814, John Canning, seorang penyusup dan pegawai perusahaan Inggris berhasil memasuki Barus setelah sebelumnya perusahaan Inggris telah membuka kantor cabangnya di kota pelabuhan Natal. Canning diberi misi untuk memata-matai dan mengukur kekuatan pengusaha Aceh dan pengaruh Kesultanan Aceh di Barus. Menurut informasi orang-orang Eropa saat itu, pasukan Aceh telah ditempatkan secara temporer di Taruman, sebuah wilayah Barus perbatasan antara Kesultanan Barus dan Aceh. Wilayah Taruman itu mencakup Singkil sampai Meulaboh. Paska bercokolnya kembali Belanda, wilayah Taruman berhasil memproklamirkan diri menjadi Kesultanan Tarumon dengan sultan yang berasal dari Batak Singkil serta dengan pengakuan dari Aceh.

Pada tahun ini (1814) penguasa Barus yang tunggal dari Hulu bernama Sultan Baginda Raja dengan perdana menteri dari Hilir. Menurut Canning, perusahaan dan pengusaha-pengusaha Aceh berdomisili di Tapus. Sementara itu Taruman bagian utara Barus telah diangkat seorang Aceh untuk menjadi gubernur oleh Sultan Baginda yang bernama “Lebbe Dappah”. Menurut Canning pula bahwa Kesultanan Barus merupakan negara yang sangat penting untuk menahan pengaruh Aceh ke Selatan, khususnya Natal.[lihat Captain J. Canning, 24 November 1814, Sumatra Factory Record., vol.27]

Laporan-laporan mata-mata ini berhasil melihat secara jelas peta perpolitikan di Barus paska hengkangnya Belanda. Menurutnya, Sultan di Hilir, sebenarnya sudah tidak berdaulat lagi, sejak mereka hanya bagian dari pemerintahan Sultan Barus (Di Hulu) berbeda dengn laporan-laporan Belanda yang saat itu masih terus saja berhipotesa mengenai kondisi kontemporer Kesultanan.

Sementara itu, konstelasi politik dunia mulai mengalami kemajuan Beberapa perusahaan-perusahaan Eropa mulai mendapat keuntungan yang berlipat ganda setelah mengeruk kekayaan dan mengekplotasi berbagai negara dan wilayah terbelakang di Asia dan Afrika dan juga Amerika Latin.



Belanda Kembali, Kali ini Untuk Menjajah

Pada tahun 1820, Belanda kembali lagi ke Barus kali ini maksud mereka bukan untuk berdagang tapi menjajah sepenuhnya Barus. Selang lima tahun Belanda berhasil menguasai para pejabat pemerintahan dengan maksud untuk memperkuat jaringanya.

Kali ini Belanda masuk dengan pasukan yang sangat dan canggih saat itu. Kehadiran mereka di dipegunungan juga mendapat tantangan oleh orang-orang Batak Padri yang tidak setuju dengan konsep hisap darah dan penjajahan ala Belanda tersebut.

Pada tahun 1825, perpecahan antara kedua penguasa di Barus berhasil diciptakan, Ridder de Steurs mengklaim bahwa salah satu Sultan telah meminta Bantuan dari Belanda di Padang untuk mengirim pasukan membela salah satu Sultan. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Belanda untuk mengirim pasukan lebih banyak tanpa mendapat perlawanan dan protes dari raja-raja Batak di berbagai tempat. Walaupun Belanda telah datang dengan pasukan bersenjata lengkap tetap saja mereka harus mengambil langkah yang jitu agar langkah tersebut tidak mengalami kegagalan yang fatal.

Usaha untuk menjajah dan mencaplok secara total Barus terus dilakukan namun selalu mendapat perlawanan dari Rakyat. Pergulatan, peperangan dan pertikaian terus terjadi sampai tahun 1839. Pada tahun ini Belanda berhasil menguasasi Barus setelah sebelumnya Belanda berhasil menguasai Bonjol pada tahun 1837. Setelah menguasasi Bonjol, pusat pasukan Padri Minang dan setelah banyaknya orang-orang Padri Batak tewas dan gugur mempertahankan Air Bangis, pasukan Belanda dapat mengumpul kekuatan penuh untuk menguasasi Barus dua tahun kemudian yakni 1839-40. Walaupun begitu, Kesultanan Barus masih tetap eksis di bawah penjajahan dengan gelar Tuanku dan bukan Sultan.

Seorang penyusup Belanda yang bekerja untuk kepentingan militer, H.N. van der Tuuk yang pada tahun 1851, berhasil menyusup sampai ke pedalaman Batak. Walaupun Barus dikuasai, namun pedalaman Batak tetap merdeka sampai tahun 1907.

Para penyusup tersebut diinfiltrasikan oleh Belanda dengan tujuan mengkeroposkan sistem sosial dan adat orang-orang Batak. Penguasaan terhadap tanah Batak adalah sangat penting untuk menyempurnakan kekuasaan Belanda di Sumatera yang hanya tinggal Aceh dan Batak tersebut.

H.N. van der Tuuk, dengan bantuan para ketua-ketua kampung di Barus yang terdiri dari pada Batak muslim yang menjadi pemandu, berhasil memasuki tanah Batak. Dari sana dia berhasil memetakan dan menarik kesimpulan yang mesti diperhatikan oleh para penyusup Belanda berikutnya. Di antaranya adalah keharusan memelihara babi dan mengisolasi masyarakat Batak Muslim dan kelompok “pitu hali malim pitu hali solam” dari yang pelebegu. [Lihat Lihat: R. Nieuwenhuys, H.N. van Der Tuuk: De, Pen in Gal Gedoopt, (Amsterdam, 1962) hal: 81-84] Dengan begitu orang Batak akan mudah ditaklukkan.

Pada tahun 1851, Sultan Di Hulu, dari Dinasti Pardosi mulai secara pelan-pelan dikurangi otoritasnya. Dia mulai dilarang untuk menggunakan stempel kerajaan dalam membuat surat. Ini berarti kekuasaannya sudah tumpul dan puntung karena sudah tidak boleh mengeluarkan perintah dan keputusan. Kondisi ini membuat Tuanku di Hilir merasa bahagia menjadi penguasa tunggal yang tersisa dengan dukungan Belanda. Namun belum lengkap kebahagiaan yang dirasakan olehnya, Belanda menetapkan keputusan sama pada tahun 1852 terhadap Tuanku di Hilir.

Untuk semakin mengerdilkan Barus yang pernah membangkrutkan Belanda, pihak penjajah kemudian menunjuk Sibolga yang dipimpin oleh keturunan Tuanku Dorong Hutagalung sebagai pusat perekonomian menggantikan Barus. Para saudagar mulai dipersulit beraktivitas di Barus. Beberapa kali, dalam menumpas kekuatan kemerdekaan dari pribumi, Belanda mengambil jalan pintas dengan membakar dan menghancurkan semua desa-desa dan penduduk Barus. Lama-kelamaan bahkan sampai sekarang Barus tinggal hanya puing-puing. Di atasnya, penduduk Barus yang sudah sangat terpuruk secara ekonomi dan mental mulai membangun tempat tinggal mereka kembali dari pelepah daun dan rumbia, akibatnya Barus dan orang-orang Batak kembali ke zaman kegelapan, saat orang-orang Batak masih hidup telanjang berkelompok dan nomaden.

Para keturunan Sultan dan Tuanku Barus hanya boleh dikenal oleh penduduk dengan sebutan kepala kampung atau desa atau kepala kuria. Sedapat mungkin Belanda membatasi gerak dan usaha mereka untuk berbicara.



Sumber: Politik Batak 1668-1840 Oleh Julkifli Marbun

SEJARAH POMPARAN RAJA NAI AMBATON

SEJARAH POMPARAN RAJA NAI AMBATON


Raja Nai Ambaton/Tuan Sorba Dijulu adalah anak sulung dari Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 4 orang anak namun ada juga yang mengatakan 5 orang anak, namun Tuan Sorba Dijulu hanya memiliki satu orang boru yang menikah dengan Raja Silahisabungan dan melahirkan anaknya yang diberi nama Silalahi Raja. Anak Tuan Sorba Dijulu/Nai Ambaton adalah



1. Simbolon Tua

2. Tamba Tua

3. Saragi Tua

4. Munthe Tua

5. Nahampun Tua

6. Sada boru Pinta Haomasan

Sekilas perjalanan Pomparan Raja Nai Ambaton dohot Pinomparna



Diperkirakan Op. Tuan Sorba Dijulu tinggal di sekitar Pusuk Buhit, dengan istrinya nai ambaton yang merupakan boru pinompar ni Guru Tatea Bulan yang diketahui nama op. boru itu adalah Siboru Anting Bulan yang marhuta di huta Parik Sabungan (sudah ada yang pernah datang ketempat ini).



Diperkirakan Tuan Sorba Dijulu merantau ke Dolok Paromasan, disinilah lahir anak-anaknya Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua (kita buat 4 dulu anaknya Tuan Sorba Dijulu karena Nahampun masuk Simbolon) dan satu borunya Pinta Haomasan.



Namun di satu sisi Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 2 orang istri, istri pertama anaknya adalah Simbolon Tua sedangkan dari istri kedua anaknya adalah Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun ketika itu dari istri pertama lama lahir Simbolon Tua, sehingga lebih dulu lahir Tamba Tua dari istri kedua. Setelah lahir Tamba Tua terlebih dahulu lahirlah Simbolon Tua dari istri pertama, namun tidak diketahui apakah Saragi Tua dan Munthe Tua dulukah yang lahir baru Simbolon Tua, atau Simbolon Tua dulukah kemudian lahir Saragi Tua dan Munthe Tua dari istri kedua. Namun menurut perkiraan kembali, lebih dulu lahir Saragi Tua baru Simbolon Tua kemudian Munthe Tua, ini menurut analisa generasi dari tiap-tiap keturunan yang ada hingga saat ini.



Lambat laun anak-anak dan boru Tuan Sorba Dijulu bertumbuh besar, sampai pada akhirnya Tamba Tua yang secara usia lebih sulung dari anak-anak Tuan Sorba Dijulu dengan Simbolon Tua yang merasa dialah anak siakkangan karena lahir dari istri pertama bertengkar berebut hak kesulungan, sampai pada akhirnya pertengkaran ini didengar Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu dengan bijaksana menentukan siapakah yang pantas dan memang sebenarnya yang menjadi sulung di Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu mengadu kedua anaknya, dikatakan siapa yang berdarah atau terluka, dialah yang sianggian dan siapa yang tidak dialah siakkangan. Maka diberikan senjata yang sama kepada mereka berdua, senjata tersebut berupa ‘ultop’, namun ultop yang diberikan kepada Tamba Tua adalah ultop yang ujungnya tumpul, sedangkan ultop yang diberikan kepada Simbolon Tua adalah ultop yang runcing dan tajam. Dan akhirnya rencana Tuan Sorba Dijulu pun berhasil, Tamba Tua terluka dan berdarah dan secara otomatis menunjukkan Simbolon Tualah anak siakkangan, ini merupakan cara Tuan Sorba Dijulu kepada mereka tanpa membuat tersinggung mereka, tanpa adanya pemikiran pilih kasih.



Semenjak hal tersebut, kejadian itu membuat Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua untuk pergi meninggalkan Dolok Paromasan, hingga akhirnya mereka menemukan tempat baru di kecamatan Sitio-tio dan diberi nama Huta Tamba, disinilah tinggal Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun tidak alama pomparan Saragi Tua akhirnya merantau ke daerah Simanindo. Lama pomparan mereka terus berkembang hingga membuat pinomparna pergi merantau ke luar huta Tamba, akhirnya pomparan Tamba Tua banyak yang merantau dan sebagian tinggal pomparannya di huta Tamba, mereka inilah yang terus menggunakan marga Tamba hingga saat ini, sedangkan pomparan Tamba Tua yang merantau pada akhirnya menjadi marga mandiri, dan kebanyak mereka merantau ke daerah Simanindo, adapun marga-marga mandiri keturunan Tamba Tua ini adalah Siallagan, Turnip, Si Opat Ama (Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok), Rumahorbo, napitu dan Sitio. Di satu sisi, pomparan Saragi Tua hampir semua meninggalkan huta Tamba dan hidup mandiri ke daerah Simanindo dan lain-lain, begitupun juga dengan pomparan Munthe Tua yang merantau ke karo, barus, simalungun, dan balik ke daerah pangururan dan lain-lain, namun masih ada sebagian dari Pomparan Munthe Tua ini yang hingga saat ini tinggal dan menetap di Huta Tamba.



Di satu sisi ada cerita yang mengatakan semenjak kejadian perebutan hak sulung, Tamba dan adiknya ingin dibunuh oleh Simbolon Tua karena dendam kepada Tamba Tua yang telah merebut hak kesulungannya, namun rencana itu diketahui itonya Pinta Haomasan, dan Pinta Haomasan menyuruh mereka untuk pergi dari Dolok Paromasan.



Suatu ketika, datanglah keturunan Saragi Tua, dari Op. Tuan Binur yang diwakili oleh Si Mata Raja datang ke tanah Tamba untuk mengambil warisan sang ayah dan sang opung yang ada di tanah Tamba, dan pada saat itu disambut oleh Tamba bersaudara, setalah Mata Raja melaksanakan tugasnya Mata Raja bertemu dengan Siallagan dan Turnip yang pada waktu itu berperang melawan kerajaan dari Simalungun, maka karena Siallagan dan Turnip merupakan saudaranya dibantulah mereka, sekilas akhirnya Mata Raja berhasil mengusir musuh hingga lari ketar-ketir. Sejak saat itu, maka Siallagan dan Turnip merasa sangat senang, maka dibuatlah padan diantara mereka bertiga, dan Mata raja diajak untuk tinggal bersama mereka, namun Mata Raja tidak mau dan lebih memilih untuk kembali ke tempatnya.



Di satu sisi, keturunan Munthe Tua banyak yang sudah merantau, salah satunya Pangururan. Keturunan sulung Munthe Tua Raja Sitempang lahir dengan keadaan cacat fisik, sehingga dia diasingkan oleh orangtuanya, disana dia bertemu dengan si boru marihan yang juga lahir dengan keadaan cacat fisik, anak dari Raja Sitempang adalah Raja Na Tanggang yang merantau ke Pangururan dan menikahi boru Naibaho sehingga menetap dan tinggal di Pangururan, di lain pihak ternyata adik dari boru Naibaho istri Raja Na Tanggang ini dinikahi oleh keturunan Simbolon Tuan Nahoda Raja, keturunan dari Simbolon Tua/boru Limbong. Mulai disinilah terjadinya perbedaan pandangan karena Raja Na Tanggang yang merupakan keturunan dari Munthe Tua menikahi boru naibaho siakkangan menganggap dialah siabangan daripada Simbolon Tuan Nahoda Raja yang merupakan anak Simbolon Tua yang menikahi boru naibaho siampudan. Muncullah katai damai dari Tulang, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena Sitanggang dan Simbolon telah menikahi boru Raja Naibaho, maka diberikanlah kepada Sitanggang dan Simbolon bius sebagai boru. Itulah yang dikenal dengan nama bius si tolu aek horbo. Keturunan Raja Sitempang, Sitanggang Bau pun bertemu dengan Gusar yang merupakan generasi ke 13 si Raja Batak yang ketika itu membantu Sitanggang Bau melawan musuhnya. Anak-anak Munthe Tua yang kedua dan ketiga yaitu Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo yang merantau ke Simalungun, dan Ompu Jelak Karo ke tanah karo, jadi salah bila beranggapan Munthe itu berasal dari karo, jadi dari kedua ompu inilah yang masih menggunakan marga leluhurnya, namun bagi yang di karo menjadi marga mandiri seperti Ginting sama seperti anak siakkangan Munthe Tua yang menjadi marga mandiri Sitanggang.



Namun ketika jaman Belanda, dimana Belanda untuk menguasai kekayaan bumi yang ada di samosir di Pangururan memanggil raja-raja untuk dijadikan kepala nagari, begitu juga dengan Sitanggang yang diberikan daerah kekuasaan dengan menjadi Raja Pangururan karena dia memiliki sebagian besar bius karena menikahi boru siakkangan Naibaho. Diperkkirakan disinilah terjadinya turut campur Belanda dalam mencampuri dan membuat berantakan tarombo, karena banyak raja-raja pada waktu itu tidak datang dan diwakilkan oleh adiknya atau kepercayaannya yang masih satu marga, namun tidak disangka mereka ditawarkan menjadi kepala nagari, ada yang tergiur dan ada yang menolak hingga mereka yang dijadikan kepala nagari itu yang merupakan utusan dari raja daerah/abangnya mengaku sebagai abangan karena telah menjadi kepala nagari.



Dolok Paromasan terletak di daerah Pangururan, namun Dolok Paromasan ini adalah miliki Tuan Sorba Dijulu lain dengan kota Pangururan.





PINTA HAOMASAN

Namboru Pinta Haomasan adalah boru sasada Tuan Sorba Dijulu yang tinggal di Dolok Paromasan bersama dengan itonya Simbolon Tua, karena itonya Tamba Tua dan adik-adiknya pergi meninggalkan akibat kejadian hak sulung. Namboru Pinta Haomasan muli ke Raja Silahisabungan dengan anaknya Silalahi Raja, karena pada saat itu pariban Silalahi Raja hanya ada dari boru tulangnya Simbolon Tua, karena ketiga tulangnya telah meninggalkan huta, maka Silalahi Raja mengambil boru Tulangnya dari Simbolon Tua hingga beberapa generasi. Karena mengambil boru tulangnya dari Simbolon, maka sama seperti yang dilakukan oleh Raja Naibaho kepada Simbolon maka dilakukan juga hal tersebut kepada Silalahi Raja, diberikannlah bius boru kepada Silalahi Raja, namun karena Simbolon Tua sadar bahwa tanah leluhurnya Tuan Sorba Dijulu di Dolok Paromasan bukanlah hanya miliknya, maka bius Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua ikut diberikan didalamnya.



Bius disini bius di Dolok Paromasan berbeda dengan bius Pangururan yang diberikan Raja Naibaho, karena diperkirakan Pangururan adalah wilayah kekuasaan Tuan Sorimangaraja.



Marga Parna di Pak-pak dan Aceh



Banyak marga-marga parna yang merantau ke tanah pak-pak dan menjadi besar, mulai dari keturunanya di Pak-pak dari keturunan Simbolon Tuan, Sigalingging dan Munthe. Misalnya Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turuten, Pinayungan, Nahampun, dll, begitu juga marga Saraan, Kombih dan Berampu yang berada di sekitar Aceh (Singkil).



Horong Marga-Marga Parna



SIMBOLON TUA

1. Simbolon Tuan Nahoda Raja

2. Tinambunan

3. Tumanggor

4. Pasi

5. Maharaja

6. Turuten

7. Pinayungan

8. Nahampun

9. Simbolon Altong Nabegu

10. Simbolon Pande Sahata

11. Simbolon Juara Bulan

12. Simbolon Suhut Ni Huta

13. Simbolon Rimbang

14. Simbolon Hapotan





TAMBA TUA

1. Tamba

2. Siallagan

3. Turnip

4. Sidabutar

5. Sijabat

6. Saragi Dajawak

7. Siadari

8. Sidabalok

9. Rumahorbo

10. Napitu

11. Sitio

12. Sidauruk



SARAGI TUA

1. Simalango

2. Saing

3. Simarmata

4. Nadeak

5. Sumbayak

6. Sidabukke (sudah keluar dari parna)



MUNTHE TUA

1. Sitanggang bau

2. Sitanggang gusar

3. Sitanggang lipan

4. Sitanggang upar

5. Sitanggang silo

6. Manihuruk

7. Sigalingging

8. Garingging

9. Tendang

10. Banuarea

11. Boang Manalu

12. Bancin

13. Bringin

14. Gajah

15. Brasa

16. Manik Kecupak

17. Saraan

18. Kombih

19. Berampu

20. Munthe

21. Haro

22. Siambaton

23. Saragi Damunte

24. Dalimunthe

25. Ginting Baho,

26. Ginting Beras,

27. Ginting Capa,

28. Ginting Guru Putih,

29. Ginting Jadibata,

30. Ginting Jawak,

31. Ginting Manik,

32. Ginting Munthe,

33. Ginting Pase,

34. Ginting Sinisuka,

35. Ginting Sugihen,

36. Ginting Tumangger,



* Namun ini masih membutuhkan penyempurnaan yang lebih lagi



Sumber : File Tarombo Tamba Tua