Selasa, 23 Juli 2013

SEJARAH POMPARAN RAJA NAI AMBATON

SEJARAH POMPARAN RAJA NAI AMBATON


Raja Nai Ambaton/Tuan Sorba Dijulu adalah anak sulung dari Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 4 orang anak namun ada juga yang mengatakan 5 orang anak, namun Tuan Sorba Dijulu hanya memiliki satu orang boru yang menikah dengan Raja Silahisabungan dan melahirkan anaknya yang diberi nama Silalahi Raja. Anak Tuan Sorba Dijulu/Nai Ambaton adalah



1. Simbolon Tua

2. Tamba Tua

3. Saragi Tua

4. Munthe Tua

5. Nahampun Tua

6. Sada boru Pinta Haomasan

Sekilas perjalanan Pomparan Raja Nai Ambaton dohot Pinomparna



Diperkirakan Op. Tuan Sorba Dijulu tinggal di sekitar Pusuk Buhit, dengan istrinya nai ambaton yang merupakan boru pinompar ni Guru Tatea Bulan yang diketahui nama op. boru itu adalah Siboru Anting Bulan yang marhuta di huta Parik Sabungan (sudah ada yang pernah datang ketempat ini).



Diperkirakan Tuan Sorba Dijulu merantau ke Dolok Paromasan, disinilah lahir anak-anaknya Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua (kita buat 4 dulu anaknya Tuan Sorba Dijulu karena Nahampun masuk Simbolon) dan satu borunya Pinta Haomasan.



Namun di satu sisi Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 2 orang istri, istri pertama anaknya adalah Simbolon Tua sedangkan dari istri kedua anaknya adalah Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun ketika itu dari istri pertama lama lahir Simbolon Tua, sehingga lebih dulu lahir Tamba Tua dari istri kedua. Setelah lahir Tamba Tua terlebih dahulu lahirlah Simbolon Tua dari istri pertama, namun tidak diketahui apakah Saragi Tua dan Munthe Tua dulukah yang lahir baru Simbolon Tua, atau Simbolon Tua dulukah kemudian lahir Saragi Tua dan Munthe Tua dari istri kedua. Namun menurut perkiraan kembali, lebih dulu lahir Saragi Tua baru Simbolon Tua kemudian Munthe Tua, ini menurut analisa generasi dari tiap-tiap keturunan yang ada hingga saat ini.



Lambat laun anak-anak dan boru Tuan Sorba Dijulu bertumbuh besar, sampai pada akhirnya Tamba Tua yang secara usia lebih sulung dari anak-anak Tuan Sorba Dijulu dengan Simbolon Tua yang merasa dialah anak siakkangan karena lahir dari istri pertama bertengkar berebut hak kesulungan, sampai pada akhirnya pertengkaran ini didengar Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu dengan bijaksana menentukan siapakah yang pantas dan memang sebenarnya yang menjadi sulung di Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu mengadu kedua anaknya, dikatakan siapa yang berdarah atau terluka, dialah yang sianggian dan siapa yang tidak dialah siakkangan. Maka diberikan senjata yang sama kepada mereka berdua, senjata tersebut berupa ‘ultop’, namun ultop yang diberikan kepada Tamba Tua adalah ultop yang ujungnya tumpul, sedangkan ultop yang diberikan kepada Simbolon Tua adalah ultop yang runcing dan tajam. Dan akhirnya rencana Tuan Sorba Dijulu pun berhasil, Tamba Tua terluka dan berdarah dan secara otomatis menunjukkan Simbolon Tualah anak siakkangan, ini merupakan cara Tuan Sorba Dijulu kepada mereka tanpa membuat tersinggung mereka, tanpa adanya pemikiran pilih kasih.



Semenjak hal tersebut, kejadian itu membuat Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua untuk pergi meninggalkan Dolok Paromasan, hingga akhirnya mereka menemukan tempat baru di kecamatan Sitio-tio dan diberi nama Huta Tamba, disinilah tinggal Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun tidak alama pomparan Saragi Tua akhirnya merantau ke daerah Simanindo. Lama pomparan mereka terus berkembang hingga membuat pinomparna pergi merantau ke luar huta Tamba, akhirnya pomparan Tamba Tua banyak yang merantau dan sebagian tinggal pomparannya di huta Tamba, mereka inilah yang terus menggunakan marga Tamba hingga saat ini, sedangkan pomparan Tamba Tua yang merantau pada akhirnya menjadi marga mandiri, dan kebanyak mereka merantau ke daerah Simanindo, adapun marga-marga mandiri keturunan Tamba Tua ini adalah Siallagan, Turnip, Si Opat Ama (Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok), Rumahorbo, napitu dan Sitio. Di satu sisi, pomparan Saragi Tua hampir semua meninggalkan huta Tamba dan hidup mandiri ke daerah Simanindo dan lain-lain, begitupun juga dengan pomparan Munthe Tua yang merantau ke karo, barus, simalungun, dan balik ke daerah pangururan dan lain-lain, namun masih ada sebagian dari Pomparan Munthe Tua ini yang hingga saat ini tinggal dan menetap di Huta Tamba.



Di satu sisi ada cerita yang mengatakan semenjak kejadian perebutan hak sulung, Tamba dan adiknya ingin dibunuh oleh Simbolon Tua karena dendam kepada Tamba Tua yang telah merebut hak kesulungannya, namun rencana itu diketahui itonya Pinta Haomasan, dan Pinta Haomasan menyuruh mereka untuk pergi dari Dolok Paromasan.



Suatu ketika, datanglah keturunan Saragi Tua, dari Op. Tuan Binur yang diwakili oleh Si Mata Raja datang ke tanah Tamba untuk mengambil warisan sang ayah dan sang opung yang ada di tanah Tamba, dan pada saat itu disambut oleh Tamba bersaudara, setalah Mata Raja melaksanakan tugasnya Mata Raja bertemu dengan Siallagan dan Turnip yang pada waktu itu berperang melawan kerajaan dari Simalungun, maka karena Siallagan dan Turnip merupakan saudaranya dibantulah mereka, sekilas akhirnya Mata Raja berhasil mengusir musuh hingga lari ketar-ketir. Sejak saat itu, maka Siallagan dan Turnip merasa sangat senang, maka dibuatlah padan diantara mereka bertiga, dan Mata raja diajak untuk tinggal bersama mereka, namun Mata Raja tidak mau dan lebih memilih untuk kembali ke tempatnya.



Di satu sisi, keturunan Munthe Tua banyak yang sudah merantau, salah satunya Pangururan. Keturunan sulung Munthe Tua Raja Sitempang lahir dengan keadaan cacat fisik, sehingga dia diasingkan oleh orangtuanya, disana dia bertemu dengan si boru marihan yang juga lahir dengan keadaan cacat fisik, anak dari Raja Sitempang adalah Raja Na Tanggang yang merantau ke Pangururan dan menikahi boru Naibaho sehingga menetap dan tinggal di Pangururan, di lain pihak ternyata adik dari boru Naibaho istri Raja Na Tanggang ini dinikahi oleh keturunan Simbolon Tuan Nahoda Raja, keturunan dari Simbolon Tua/boru Limbong. Mulai disinilah terjadinya perbedaan pandangan karena Raja Na Tanggang yang merupakan keturunan dari Munthe Tua menikahi boru naibaho siakkangan menganggap dialah siabangan daripada Simbolon Tuan Nahoda Raja yang merupakan anak Simbolon Tua yang menikahi boru naibaho siampudan. Muncullah katai damai dari Tulang, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena Sitanggang dan Simbolon telah menikahi boru Raja Naibaho, maka diberikanlah kepada Sitanggang dan Simbolon bius sebagai boru. Itulah yang dikenal dengan nama bius si tolu aek horbo. Keturunan Raja Sitempang, Sitanggang Bau pun bertemu dengan Gusar yang merupakan generasi ke 13 si Raja Batak yang ketika itu membantu Sitanggang Bau melawan musuhnya. Anak-anak Munthe Tua yang kedua dan ketiga yaitu Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo yang merantau ke Simalungun, dan Ompu Jelak Karo ke tanah karo, jadi salah bila beranggapan Munthe itu berasal dari karo, jadi dari kedua ompu inilah yang masih menggunakan marga leluhurnya, namun bagi yang di karo menjadi marga mandiri seperti Ginting sama seperti anak siakkangan Munthe Tua yang menjadi marga mandiri Sitanggang.



Namun ketika jaman Belanda, dimana Belanda untuk menguasai kekayaan bumi yang ada di samosir di Pangururan memanggil raja-raja untuk dijadikan kepala nagari, begitu juga dengan Sitanggang yang diberikan daerah kekuasaan dengan menjadi Raja Pangururan karena dia memiliki sebagian besar bius karena menikahi boru siakkangan Naibaho. Diperkkirakan disinilah terjadinya turut campur Belanda dalam mencampuri dan membuat berantakan tarombo, karena banyak raja-raja pada waktu itu tidak datang dan diwakilkan oleh adiknya atau kepercayaannya yang masih satu marga, namun tidak disangka mereka ditawarkan menjadi kepala nagari, ada yang tergiur dan ada yang menolak hingga mereka yang dijadikan kepala nagari itu yang merupakan utusan dari raja daerah/abangnya mengaku sebagai abangan karena telah menjadi kepala nagari.



Dolok Paromasan terletak di daerah Pangururan, namun Dolok Paromasan ini adalah miliki Tuan Sorba Dijulu lain dengan kota Pangururan.





PINTA HAOMASAN

Namboru Pinta Haomasan adalah boru sasada Tuan Sorba Dijulu yang tinggal di Dolok Paromasan bersama dengan itonya Simbolon Tua, karena itonya Tamba Tua dan adik-adiknya pergi meninggalkan akibat kejadian hak sulung. Namboru Pinta Haomasan muli ke Raja Silahisabungan dengan anaknya Silalahi Raja, karena pada saat itu pariban Silalahi Raja hanya ada dari boru tulangnya Simbolon Tua, karena ketiga tulangnya telah meninggalkan huta, maka Silalahi Raja mengambil boru Tulangnya dari Simbolon Tua hingga beberapa generasi. Karena mengambil boru tulangnya dari Simbolon, maka sama seperti yang dilakukan oleh Raja Naibaho kepada Simbolon maka dilakukan juga hal tersebut kepada Silalahi Raja, diberikannlah bius boru kepada Silalahi Raja, namun karena Simbolon Tua sadar bahwa tanah leluhurnya Tuan Sorba Dijulu di Dolok Paromasan bukanlah hanya miliknya, maka bius Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua ikut diberikan didalamnya.



Bius disini bius di Dolok Paromasan berbeda dengan bius Pangururan yang diberikan Raja Naibaho, karena diperkirakan Pangururan adalah wilayah kekuasaan Tuan Sorimangaraja.



Marga Parna di Pak-pak dan Aceh



Banyak marga-marga parna yang merantau ke tanah pak-pak dan menjadi besar, mulai dari keturunanya di Pak-pak dari keturunan Simbolon Tuan, Sigalingging dan Munthe. Misalnya Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turuten, Pinayungan, Nahampun, dll, begitu juga marga Saraan, Kombih dan Berampu yang berada di sekitar Aceh (Singkil).



Horong Marga-Marga Parna



SIMBOLON TUA

1. Simbolon Tuan Nahoda Raja

2. Tinambunan

3. Tumanggor

4. Pasi

5. Maharaja

6. Turuten

7. Pinayungan

8. Nahampun

9. Simbolon Altong Nabegu

10. Simbolon Pande Sahata

11. Simbolon Juara Bulan

12. Simbolon Suhut Ni Huta

13. Simbolon Rimbang

14. Simbolon Hapotan





TAMBA TUA

1. Tamba

2. Siallagan

3. Turnip

4. Sidabutar

5. Sijabat

6. Saragi Dajawak

7. Siadari

8. Sidabalok

9. Rumahorbo

10. Napitu

11. Sitio

12. Sidauruk



SARAGI TUA

1. Simalango

2. Saing

3. Simarmata

4. Nadeak

5. Sumbayak

6. Sidabukke (sudah keluar dari parna)



MUNTHE TUA

1. Sitanggang bau

2. Sitanggang gusar

3. Sitanggang lipan

4. Sitanggang upar

5. Sitanggang silo

6. Manihuruk

7. Sigalingging

8. Garingging

9. Tendang

10. Banuarea

11. Boang Manalu

12. Bancin

13. Bringin

14. Gajah

15. Brasa

16. Manik Kecupak

17. Saraan

18. Kombih

19. Berampu

20. Munthe

21. Haro

22. Siambaton

23. Saragi Damunte

24. Dalimunthe

25. Ginting Baho,

26. Ginting Beras,

27. Ginting Capa,

28. Ginting Guru Putih,

29. Ginting Jadibata,

30. Ginting Jawak,

31. Ginting Manik,

32. Ginting Munthe,

33. Ginting Pase,

34. Ginting Sinisuka,

35. Ginting Sugihen,

36. Ginting Tumangger,



* Namun ini masih membutuhkan penyempurnaan yang lebih lagi



Sumber : File Tarombo Tamba Tua

Kamis, 02 Desember 2010

PENJELASAN POMPARAN SAPALA TUA TAMPUK NABOLON (TAMPUBOLON) TENTANG SIRAJA PARMAHAN SILALAHI


Laporan Utama Majalah DALIHAN NA TOLU
Thn. IV EDISI 43
Terbitan Desember 2010

Raja Silahisabungan
Siraja Bungabunga Silalahi
(Silalahi Raja Parmahan)


“SUATU UPAYA PELURUSAN TAROMBO”




Dalam rangka mendapatkan kebenaran yang sejati atas tarombo Raja Silahisabungan, Siraja Bungabunga Silalahi (Silalahi Raja Parmahan) telah berlangsung pertemuan antara Pomparan Sapala Tua Tampuk Bolon (Tampubolon) dengan Pomparan Silahi Raja (Silalahi)



Pertemuan tersebut dilakukan sabtu 13 November 2010, di Tolping, Kabupaten Samosir. Sekitar seratus orang menghadiri acara tersebut yang berlangsung dengan tertib, penuh kekeluargaan dan dinamis.
Selain Pomparan Silahi Raja yang ada di Tolping, juga hadir dari Balige, Riau, Jakarta dan Bandung. Disamping itu hadir anggi doli Pomparan Siraja Tambun, dan juga dari kalangan pihak boru.
Dari pihak Raja Tampubolon hadir sepuluh orang yang mewakili pomparan Tuan Sihubil, pomparan ni Raja Mata Ni Ari, Pomparan ni Raja Apul, dan Pomparanni Raja Siboro, dalam Rombongan Raja Tampubolon, terlihat hadir Drs Sahala Tampubolon mantan Bupati Toba Samosir pertama.
Kelihatannya acara tersebut sudah merupakan suatu kerinduan selama ini . hal ini ditandai dengan suasana sukacita yang penuh dengan senyum, diantara namar hahamaranggi pomparan Silahi Raja (Silalahi) dengan Raja Tampubolon.
“Horas di Pomparanni Ompunta” ujar rombongan Raja Tampubolon, begitu tiba menginjakkan kaki diarea tempat pertemuan. Bersalam-salaman yang hangat diantara yang hadir, menjadi awal pertemuan tersebut, dengan sambutan Horas yang menggema.
Acara dimulai dengan penyerahan “ Pogu ni sipanganon” dari pihak Silalahi kepada hahadoli Tampubolon. Dilanjutkan dengan makan siang bersama dan pembagian parjambaron sesuai tatanan adat budaya Batak.
Pertemuan tersebut merupakan yang ketiga, diantara keturunan Silahi Raja (Silalahi) meliputi Siraja Tolping, Bursok Raja, dan Siraja Bungabunga. Dan kedatangan Siraja Bungabunga dalam dua pertemuan sebelumnnya, mengandung banyak arti, karena sekaligus melakukan kunjungan Ziarah ke Tambak Raja Silahisabungan.
Dikatakannya, pertemuan ketiga itu menjadi mengandung banyak arti bagi keturunan Silahi Raja (Silalahi), berkat kedatangan haha doli Raja Tampubolon. Pertemuan yang sangat bermakna ini, harus ada tanda dan dimateraikan.

SELALU BERSATU

Setelah itu masing-masing perwakilan dari Siraja Tolping, Bursok Raja dan Siraja Bungabunga memberikan kata sambutan. Mereka semua menyatakan “Nunga jumpa na jinalahan, mulak tondi tu ruma”. Untuk itu berdasarkan pertemuan tersebut, pomparan Raja Silahisabungan supaya selalu bersatu sisada tortor, sisada tahi tu dolok tu toruan dalam setiap kegiatan.
Dari pihak Siraja Tolping menyatakan, pertemuan tersebut menjadi bernilai, karena sebelumnya telah dilakukan Ziarah ke Tambak Silahisabungan . diharapkan agar pertemuan tersebut bukan sampai disitu, harus diteruskan. Sehingga dapat ditemukan tanda atau wujud dari kegalauan hati, tentang pelurusan tarombo Raja Silahisabungan yakni keberadaan Siraja Bungabunga Silalahi.
Pihak Bursok Raja mengatakan sangat terharu dengan perjuangan Pomparan Siraja Bungabunga dalam menyatukan asal usul yang sebenarnya.
Mereka berharap Tuhan mendengar, Sahala ni ompu mendengar, agar tercapai yang di inginkan. Sehingga Tuhan menunjukkan kesatuan diantara pomparan Raja Silahisabungan.
Menurutnya , kehadiran Raja Tampubolon merupakan tanda dari sahala ni ompu, tanda dari Tuhan, sehingga terwujud kelak yang terbaik bagi keturunan Raja Silahisabungan. Sukacita dalam pertemuan itu akan menjadi tonggak kebaikan bagi keturunan Raja Silahisabungan, khususnya Silahi Raja (Silalahi).
Sedangkan dari pihak Siraja Bungabunga dalam sambutannya menyatakan, rasa terima kasih kepada Siraja Tolping dan Bursok Raja yang mempertemukan Silalahi dengan Tampubolon. Selama ini mereka selalu bertanya-tanya kenapa ditugu Paropo tidak ada tercantum Siraja Bungabunga.
Dia berharap agar Tuhan menunjukkan jalan bagi mereka, sehingga apa yang dicari selama ini dapat ditemukan demi lurusnya permasalahan tarombo tersebut.
Mereka dari tiga Ompu sudah sepakat agar haha doli Raja Tampubolon membuka hati dan menjelaskan keberadaan Siraja Bungabunga.
Perwakilan anggi doli Siraja Tambun menyatakan, agar Pomparan Silahi Raja (Silalahi) selalu bersatu. Dia berharap roh nenek moyang (sahala ni ompu) mendengar, sehingga seluruh keturunannya bersatu dimanapun berada.

DONGAN SAPADAN

Dari pihak Raja Tampubolon menyatakan, menyambut baik keinginan Siraja Bungabunga, agar dijelaskan bahwa mereka adalah satu dengan Siraja Tolping dan Bursok Raja. Sehingga jelas kedudukan dari saat ini hingga masa mendatang, jadi kalau ada pergumulan, selalu satu hati dan satu pendapat. “Tampakna do rantosna, rim ni tahi do gogona,” ujarnya mengungkapkan salah satu filosofi orang Batak.
Mereka menyatakan apa yang diungkapkan itu, berdasarkan apa yang mereka dengar dari nenek moyang secara turun-temurun. Biasanya setelah panen, ada kegiatan yang dilakukan nenek moyang masa dulu yakni “Patasimangot” seperti istilah Partangiangan saat ini. Hal tersebut bertujuan agar apa yang dipelihara dapat berkembang dan apa yang dikerjakan dapat berjalan baik.
Selanjutnya pada kesempatan ini seorang tua-tua Tampubolon memaparkan hal-hal sebagai berikut : suatu ketika setelah panen, berencana Sibagot ni Pohan bersama adiknya Sipaet Tua, Raja Silahisabungan dan Raja Oloan . Adiknya yang satu lagi Raja Hutalima tidak ikut serta, karena sudah tidak ketahuan rimbanya.
Sibagot ni Pohan menyuruh adiknya yang tiga orang untuk mencari tiang borotan dan sanggul borotan ke hutan. Sipaet tua berjalan kearah Timur, sedangkan Raja Silahisabungan dan Raja Oloan berjalan kearah Barat.
Setelah ditemukan yang dicari, ditetapkan waktu untuk melaksanakan “Patasimangot”. Anehnya mereka berencana akan tiba ditempat, kalau acara sudah berakhir. Karena sampai hari yang ditetapkan, dimana raja adat dan undangan sudah hadir , ketiga adinya belum tiba. Akhirnya Sibagot ni Pohan menyelenggarakan sendiri acara tersebut.
Setelah acara selesai, ketiga adiknya dating. Mereka rebut dengan argumentasi masing-masing, karena Sibagot ni Pohan menyelenggarakan sendiri acara tersebut. Akhirnya mereka berpisah, dan ketiga adinya meminta harta pembagian. Berangkatlah Sipaet Tua kearah Timur sedangkan Raja Silahisabungan dan Raja Oloan kea rah Barat.
Ketika terjadi kemarau (haleon) di Balige raja, dimana semua tumbuhan mati, maka mereka meminta petunjuk kepada datu panuturi. Dimintakan bahwa Sibagot ni Pohan harus bertemu dengan ketiga adiknya. Hal ini mustahil dapat dilakukan, karena mereka sudah berpisah dengan perbedaan pendapat.
Akhirnya ditemuilah pomparan Silahi Raja (Silalahi) di Samosir untuk dating bersama-sama ke balige. Berangkatlah Siraja Tolping, Bursok Raja dan Siraja Bungabunga dengan menaiki perahu.
Dalam perjalanan ditengah laut Siraja Tolping dan Bursok Raja melompat dari perahu. Sehingga yang tinggal Siraja Bungabunga dan langsung di rangkul. Karena memang dia lebih kecil diantara ketiganya. Dibawalah siampudan ini untuk sebuah bukti. Setelah berada di suatu tempat, langit menghitam, hingga mereka tiba di Sonak Malela Balige.
Begitu banyak orang yang menantikan kedatagannya . diturunkanlah Siraja bungabunga dari perahu yang disambut dengan antusias banyak orang dengan ucapan oras…Horas…Horas….walau mereka sendiri di guyur hujan. Dibawalah Siraja Bungabunga ke kampong(huta) dan diberkati karena dia pembawa berkat. Berhentilah kemarau di Balige Raja.
Sampai tiba waktunya Siraja Bungabunga harus dikembalikan. Tetapi anak Sibagot ni Pohan keberatan. Karena awalnya mereka membawa tiga orang, sedangkan yang tinggal hanya satu orang. Mereka berikir bahwa Siraja Tolping dan Bursok Raja sudah meninggal di tonga tao.
Ketika itu Tuan Sihubil belum memiliki anak, padahal adiknya sudah memiliki cucu. Akhirnya Siraja Bungabunga diserahkan kepadanya untuk dijadikan menjadi anaknya . setelah Siraja Bungabunga diain menjadi anaknya, Tuan Sihubil ternyata menjadi memiliki anak. Diapun berkata “bah, nunga apala “tua” ahu hape tubu ma hape tampukni pusu-pusu urat ni ate-ate”, atas dasar inilah dibuat nama anaknya Apala Tua Tampuk Bolon.
Setelah Siraja Bungabunga dewasa dia dinikahkan ke boru Pasaribu yang merupakan maen Tuan Sihubil. Diapun membuka kampong (manjae) ditanah Silalahi yang ada di Hinalang.
Jadi datanglah Tuan Sihubil, dibawa anaknya Apala Tua Tampuk Bolon dan Siraja Bungabunga, sehingga dibuatkanlah Padan (kesepakatan) Ingkon sisada bulung di anak dohot boru, sisada odung-odung , sisada partinaonan. Imapadantu tu hamu. “Marpadan ma Tampubolon dohot Silalahi,” itulah perjalanan Siraja Bungabunga, hingga dia bisa sampai ke balige.
Maka atas dasar ini, kalau ada Tampubolon yang berpesta selalu diberi jambar kepada dongan sapadan Silalahi dan boru Silalahi. Hal ini tidak pernah tidak dipanggil, dalam setiap pelaksanaan pesta adapt Tampubolon.

HARUS DI JANGKON

Ada sebuah kisah yang terungkap dalam pertemuan tersebut, dulu ompu sumedang menaiki perahu ke Pangururan . Dalam perjalanan mereka berhadapan dengan si tolu butuha (angin kencang, hujan lebat,dan ombak besar) perahu bergoyang-goyang hampir menenggelamkan penumpangnya. Mereka menyatakan, “bah namboru nauli basa, paso hutur-huturmi, mardalan hami saonari,” angin, hujan dan ombak lantas langsung berhenti saat itu.
Titah(tona) nenek moyang Tampubolon kepada pomparannya, bahwa mereka harus mendahulukan boru Silalahi dari pada boru Tampubolon. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sisada boru. Sehingga membuat mengingatkan generasi penerus, agar mereka mengetahui tarombo yang sebenarnya antara Tuan Sihubil dengan Siraja Bungabunga Silalahi. Mereka berikrar akan mengingat padan dan berbuat yang terbaik khususnya sesama keturunan Silahi Raja (Silalahi) kepada Tampubolon.
Hal ini yang membuat Tampubolon ingat terus. Dan selalu lebih dekat kepada boru Silalahi dari pada boru Tampubolon. Karena sampai korban namborunya siboru Deang Namora Nauli Basa.
Diingatkan bahwa padan Tampubolon tidak hanya kepada Siraja Bungabunga, tetapi kepada seluruh marga Silalahi, karena padan ni anggina, nadohot do i padan ni hahana.
Pada akhir acara Marudin Silalahi menyampaikan, bahwa pengrusakan tarombo ini semakin nyata sejak terjadi tahun 1968. sekarang pomparan Siraja Bungabunga sudah kembali bertemu, maka Siraja Tolping dan Bursok Raja harus manjangkon(menerima). “jangan hanya bernyanyi Saimulak Sai mulak…tetapi tidak diterima,” Ujarnya.
Dikatakannya selama ini Siraja Bungabunga sudah pulang, tetapi selalu di halau ditengah jalan (terkesan dihilangkan) akhirnya harus dicari.
Dia juga terlihat semangat berbicara, seperti memiliki energi setelah menerima penjelasan dari Raja Tampubolon. Padahal usianya sudah mencapai 70 tahun. Hal ini timbul, karena dia melihat tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka pomparan Silahi Raja (Silalahi) “diboto hamu do umbahen na semangat ahu, ai hamu do ahu, ahu do hamu,” katanya sambil bercanda.
Acarapun berakhir setelah ditutup dengan doa oleh haha doli Tampubolon.
DNT